Kampung Wanarasa berada bawah kaki Gunung Sidengkong. Saat itu menjelang malam, langit gelap dan suasana terasa sangat sunyi. Rasa sepi yang menyelimuti diantara keramaian. Manusia terkadang perlu merasa sepi, karena sepi adalah pengakuan yang sejati terhadap diri.
Wanarasa. Wana adalah hutan sedangkan rasa berarti ya rasa diciptakan oleh keadaan dan pikiran dengan begitu Yatimah sudah terbiasa serasa hidup di hutan. Ia bersama keluarga kecilnya selalu menyatu dengan alam.
Kicauan burung menyapa. Udara dingin menghampiri hari ini. Seperti biasa, Yatimah mulai menanak nasi dengan tungku. Ia adukan kedua batu untuk memunculkan sebuah nyala api yang sudah bersiap melalap kayu bakar.
Yatimah dan Manistar adalah sepasang sejoli. Mereka mengucap janji sehidup semati. Baginya Manistar adalah seorang suami yang sangat bertanggungjawab. Oleh karena itu landasan ini menjadikan ia mengikat janji suci dengannya.
Seperti biasa Yatimah selalu menyiapkan sarapan dan pakaian yang akan digunakan Manistar untuk bekerja. Karena baginya kesederhanaan adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh keluarga kecilnya.
Yatimah sambil merapihkan baju yang akan digunakan oleh suaminya, “Ini Pak makanannya sudah disiapkan ibu, silahkan sama lauknya tinggal dibuka saja.”
“Pak jika kita tidak bisa menemani masa-masa dewasa anak kita nanti, bagaimana?”
“Entahlah, Bu. Aku juga bingung….”
Sehari-hari Manistar bekerja sebagai pemotong kayu di hutan, sesuai dengan kondisi geografis alamnya yang masih dikelilingi hutan.
Kebahagiaan orang tua itu terletak pada bahagianya anak-anak. Mereka akan melakukan apapun demi melihat si buah hati tersenyum. Begitu pun sebaliknya seorang anak akan berusaha membahagiakan orangtua yang mungkin nanti tidak akan menemani masa-masa dewasanya.
Manistar adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat bertanggungjawab, ulet, tekun diantara ratusan warga yang ada di Wanarasa. Ia juga menyadari bahwa pentingnya pendidikan walaupun beliau hanya mengeyam Sekolah Dasar (SD). Menurutnya, pendidikan adalah senjata untuk membangun peradaban menjadi lebih baik.
Sekian tahun hidup bersama istrinya, Manistar dikaruniai dua orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Tidak terasa ada tanda pada Yatimah bahwa ia sedang mengandung buah hati lagi. Oleh karenanya Manistar akhir-akhir ini kejar target seperti dikejar-kejar pembayaran jatuh tempo Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Setiap hari dia pergi sebagai buruh potong kayu, dan persoalannya bukan seberapa banyak pundi-pundi rupiah yang ia hasilkan. Namun sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk anak istrinya, bekerja adalah hal yang wajib tanpa tapi.
Hujan hari ini cukup awet seperti genangan yang meninggalkan kenangan. Pertemuan pertama kali Manistar dengan Yatimah adalah saat itu pergi ke pasar disana ia suka membantu orangtuanya berdagang.
“Ini payungnya,” lelaki gagah itu menawarkan bantuan kepada gadis jelita.
“Awet ya hujannya, kenalkan namaku Manistar. Ibuku bilang aku manis seperti kue nastar.”
Sang jelita pun mesem kesal melihat lagak lelaki yang menawarkan payung itu.
Entah kebanyakan nonton film korea atau drama di FTV, bahasa lelaki ini layaknya pujangga yang hendak memetik bunga yang sedang mekar, yang jelas itulah sekilas pertemuan pertama Manistar dengan Yatimah.