Hari Guru tahun ini agaknya jadi momen “memberi hadiah” yang spesial. Pasalnya para guru sepertinya ramai-ramai merayakan guyuran hadiah yang datang murid, orangtua, bahkan teman-teman mereka. Seolah-olah citra mereka sebagai guru naik berkali lipat.
Ini fenomena menarik. Mungkin karena rendahnya gaji guru dibandingkan profesi lain di jajaran pegawai negeri sipil lainnya membuat banyak orang bersimpati terhadap guru. Tak heran jika di Hari Guru Nasional ada banyak unggahan media sosial daei para guru yang dapat hadiah. Begitupun postingan ucapan dari murid-murid terhadap gurunya.
Lebih-lebih saat masyarakat sendiri merasakan betapa beratnya mendidik anak saat Covid-19 lalu. Masa-masa yang berkesan, sekaligus banyak kesulitannya. Tak heran jika kekerasan dalam mendidik anak juga seringkali terjadi, hal yang banyak kita lihat di media. Mungkin karena kurang terbiasanya orangtua dalam melatih kesabaran ketika anak belajar di rumah dan tidak pahamnya orangtua atas kebutuhan serta cara belajar anaknya sendiri membuat orangtua perlu energi dan berpikir kembali tentang pendidikan.
Berbagai curhatan orangtua di sosial media, maupun yang diarahkan terhadap saya sendiri menggambarkan bahwa mendidik anak sendiri susah. Apalagi bagi perempuan yang perlu membagi waktu untuk banyak hal di rumahnya. Oleh karena itulah penghargaan terhadap guru jadi berbeda setalah lewar masa Covid 19 kemarin.
Namun meningkatnya citra guru seperti ini tidak berbanding lurus dengan penghasilan mereka. Memang ada saja yang dapat insentif khusus dari pihak pengelola yayasan atau sekolah. Beberapa sekolah bahkan membuat effort lebih dengan meningkatkan lini bisnis di sekolah dan yayasan, demi anggaran dana penggajian guru. Tapi ya tidak semua guru seberuntung itu.
Sebetulnya pemerintah Indonesia memberikan berbagai inovasi untuk meningkatkan kualitas guru dengan program Guru Penggerak. Untuk dapat menyelesaikan masalah guru honorer, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan rekrutmen dengan konsep PPPK untuk mengangkat guru honorer menjadi guru tetap, dengan gaji di atas 500-700 ribu perbulan.
Meski begitu masih ada masalah. Tidak ada tunjangan pensiun seperti guru PNS. Belum lagi para calon guru PPPK harus ‘mengantre’ panjang. Seperti proses mencari dan menunggu jodoh, entah bertemu jodoh lebih dulu atau maut lebih dulu.
Setelah melakukan wawancara dengan beberapa guru, penulis menyadari bahwa kebanyakan mereka adalah orang yang nrimo dan ikhlas terhadap nasib. Tapi ya tetap saja itu merisaukan hati.
Entah bagaimana saya hanya mengira begini. Bahwa dari pemerintah sampai setiap sekolah mestinya punya perhatian soal ini: agar guru dapat fokus mendidik daripada pusing memikirkan uang makan bulanan. Oleh karena itu, saya berasumsi sekolah mesti dikelola dan diperlukan seperti bisnis, untuk mengembangkan perspektif mereka terhadap pengembangan organisasi yang dapat menunjang kesejahteraan sosial guru di wilayah tersebut. Sebab jika terus-terusan disubsidi, ke sananya bakal jadi mental malas.
Jika sudah begitu maka sekolah akan berangsur-angsur menciptakan inovasi pembelajaran di sekolah sehingga mutu sekolah dan branding sekolah naik. Otomatis penghasilan guru juga akan naik.
Lagipula sudah banyak sekolah yang dikelola seperti ini. Ditambah masyarakat sendiri agalnya sepakat bahwa pendidikan adalah bisnis, kenapa tidak sekalian jadikan bisnis tersebut untuk kesejahteraan guru yang mendidik agar lebih optimal dalam melaksanakan tugas mulianya?
Kalau benar zaman ini adalah zaman kolaborasi, kenapa tidak coba kolaborasikan pola pikir manajemen pendidikan dengan pola pikir manajemen bisnis? Bukankah Bisnis tidak selalu licik dan pendidikan tidak selalu baik-baik saja?
Bagaimana pun guru adalah pilar penting pendidikan. Guru adalah Pahlawan tanpa tanda jasa. Kita semua perlu terus memikirkannya.