Maunya sih telepon. Tapi aku tahu kondisinya gak memungkinkan. Aku nyatet dikit di note-ku. Sedikit marah. Sedikit merasakan kesenangan nostalgia.
Tentu aku berdoa yang baik buat kamu. Bukan karena aku percaya banget doa bisa mengubah sesuatu, tapi karena aku tahu persis bahwa sebagai manusia, kita semua terbatas.
Aku juga mau bikin catatan di blog kamu yang kita kerjakan. Tapi ya aku gak nyaman masuk ke akun pribadimu tanpa izin lebih dulu.
Awalnya aku harap kamu menulis sesuatu di sana, karena kamu sendiri yang bilang mau menghadiahi diri sendiri dengan puisi…
Tapi sepertinya gak jadi ya…
Aku bayangin kamu sedang bahagia sekali. Memeluk seseorang yang kamu sayangi, sekaligus sayang sama kamu juga.
Atau jika kamu nangis (semoga karena merasa haru) setidaknya seseorang memeluk dan menenangkanmu. Lebih hangat dari yang pernah kamu terima sebelum-sebelmnya, dan pada satu titik kamu merasa, “Oke inilah dia, inilah momennya, inilah rasa cukup itu.”
Aku sudah janji sama diri sendiri untuk tidak menghubungimu duluan sejak terakhir kamu bilang, “Iya, Yang” dua hari yang lalu. Kukira kamu sedang bersenang-senang jadi aku akhiri saja deh.
Selamat 22 tahun yaaa. Sehat selalu.
Aku mau telepon dari jam 12 tadi.
Aku tadi ke Karangpawitan sendiri. Gak tahu kenapa. Aku kira aku akan senang nunggu jam 12 sendirian di sana, mengucap doa ulang tahun di tempat kita duduk terakhir kita ke sana. Sendirian.
Tapi begitu masuk jam 11 aku lapar. Jadilah aku geser ke Das. Di depan lapar, romantisme harus mundur dulu.
Aku sih bayangin kalau malam ini aku mau tarik bangku di dekat tangga kosan, tepat dekat jendela, kita duduk berdua saja makan cheeseburger dan kentang pakai lilin kecil, karena aku lagi berhemat. Kita cuma ngobrol saja seperti pertama kali kita melakukannya tempo lalu. Malam yang cerah, sejuk, dan menghangatkan hati.
Tapi itu takkan terjadi lagi kali ini, kan?
Aku bayangkan ada seorang tua yang letih di Karangpawitan tengah melangkah pendek-pendek. Di bahunya menggantung beban hidup puluhan tahun: kesempatan yang lepas, cinta yang tak sempat diucap, kabar kematian tanpa selamat tinggal, dan entah apa lagi.
Orang itu menuju salah satu tembok dengan niat menulis kata “kosong” besar-besar. Dari situlah graffiti “kontol” di Karangpawitan berasal.
Sekarang, aku sudah kehilangan kamu. Dan aku sekuat tenaga menjaga apa yang tersisa: diri sendiri.
Jadi aku teruskan semua yang telah menjadikan diriku selama ini. Aku teruskan semua yang kulakukan jauh sebelum bertemu denganmu.
Semua yang telah membentuk “kita” akan kutumpuk dengan kenangan baru. Kamu menyebalkan karena mengira aku layak diperlakukan buruk atas alasan apapun. Tapi, aku tahu kamu sudah berusaha menghindari itu. Hanya mungkin hasilnya menyebalkan.