Sore itu, istriku masih menangis. ia masih tak mau makan. Ada sayur daun singkong di meja. Itu makanan favoritnya padahal, tapi ia masih diam saja. Ia mungkin terkejut waktu dokter menyimpulkan sakitnya. Sakit orang kaya.
Sehelai Ganja buat Istriku

Aku berada di sebuah kursi di hadapan seorang berbaju wisuda. Aku gak ngerti siapa saja mereka, yang jelas merekalah yang menentukan waktu kurunganku. Aku lalu diberikan waktu untuk bercerita,
“Sore itu, istriku masih menangis. ia masih tak mau makan. Ada sayur daun singkong di meja. Itu makanan favoritnya padahal, tapi ia masih diam saja. Ia mungkin terkejut waktu dokter menyimpulkan sakitnya. Sakit orang kaya.
Ia hanya diam memandang kosong ke meja, entah piring atau gelas atau taplak yang dilihatnya. Sebagai laki-laki dan seorang suami, aku merasa gagal. Aku tahu kami menikah sudah belasan tahun, tapi tak juga melendung itu perut biniku: melendung karena kenyang makan enak tidak, melendung sama orok apalagi. Padahal kami rajin sekali senggama, selain karena cuacanya enak, tubuh kami masih bugar, bergairah, atau kepalang menjadi pengangguran kampung yang tak tahu bagaimana lagi menghabiskan waktu.
Hasilnya? bukannya mendengar tangis anak-anak, yang terdengar malah cemoohan Ibu pada biniku. Syukurlah aku menikahinya dalam kondisi yatim-piatu, jadi kami tidak harus melerai dua pasang orang tua yang meneriaki masing-masing menantunya dengan kata mandul.
Uang hasil jual kebun tinggal sedikit karena seorang dokter di kota yang menangani istriku bilang ia punya obat mujarab, tapi itu tak dijual di apotek dan hanya bisa diperoleh langsung dari dokter. Namun istriku tak kunjung sembuh. Tulang-tulang wajahnya menonjol seperti jarum, cuma tak usah payah kau temukan di tumpukan jerami. Tubuhnya jadi kerontang dari bedil bambu menjadi batang lidi atau jaring-jaring kenur.
Aku orang miskin, jadi kuli pengumpul kardus buat dijual ke pabrik kertas nasi. Kadang jual suluh, kadang jual ular kobra, kadang biawak, atau apa pun yang kutemukan di kebun. Semua kulakukan buat ongkos naik bis mengantar istri berobat. Untuk memangkas biaya karena kami perlu makan di jalan, aku selalu menggendongnya sampai ke terminal di kota.
Di perjalanan, sering sekali aku temukan teman bicara. Di ruang tunggu, di musala, atau saat mengantre dokter. Kebanyakan orang susah sepertiku. Satu waktu, aku bertemu seorang anak muda. Penampilannya tak terlalu rapi memang. Ia memberi tahu sebuah pengobatan alternatif.
Aku kira awalnya ia akan menyuruhku ke dukun, karena jika iya, aku sudah berobat ke semua dukun di kampung dan sayangnya mereka gak bisa menyembuhkan istriku. Kami kemudian berkenalan.
Darinya aku mendapat pengetahuan bahwa ada sebuah daun landong yang harus kubawa dari sebuah tempat di seberang pulau. Pemuda itu berkelit dengan segala kemampuan bicaranya, aku gak ngerti maksudnya. Aku cuma paham kalau daun itu bisa menyembuhkan istriku, dan aku bakal rela jalan kaki ke ujung dunia asal ia sembuh.
Tiga hari tiga malam aku naik kapal barang, tidur di geladak bersama tumpukan karung beras dan tikus-tikus pelabuhan. Sesampainya di sana, aku dijemput oleh kenalan si anak muda. Ia menyambutku seperti saudara.
Aku diberi sebuah bungkusan. Kresek hitam. Jangan dibuka sampai di desa, katanya.
Saya bawa pulang daun itu. Lalu si pemuda datang subuh-subuh ke rumahku untuk mengambil bagiannya, lalu kembali lagi saja buru-buru tanpa menjelaskan padaku cara menggunakannya.
Aku baru membuka kresek hitam itu waktu si pemuda mengambilnya. Oh, isinya daun. Sedikit basah, harum dan ada aroma pahit, mirip daun teh tapi baunya menusuk.
Aku merebusnya seperti merebus daun salam. Kadang aku menambahkan jahe, kadang madu, tergantung yang kutemukan di kebun. Aku kasih minum pada istriku lantas.
Satu minggu, ia mulai bisa bicara lagi. Dua minggu, ia tertawa kecil. Tiga minggu, ia masak sayur daun singkong dan betapa bahagia hati ini melihatnya kembali sehat.
Satu hari, daunnya habis. Aku panik, tapi belum sempat aku kebingungan, si anak muda datang lagi. Ia kasih saya uang. Cukup untuk saya berangkat lagi. Katanya,
‘Ini uang untuk bekal bapak naik kapal buat ngambil obat lagi. Saya cuma minta sedikit, Pak. Kalau nanti dapat lagi, tolong kasih saya satu kantong kecil saja. Sisanya buat Ibu.’
Aku tak banyak tanya. Aku jalankan. Berangkat lagi. Pulang lagi. Merebus lagi. Istriku hidup lagi.
Begitu terus. Aku sudah hapal jalan, sudah tahu yang harus disapa dan dicueki. Sampai suatu hari, aku pulang, dan polisi sudah nunggu di depan rumah, dan sampailah aku di sini.”
*
“Kang, Akang… bangun. Sayur singkongnya sudah matang. Ayo, makan.” Istriku yang sudah sehat membangunkanku.
Huh. Untung cuma mimpi.
Aku bergegas ke dapur. Kami selesai makan dan aku akan menyeduhkan obat untuk istriku itu.
“Waduh, daunnya sudah habis.”
Lalu aku ngelamun.
Leave a Comment