Rumah adalah tempat pulang. Tempat berteduh dari hujan dan panas. Namun bagaimana bila rumah tidak menjadi tempat benar-benar untuk pulang?
Pemikiran itu muncul setelah aku terbangun dari mimpi berkumpul bersama Ayah dan Ibu. Walaupun sebenarnya aku tidak tahu persis muka Ayahku sendiri. Aku ditinggal sejak 4 bulan dalam kandungan Ibu. Dalam mimpiku, aku bermain kejar-kejaran di taman bersama Ayah sementara Ibu duduk di hamparan hijaunya taman sambil menyiapkan makanan.
Kerinduan semakin menggebu setelah terdengar pupujian subuh. Ternyata ini hanya mimpi.
“Rohim,” terdengar suara lembut memanggil Rohim
Setiap subuh, Ibu Ida mempercayakan Rohim untuk mengumandangkan azan. Hal tersebut secara tidak langsung melatih jiwa ketekunan Rohim hadir menghiasi hari- harinya.
“Iya bu,” sahut Rohim
Rohim tanpa berkata panjang langsung berlari setelah mengambil pecinya.
Tak lupa para anak panti melaksanakan salat sunah sebelum subuh karena konon katanya, salat sunah sebelum subuh itu kebaikannya lebih dari dunia dan seisinya.
Rohim menuntaskan gerakan salat sampai akhir. Ia mulai melangkahkan kaki ke luar dan duduk di teras masjid. Tempat favorit Rohim memandang ke luas halaman masjid sambil melayangkan pikiran ke atas awan. Ia mulai dengan tatapan kosong.
Rohim sadar, perjuangan untuk meraih cita-citanya tidaklah mudah. Bak memeluk gunung tapi tangan tak sampai. Tapi dia tidak mau larut dalam keputus asaan, sebab ia yakin pasti ada jalan bagi yang mau berusaha. Doa-doa yang selalu ia panjatkan adalah harapan dan ketulusan. Setiap hari, setiap waktu yakin suatu saat terwujud.
Rohim hidup dalam kesunyian masjid, duduk menyendiri di sudut ruangan. Ia penasaran dengan arti sebuah harapan dan juga penasaran dengan orang-orang gila yang sering ia lihat di televisi pada kota-kota besar. Dalam hatinya yang polos ia bertekad untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Rohim memulai fantasinya dengan mencari posisi duduk di sudut masjid. Dia bertanya dengan sopan, “Tuan, apakah harapan itu?”
Lelaki tua itu tersenyum dalam delusi Rohim pada keingin tahuan anak itu. Dengan suara lembut dia menjawab: “Harapan adalah keinginan atau mimpi yang kita miliki di dalam hati kita. Ketika kita berharap, kita percaya bahwa apa yang kita harapkan akan terjadi di masa depan.”
Manusia dan harapan tidak akan terpisahkan karena salah satu tanda manusia itu hidup adalah punya harapan. Hal sederhananya, aku dan panti asuhan. Aku memiliki harapan dan cita-cita mendapatkan pendidikan hingga bisa mencapai cita-citaku sebagai pengusaha. Sementara panti asuhan berharap sebagai ladang amal menjadikan manusia yang paripurna jadi jembatan penghubung jalan antara manusia dan harapan.
Apakah manusia tanpa harapan masih bisa hidup? tanyanya dalam lamunan.
Rohim terdiam sesaat, menyerap kata-kata lelaki tua itu. Dia senang mendapat jawaban yang memuaskan, tapi rasa ingin tahu tentang orang gila itu masih menyiksanya.
Mataku masih menatap langit-langit masjid. Serasa begitu luas seperti hamparan semesta yang mencakupi planet-planet. Bagiku, kontemplasi yang terbaik adalah menjawab pertanyaan dan keresahan sendiri. Hari ini mungkin belum menemukan jawabannya. Tapi aku yakin esok, lusa dan nanti pasti kutemui.
Bagaimana dengan orang gila, bukankah harapannya sudah hancur? Tanya Rohim sambil mempertegas dalam lamunan.
Bocah itu melanjutkan tanpa ragu: “Tuan, mengapa ada orang gila di kota kita?
Mengapa mereka bersikap seperti itu?”
Pria tua itu dengan lembut meletakkan tangannya di bahu bocah itu. Dia menjawab dengan bijak: “Anak-anakku, orang gila atau orang yang menderita penyakit mental adalah individu yang mengalami ketidakseimbangan dalam pikiran dan perasaannya. Anda tidak dapat mengendalikan diri dengan baik. Mereka membutuhkan perhatian dan pengertian dari kita sebagai manusia.”
Bocah itu mengangguk, meskipun dia mungkin tidak begitu mengerti apa yang dikatakan lelaki tua itu. Dia merasa bahwa dia belajar banyak dari diskusi ini dan memutuskan untuk menghormati dan membantu orang dengan masalah kesehatan mental. Anak laki-laki itu merasa tenang di dalam hatinya karena dia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dia berterima kasih kepada orang tuanya atas penjelasan yang bijak. Dengan hasrat barunya, anak laki-laki itu bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dia menginginkan kebaikan dan menghormati orang lain, meskipun mereka berbeda
secara mental atau emosional.
Dalam perjalanannya menuju kehidupan yang lebih dewasa, anak laki-laki itu mengingat kata-kata lelaki tua itu dan menganggapnya sebagai pedoman sikapnya terhadap dunia di sekitarnya. Dengan memahami harapan dan kasih sayang untuk orang lain, anak berharap memiliki dampak positif dalam kehidupan orang lain, seperti yang diharapkan dari semua orang.
Tiba-tiba terdengar suara tawa secara samar-samar semakin lekat aku lihat ternyata itu Fajri teman pondokku. Ternyata yang tadi hanya mimpi.
Keren, Good Luck ……
terima kasih sudah membaca nyimpangdotcom 🙂