Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh warisannya lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Ketika uangnya sudah habis semua, terjadilah di negeri itu suatu kelaparan yang besar, sehingga ia mulai melarat.
Lukas 15: 13-14
Seorang anak terkatung-katung berjalan jauh dari rumahnya. Pada sebuah gurun nun jauh itu ia berada sekarang. Jalannya sempoyongan. Ia menengadah menghadap matahari yang panas sambil mengernyitkan dahi sekaligus mengangkat sebelah bibirnya ke hidung sedikit. Teriknya bikin ia sedikit mengingat jumlah galon anggur yang sudah ia minum kemarin petang.
Sisa-sisa alkoholnya masih mencari jalan keluar lewat lubang-lubang di kulitnya. Lidahnya terus saja mengumpulkan liur untuk ditelan lagi karena dahaga. Setelah tegukan yang ke-sekian, ia menjatuhkan diri sambil meracau
“Ke mana perginya semua yang menjadi milikku?“
Waktu lututnya terjatuh pada butir-butir pasir, barulah ia sadar sudah tersesat begitu jauh dari rumah.
Sekira satu-dua tahun yang lalu, kematian Ibu meninggalkan warisan untuk kedua anaknya. Betapa malang tapi, kedua anak itu sama sekali tak ngerti cara menghabiskan harta peninggalan. Mereka masih sangat muda waktu ditinggalkan Ibunya. Tak ada satupun diantara mereka yang tahu cara menghabiskannya.
Si Sulung hanya tahu mengira nilai tukar yang sepadan saja, sedang si Bungsu hanya tahu bagaimana mendapatkan mata uang. Maka ketika keduanya ditinggalkan bersama setumpuk dinar di atas jenazah Ibunya, si Sulung dan si Bungsu cuma melohok saling memandang.
“Bagaimana kita mau makan?” si Bungsu bertanya kepada si Sulung untuk yang kedua ribu kalinya
Si Sulung masih mengenyot susu Ibunya waktu saudaranya itu menanyakan hal yang sama di atas jenazah ibunya yang sudah dihinggapi lalat dan bau busuk. Sesekali lalat turut hinggap di dahi si Sulung tapi tidak digubris juga.
“Aku lapar. Bagaimana kita mau makan?” si Bungsu bertanya lagi
Lima menit tidak dijawab, si Bungsu yang tidak pernah puas itu kembali bertanya. Mungkin kalimatnya tertukar, pikirnya. “Bagaimana kita mau makan? Aku lapar.”
Si Sulung masih diam. Si Bungsu lantas menarik-narik lengan si Sulung, “Aku lapar. Aku lapar. Aku lapar. Aku lapar. Aku lapar!”
“Berhentilah menggangguku! Urusi saja dirimu sendiri!” teriak si Sulung dengan kesabarannya yang habis
“Tapi kamu kakakku! Kamu yang bertanggung jawab atas aku!”
Si Sulung lantas bangkit dari rebahnya, ia berteriak kesal karena terus-terusan diganggu “Kamu adalah tanggung jawab dirimu sendiri! Ibumu sudah mati dan kau tidak bisa menggantungkan dirimu kepadaku yang masih menyusu pada Ibu!”
“Enyahlah, anak kecil! Ibu mungkin mati karena capek ngurusi kau yang terus-terusan minta disuapi! Bawa dinar-dinar ini dan jangan pernah kembali kecuali kau sudah tahu caranya makan sendiri!” teriak si Sulung mengusirnya
“Harus kuapakan keping ini? aku tidak bisa mengira harga yang sepadan untuk semangkuk makanan,” si Bungsu mulai ketakutan membayangkan apa yang akan ia lakukan dengan keping-keping tersebut. Ia tak bisa menghitung, ia takut ditipu pedagang, ia takut bertemu segerombolan bandit yang akan mencuri dinar-dinarnya dan memenggal kepalanya di tengah gurun. Si Bungsu mulai menangis.
“Berhentilah merengek dan mulai cari makan. Bukannya tadi kau bilang kau lapar?”
Si Bungsu kemudian merungut meninggalkan rumah duka dan pergi ke mana saja entah.
Ia lalu mengangkat lututnya dan berupaya bangkit melanjutkan perjalanan. Memukul kecil kepalanya karena bodoh. Tentu saja ia bodoh, bukannya menukar dinar-dinar itu dengan semangkuk makanan, ia malah menukarnya dengan galon-galon anggur dan berpesta.
Lagi-lagi ia kelelahan, kini mulutnya mengeluarkan busa dan ia terbaring. Beberapa pasir menempel di bibirnya yang basah. Ia mengingat Ibunya yang tidak pernah memberitahunya cara menggunakan uang. Ia cuma tahu cara menukar saja. Besaran atau harga yang pantas si Bungsu tak pernah tahu. Lalu dari jarak yang jauh, si Sulung berjalan ke arahnya. Tubuh si Sulung menjelma bayangan hitam di depan matahari.
Si Sulung kini berdiri di depan si Bungsu yang lelah mencari-cari jalan pulang dan terkapar mau mati. Si Sulung lalu berjongkok. Mendekatkan kepalanya, dan menoyor kepala si Bungsu sekali.
“Bodoh.” katanya
Si Sulung lalu menyeret si Bungsu ke arah matahari.
“Aku bilang jangan merengek. Hidup memang seperti itu. Kalau tidak cari makan, ya mabuk. Kalau kau mati karena mabuk dan masih sempat merengek, itu berarti kau benar-benar bodoh. Terlalu singkat kalau kau pakai foya-foya, kan?!”
Si Bungsu yang diseret dengan susah payah itu pun gak ngerti maksudnya. Tapi ia merasa berkali-kali melewati cahaya. 7 jumlahnya.
“Begitu sampai di rumah, berhenti merengek. Mandi dan ganti bajumu. Kita coba sekali lagi.”