Kau tak pernah berkelahi seumur hidupmu, tapi kini kau ingin seseorang menghajar wajahmu.
Kau mengambil posisi duduk yang paling nyaman—sambil selonjoran di tengah kasur, bersandar pada bantal yang kau tegakkan di tembok. Posisi ini, menurutmu, adalah yang terbaik untuk meredam gemetar tubuhmu sejak aroma yang begitu akrab menguar dari dalam amplop dan menyentuh ujung hidungmu.
Ini surat pertama dan jelas terakhir yang kau terima darinya.
“Orang macam apa yang berkirim surat di zaman serba grasa-grusu begini?” protesmu dua bulan lalu, saat ia memintamu mengirim surat jika akhirnya ia menjalani kemoterapi.
Kau menjadi sentimentil, mengingat kembali saat kalian saling berbalas kirim foto kepala plontos.
Sambil mengusap kepala plontosmu, kau memejamkan mata. Merasa naif dan bodoh. Kau kira, dengan ikut mencukur habis kepalamu, beban sakitnya bisa sedikit berkurang. Ia senang melihatmu melakukannya, bahkan menangis haru. Kau tidak menangis saat itu, tapi kau merasa ingin melompat ke dalam layar ponselmu dan memeluknya saat itu juga. Kau merasa gila. Keesokan harinya, kau bertanya pada temanmu apakah ia punya delapan juta untuk menyusulnya ke Singapura. Tentu saja, ia tak punya. Tentu saja, kau tak cukup percaya diri untuk menjual ginjalmu. Siapa yang mau menampung ginjal perokok?
Kau menakar aroma yang menguar dari amplop itu. Parfumnya, kah? Sudah hampir setahun kalian tak bertemu sejak ia berangkat ke Singapura, jadi mungkin saja kau agak lupa.
“Hai,” tulisnya dengan pulpen bermata ramping, jenis pulpen kesukaannya, Pilot 0.1. Kemudian, namamu di sana, dan gelombang air di balik kantung matamu bergolak seperti air dalam teko yang sedang mendidih. Air itu naik menyusuri leher teko, mendobrak penutupnya, dan melumuri kompormu dengan berisik.
Kau tak sanggup meneruskan membaca. Kau marah, sedih, dan bingung. Rasanya lebih baik jika seseorang menamparmu saat ini juga.
Mulanya, kau hanya menggigit bibir bawahmu. “Anjing, anjing, anjing.” Ayahmu dulu berkata, “Lelaki tidak menangis.” Kemudian, kau menampar wajahmu sendiri—empat kali di kanan, lima kali di kiri.
Kau segera melipat surat itu. Kau ingat pesan lama: Jika marah saat duduk, berdirilah. Jika masih marah, basuhlah wajahmu. Jika masih marah juga, berjalanlah, dan seterusnya.
Kau ingat ceritanya tentang menelan berbutir-butir pil tidur dengan Sprite. Dua bulan setelah kembali dari rumah sakit, ia bercerita dengan riang soal Sprite itu—katanya, biar terasa agak segar. “Tak ada salahnya mati dengan sedikit rasa nyaman.” Dia tidak mati. Ia kembali dari rumah sakit dengan wajah ceria.
“Kalau aku nggak bangun lagi,” katanya, “Aku telah mangkat dengan sensasi plong.” Ia merujuk pada iklan Sprite tahun 2008-an, yang jingle-nya dinyanyikan oleh Ahmad Dhani dan Mulan Jameela.
Tahun 2008, dalam ingatanmu, adalah tahun yang lebih baik daripada tahun-tahun setelahnya. Ahmad Dhani merilis Manajemen Republik Cinta, dan kau masih SMA.
Kau beranjak ke dapur, membuka keran, mengisi teko, dan membasuh wajahmu. Kemudian, kau menyalakan kompor untuk menjerang air, menakar tiga sendok makan penuh kopi ke dalam mug pemberiannya—mug bergambar emoticon pelukan. Kau siap terjaga lebih dari 24 jam ke depan, tanpa krimer dan gula seperti biasa.
Kau bahagia, meski tidak punya ambisi untuk menembus perguruan tinggi di luar Purwakarta. Sementara itu, ia sudah mengirim aplikasi beasiswa ke mana-mana. Kau tak punya hasrat untuk pergi dari sini. Kota ini mungkin panas seperti neraka, tapi kau sudah terlanjur jatuh cinta padanya. Jika dipikirkan lagi, segala kenangan manis yang pernah terhampar di bawah mataharinya tidak terlalu buruk. Ia pernah menciummu, satu malam sebelum pertama kali “mengelilingi dunia.” Padahal hanya kuliah di Korea. “Apa hebatnya punya musim salju?” tanyamu. “Buat feed Instagram,” jawabnya sambil bercanda.
Setelah kopi itu selesai, kau mencicipinya. Rasanya tak enak, tapi masih lebih baik daripada arak. Kau benci arak. Kau benci Egi Tansil saat mabuk arak. Kau benci orang yang tak sanggup bersedih sewajarnya. Bersedih sewajarnya? Apa ada? Munafik betul kau ini.
Kau segera meraih kunci motormu, memancang nama satu tempat di kepalamu: Cilodong.
Cilodong adalah salah satu kecamatan di Purwakarta yang dulu (mungkin sampai sekarang) dikenal sebagai tempat hiburan kelas bawah. Kau tahu Dedi Mulyadi membangun Islamic Center di sana, tapi kau tak peduli.
Kau hanya membawa sebungkus Samsu dengan sisa dua batang dan korek api di saku celanamu. Oh, dan satu lagi: niat untuk ditampari sampai babak belur. Jika masih ada sisa nyawa, akan kau bawa pulang. Jika tidak, artinya kau tak perlu susah payah lagi merawat tubuh orang lain dalam dirimu.
Bagaimanapun, menurutmu, ide buruk yang serius sama dengan ide bagus yang sama seriusnya. Adu pukul itu bagus. Pikiran bodoh juga bagus. Pokoknya begitu lah isi kepalamu.
Minuman keras bahkan memerlukan kadar tertentu untuk mendorong seseorang bertindak bodoh. Tapi, apa ada yang lebih mampu mengguncang akal sehat daripada patah hati?
Cuma perlu “hai” di pesan masuk WhatsApp-mu, tahu-tahu kau sudah ingin nyungsep di selokan bergelimang muntah mi instan.
Kau tak tahu persis di mana tempat “transaksi” di Cilodong. Katanya, di gang belakang pom bensin, di warung-warung burjo, atau entah apa lagi kata orang. Kau hanya ingin datang ke kerumunan apa pun yang ada di sana.
Kau memarkir motormu di pelataran rumah makan di sebelah Islamic Center yang belum diresmikan. Kau mendatangi kerumunan yang dekat dari sana, dan…
Tiba-tiba kau masuk ke tengah kerumunan orang yang sedang nongkrong dan kentut dengan sedikit mencret, hasil dari kopi pahit minta ampun sebelumnya.
“Breettt!” Pantatmu berbicara kencang dan lancang. Orang-orang di sana terdiam, bingung, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Kau datang dengan niat untuk ditampari dan pulang, tapi Tuhan punya rencana lain. Semua orang tahu, Tuhan kadang mengabulkan doa manusia lebih dari yang bisa mereka bayangkan.
Kau masuk ICU Bayu Asih, koma. Rusukmu remuk, punggungmu lebam-lebam, kepalamu bocor dan gegar otak ringan, serta mukamu bengkak di sana-sini. Kau belum pulang sejak lima bulan lalu, tapi juga tidak jadi mati.
Sementara itu, semua barang-barangmu telah diambil oleh keluargamu, dan surat itu sudah disapu keluar oleh penghuni kos yang baru.
Apa cinta memang lebih keras dari arak? Atau hanya kebetulan saja nasibmu ditulis oleh seseorang yang mabuk?