Senja Bulan September
Senja mati di pelupuk matahari terbenam
Jemarinya kuyu tak lagi mampu menggapai pena langit
Sajak yang pernah yang ditorehkan pada bebatuan di sungai
Pada pepohonan di bukit mematung di pinggir pusara
Air mata anarki
Menjual diri di antara sendi di telanjang tanah duka
Kulihat hujan mengetuk pintu
Perginya senja menyimpan duka
Terasa sempurna sembunyikan air mata para sajak yang berguguran
Dalam diam aku berduka diinjak luka
Mengutuk malaikat maut
Dalam kediaman aku telanjang semaput dihantam rajangan air mata
Mengutuk waktu yang berdetak
Renungan Malam
Ketika tengah malam datang
Itu saatnya untuk merenung
Entah apa yang di renungkan
Selalu saja terbersit kalimat tanya
Sajak-sajak perubahan
Mengalir dan berubah
Menjadi sajak-sajak cinta
Dan puisi yang terkenang
Menjadi sebuah bait penuh makna
Pemikiran idealis dan ekstrimis
Berhasil membuatku lupa
Lupa tentang segala hal apapun
Yang telah ku lewati
Dia telah berubah
Menjadi sebuah referensi bait
Dan inspirasi bagiku
Senandung Jiwa
Puisi adalah kejujuran yang bernyanyi
Ia tak sekedar keindahan rima dan bunyi
Namun sandaran bagi kepekaan rasa
Resonansi bagi nurani yang menggema
Puisi adalah senandung jiwa
Ia tak sekedar euforia bait dan kata
Tapi lidah bagi ketajaman hati
Syair bagi idealisme yang menari
Kejenuhan
Kutapaki jejak jalan hidupku ini silih berganti
Pagi siang dan malam datang berganti
Aku tetap saja begini
Tak ada yang berubah semua tetap sama
Apa yang ada dimata maupun jiwa
Tidak ada yang berbeda
Aku jenuh
Mulai jenuh dan akan jenuh
Dengan hidup ini
Dengan semua ini
Harapan pudar bagaikan kabut
Jatuh bagaikan hujan
Menetes bagaikan tangis
Aku menangis
Apa yang kudapat
Tak seperti yang kuingat
Tak seingin yang kuucap
Dan tak sebayang yang kuharap