Kau tahu salah satu hits Sheila on 7 berjudul Sephia? Lucunya nama itu ternyata ada di dunia nyata. Dia adalah kekasihku. Lebih menakjubkannya lagi, namaku adalah Duta, persis seperti vokalis band kenamaan asal Jogja itu.
Tapi, bukan filosofi tentang namaku dan dia yang ingin aku ceritakan. Alih-alih berakhir bahagia, hubungan kami berakhir karam bak kapal Titanic. Mahatma Gandhi pernah berkata: “Jika kau mencoba, kau punya dua kemungkinan antara gagal atau berhasil. Tapi jika kau tidak mencoba, kemungkinannya hanya gagal.” Berangkat dari kalimat itu aku memberanikan diri meminta hatinya baik-baik. Harus kuakui, banyaknya buku yang kubaca berperan besar dalam kehidupanku.
Aku dan Sephia sekelas. Dengan begitu, kami bisa bertemu hampir setiap hari. Bahkan hari libur pun kadang kami masih bersama-sama menghabiskan waktu mengerjakan tugas. Meski bersahabat, perasaan cinta bisa muncul kapan saja tanpa diduga. Mungkin benar bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan hampir selalu melibatkan perasaan. Kami masih berusia 17 tahun saat duduk di bangku kelas 2 SMA. Di hari ulang tahunnya aku mengatakan perasaanku.
“Selamat ulang tahun,” aku menghampirinya di perpustakaan.
Hari itu aku sengaja telat mengembalikan buku pinjaman agar dihukum. Biasanya aku dihukum menyampul buku-buku koleksi terbaru. Khusus hari ini aku mengajaknya. Perpustakaan tentu menjadi tempat yang pas, jauh dari gangguan teman-teman sekelas, dan sunyi.
“Kadonya mana?” dia menatapku sambil tersenyum jahil.
“Nanti di rumah,”
“Di rumah siapa?”
“Orang tuamu,”
“Tapi bawa makanan ya, biar gak ngantuk nongkrong di teras,” katanya lugu
Aku mengangguk pelan dan santai, padahal hatiku sedang melonjak kegirangan.
Sore harinya aku langsung ke rumahnya. Orang tuaku tak akan khawatir mencariku, sebab berkunjung ke rumah Sephia adalah kebiasaanku sebelum libur akhir pekan. Rumahnya selalu sepi, hanya ada dia dan bi Omah, asisten rumah tangganya. Ibu dan ayahnya adalah guru, dan hampir setiap hari jarang berinteraksi dengan Sephia. Barangkali dia kesepian, sebab itu dia selalu senang tiap kali aku berkunjung ke rumahnya.
Sore itu aku membawakannya cireng isi dan seblak. Ya, seperti perempuan Indonesia pada umumnya tentu itu adalah makanan favoritnya.
“Asiiiiik,” dia menyambutku dan seblak tulang itu. Aneh, dulu fosil hewan dijadikan bahan bakar, tapi kini tulang ayam digemari remaja 17 tahun. Sebab itu aku sering menyebutnya ‘seblak fosil’.
“Mana kadonya?” dia masih berkutat dengan cireng isi dan seblak dengan air mata dan wajah yang memerah karena pedas. Aku memberinya dua bungkus mi instan.
“Cuma ini?” dia memandangku kesal.
“Ini yang kedua,” sepotong cokelat dan sebuah buku puisi Aan Mansyur berhasil membuatnya tersedak.
“Serius? Ini kan baru terbit. Jangan bilang ada tanda tangannya juga!”
“Yang ini cokelat biar mood bagus. Tadi sengaja ngasih mi instan biar kesel hehe. Kalau yang ini, buku incaran kamu kan? Buka dong,”
Dia sama sepertiku, senang membaca. Tapi dia lebih tertarik dengan puisi, sementara buku kegemaranku adalah buku-buku biografi. Matanya terbelalak saat melihat tanda tangan Aan Mansyur di halaman pertama buku itu, lagi-lagi ia tersenyum gembira. Oh iya, dia sangat terobsesi dengan Ada Apa Dengan Cinta (AADC), itulah sebabnya saat dia tahu film keduanya rilis disertai dengan buku puisi Aan Mansyur dia sangat senang. Judul bukunya Tidak Ada New York Hari Ini, buku yang kubeli pakai hasil nabung uang jajan. Ya, kau tahu aku hanyalah remaja berusia 17 tahun yang belum bekerja saat itu.
“Kamu tahu, di Korea laki-laki gak sembarangan ngajak makan mi ke perempuan?”
“Maksudnya?”
“Iya, cowok Korea kalau ngajak makan mi ke cewek berarti ada maksud tertentu, semacam PDKT,”
“Hah?” Pandangannya berubah kebingungan.
“Jadi?”
“Kita udah tahu satu sama lain, akrab sama keluarga masing-masing, banyak kesamaan, kenapa gak dicoba?”
“Dicoba apa?”
“Ya … pa … caran,” dia langsung berlari ke dalam rumah. Mungkin dia malu, atau aku ditolak? Aku kemudian pulang dan malamnya dia mengirim pesan.
“Ta, serius kamu suka aku?”
“Iya”
“Iiiiiiiiih kok bisa?”
“Ya bisa”
“Malu tauuuuuuuu”
Hari-hari setelahnya dia selalu menghindar. Lalu entah bagaimana kami resmi jadian. Tapi dia tak mau ada orang yang mengetahuinya. Awalnya aku bisa menerima hal itu, tapi lama-lama aku mulai terluka.
Tiap kali jalan berdua, dia harus selalu merahasiakan wajahku. Tidak ada unggahan foto di sosial media, tidak ada pemberitahuan bahkan kepada teman baiknya sekalipun. Ini mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa tak diakui.
Bahkan pernah wajahku memar terbentur meja karena bersembunyi saat ada temannya di kedai kopi yang kami datangi. Dia selalu menyalahkanku tiap kali aku bertanya. Sephia yang kukenal sebagai sahabat jauh berbeda dengan Sephia sebagai kekasihku. Aku ingin sekali seluruh dunia tahu kami berpasangan. Atau sesederhana postingan foto berdua di sosial media pun sudah membuatku senang. Dalam benakku mulai timbul pertanyaan, apakah dia benar-benar mencintaiku?
Satu Minggu menjelang perpisahan sekolah, aku pun membuat keputusan besar. Aku akan bertanya sekali lagi. Jawabannya membuatku terkejut.
“Maaf ya, kamu itu sahabatku. Aku gak mau kamu menjauh karena aku tolak. Aku memang sayang, tapi rasa-rasanya belum bisa lebih dari sekadar sahabat.” Dia berlalu, seolah sudah siap berpisah dan menjauh dariku untuk waktu yang lama.
Setelah hari itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Dia melanjutkan kuliah ke luar negeri. Tak kusangka obsesinya pada film AADC membawanya berkuliah ke New York. Kudengar dia punya kekasih di sana. Hal itu terbukti dari postingannya di media sosial. Dia gemar membagikan kesehariannya, foto berdua dengan kekasihnya, atau kesibukannya di kampus. Aku yang telah mengenalnya lebih dari 3 tahun kalah oleh seseorang yang baru saja dia temui. Hatiku sakit luar biasa mengetahui fakta itu. Dia yang dahulu menjadi pusat semestaku, kini telah menemukan semestanya sendiri.
Satu tahun setelah kepergiannya ke New York, aku mencoba peruntungan di dunia kepenulisan, lagi-lagi berkat kegemaranku membaca buku. Tak disangka banyak yang menyukai tulisan-tulisanku yang dianggap relate dengan kehidupan asmara anak muda hari ini. Setelah aku merasa cukup mapan, aku meyusul Sephia ke New York. Beruntung dia berkenan memberikan alamatnya, mungkin saja ini pertanda baik pikirku. Dengan bantuan teman sesama penulis di sana, aku bisa dengan mudah menemukan rumah Sephia. Dengan penuh harap dan semangat aku menemuinya setelah sekian lama. Tapi yang kulihat adalah dia sedang menimang bayi, di sebelahnya lelaki Eropa tinggi besar. Aku pergi sebelum dia sempat melihatku. Bersamaan dengan itu, penggalan puisi Aan Mansyur dalam buku Tidak Ada New York Hari Ini menggema di kepalaku: Akhirnya kau hilang. Kau meninggalkan aku – dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.