Seekor lintah pernah hinggap di leher saya setelah saya bermain di rawa. Saya bergidik geli sambil mencoba melepaskan hisapannya. Saya menangis dan Ibu menaburi garam sampai lintah itu mati mengering kehabisan lendirnya.
Saya tidak pernah menyangka tumpahan minyak mentah punya Pertamina bakal menghalangi saya buat sekolah lagi. Padahal, saya mau naik kelas 3 dan sebentar lagi lulus SMP.
Dari balik pintu kamar saya yang hanya sebuah gorden merah bawang itu, saya sering melihat Ibu dan Bapak makan sambil bercakap-cakap. Lebih tepatnya, Bapak bicara dan Ibu hanya mengangguk saja karena bisu. Saya mendengar Bapak sambil menelungkup membaca majalah lama yang bau kutu.
“Si Fulan bukan main parahnya, Bu. sampai sekarang belum ada tuh orang Pertamina yang datang ke si Fulan!” kata Bapak sambil menelan nasi hangat dan garam saja.
Bapak betul. Si Fulan tetangga kami, lebih nahas nasibnya. Minyak mentah kena bola matanya waktu berenang dan kini butalah ia. Sudah pasti sekarang dia gak lagi bisa berlagak sok jago kebut-kebutan dengan knalpot rombeng itu.
Sebenarnya dalam hati, saya memampus-mampusi si Fulan. Dia sering meledek Ibu saya gagu dan membuat berita tentang Ibu saya di sekolah. Si Fulan bilang Ibu saya bekas pelacur di Pantura, oleh karenanya saya adalah najis dan harus dijauhi. Padahal Ibu adalah penari jaipong yang hebat di masanya dan tentu saja teman-teman memilih tidak peduli sebab Ibunya si Fulan juga bekas pelacur, mungkin. Ah, biarlah. Kini ia sudah buta dan saya memilih bersorak di dalam hati saja.
Selain berbicara, tak banyak yang bisa Bapak lakukan. Seluruh garam yang ada di tambak semua gagal panen karena bau dan hitam warnanya.
Mulut Bapak bersungut-sungut membicarakan harga garam yang nyungsruk dan bangkai ikan yang mengapung di lautan sana. Ibu hanya mengangguk, membelalakkan mata seolah antusias ingin bicara.
Bapak bilang, dengan keadaan laut saat ini, tahun ini sudah tentu kami tidak melakukan nadran. Sedekah laut yang biasanya dilakukan setiap tahun bisa jadi batal diselenggarakan minggu depan. Masyarakat kelimpungan dan tidak mungkin memiliki waktu untuk memikirkan tradisi itu.
Sayang sekali. Padahal, nadran adalah hal yang saya tunggu setiap tahun. Ada banyak yang kami lakukan waktu nadran. Yang saya tunggu adalah waktu mengarak sesajen diiringi musik tarling dan menghanyutkan kepala kerbau ke laut.
“Nadran itu dibuat sebagai syukuran hasil melaut dan sesembahan supaya tahun besok kita tetap dilimpahi, Nong. Kalau tahun ini kita gak bisa hidup dari melaut apa yang harus kita kasih buat laut? Lautnya juga hitam begitu dirusak sama orang-orang pabrik! Bapak jadi curiga, jangan-jangan tahun ini kita sial karena yang nyembelih kerbaunya si Ruslan!”
Si Ruslan, pemilik tambak garam terbesar di desa ini. Bapak dan sebagian besar petani garam bekerja di ladang milik si Ruslan. Saya dengar, si Ruslan berhati keji. Suka menghina orang dan mengupah semena-mena. Saya sering diceritakan di masa lalu, si Ruslan suka meminjam-minjamkan uang kepada orang dengan denda yang tinggi dan bertambah setiap harinya. Jika satu waktu orang itu tidak bisa membayar, diambillah harta, benda, sampai lahan si pengutang. Kalau masih tidak bisa bayar, maka si Ruslan akan memeras tenaga si pengutang sampai mati.
“Tapi kemarin Nong lihat banyak orang yang mulai jual minyak-minyak mentah itu, Pak.” saya angkat bicara sambil membalikkan lembar majalah “Siapa yang mau beli, Nong?” tanya Bapak penasaran
Besoknya, Bapak dan warga pesisir yang lain mulai membungkus ceceran basah menyengat itu dan menjual ke si Ruslan, yang tiba-tiba saja menjadi tengkulak minyak.
Ya sudah, lah. Uang ganti rugi belum tentu turun dan terlampau angan untuk kami yang bahkan tak punya Kartu Keluarga. Jadi, kenapa tidak sekalian saja kami mengambil untung dari kesialan itu?
***
Garam tersisa serupa biji kemiri di meja. Dengan terbata-bata dan seadanya, Ibu selalu mengatakan bahwa garam adalah hidup kita.
Di warung ikan bakar yang ditinggalkan pemiliknya mengumpulkan tumpahan minyak, saya dan Gendis duduk berdua saja.
“Kamu ikut aku kerja aja, Nong.” kata Gendis waktu saya terus-terusan melihat ponsel barunya.
Saya lalu memandang wajah ke depan. Ke manapun itu yang lapang. Angin berhembus tapi panas tetap saja muncul. Angin mengibas-ngibaskan rambut saya sampai ke mata. Beberapa kali saya mengaturnya kembali dengan tangan saya sambil ngelamun.
Saya bahkan tidak pernah punya ponsel sendiri dalam hidup saya, dan saya gak pernah tahu bentuk ponsel keluaran terbaru itu seperti apa. Yang jelas, ponsel yang saat ini Gendis genggam adalah ponsel yang bersih dan masih sangat mengkilap.
“Huh.” saya menghela napas pendek sambil mengeluh saja melihat kaki sendiri “SMP saja aku gak selesai, Ndis. Gimana mau kerja?”
“Kamu lupa ya aku cuma lulusan SD?”
Saya menatap mata Gendis. Ia benar. Waktu saya melanjutkan sekolah ke SMP, Gendis tidak memiliki uang untuk melanjutkan ke SMP. Bapaknya melaut, dan Ibunya merupakan petani garam seperti Bapak saya. Penghasilan kedua orang tuanya membuatnya tidak bisa melanjutkan sekolah. Kalaupun bisa, mungkin keempat adiknya kini sudah meninggal karena tak bisa makan.
“Malam minggu saya jemput kamu. Pakai pakaian yang rapi, ya.” Saya mengiyakan.
***
Garam tersisa sebesar biji jagung di ujung jari saya. Saya memakannya dengan nasi. Ibu dulu pernah menulis, garam adalah satu-satunya yang berharga dan menyelamatkan kita.
“Tidak apa kalau kita tak punya lauk, yang penting garam harus selalu ada.”
Kenang saya mengingat Ibu yang payah mengucapkannya kepada saya. Garam adalah banda sekaligus penawar. Banyak yang mencari garam untuk didoakan menjadi landong1 dan dibuat sebagai penyembuh semua penyakit.
“Bu, Nong pamit dulu, ya. Nong diajak Gendis kerja di warung kopi.”
Saya menyalimi tangan Ibu. Ibu tidak melepaskan tangan saya dan menggeleng-geleng seolah tidak ingin saya pergi.
“Bu, Nong tahu sekarang Bapak lagi gak punya uang. Hasil laut dan garam kan lagi jelek, Nong mau bantu Bapak sama Ibu. Ya, syukur-syukur Nong bisa nabung biar Nong bisa sekolah lagi. Nanti kalau Bapak sudah pulang dari tengkulak, tolong kasih tahu Bapak ya, Bu.”
“Nong, ayo!” Gendis meneriaki saya dari luar.
Ibu hanya mencoba teriak sebisanya. Saya tahu mungkin hatinya tidak tega melihat saya semuda ini bekerja. Tapi kalau tidak begini, mungkin hidup keluarga saya tinggal beberapa hari lagi saja. Garam di meja kami sudah tinggal sedikit. Lagipula, saya hanya membantu di warung kopi membawakan pesanan ke tamu yang datang.
“Nong, kamu tunggu di sini, ya.”
Gendis meninggalkan saya di depan warung kopi begitu kami tiba. Ia memasuki warung sederhana ini dan menghampiri orang yang mungkin saja pemilliknya. Warung kopi ini lebih besar daripada rumah saya.
***
Ukurannya saya rasa lebih luas daripada warung-warung kopi lain. Mungkin lebih mirip tempat makan di tepi pantai tempat saya dan Gendis sering bertemu dan mengobrol. Hanya saja, sepertinya warung ini punya banyak ruangan dan lebih tertutup.
Warungnya terletak di gang kecil di tepi jalan besar tempat truk-truk besar melintas.
Banyak gadis seusia saya kemudian datang dan masuk. Mereka langsung duduk bergerombol di dekat etalase kopi dan minuman bungkusan. Sebagian ada yang memperhatikan saya, tapi saya balik memperhatikannya.
Beberapa lantas berbisik dan tertawa. Usianya mungkin jauh lebih tua daripada saya. Saya menebaknya dari warna lipstick, tapi dari yang saya baca di koran lama, warna lipstick tidak menentukan apapun dari perempuan. Tua-muda, baik-jahat, nakal-baik, tentu tidak ditentukan dari warna lipstick. Jadi saya memilih untuk terus menyimpan saja prasangka saya.
Gendis kemudian datang.
“Ayo aku kenalin dulu kamu sama yang punya warungnya.”
Gendis menuntun saya menuju orang yang sebelumnya ia ajak bicara. Gendis menyebutnya Mami.
Betapa senang hati saya. Orang yang disebut Mami itu pasti orang kaya dan setiap hari makan daging. Begitu kata Ibu ketika saya berinisiasi untuk menyebut Ibu dengan panggilan Mami. Panggilan Mami tidak tepat buat Ibu yang setiap makan, lauknya hanya garam saja. Saya mengingat Ibu yang terbata-bata dan susah payah mengucapkan kalimat itu.
Saya menyalimi Mami. Parfumnya khas parfum mahal yang dijual di supermarket. Saya tidak pernah memakai parfum seumur hidup saya. Wanginya segar sekali. Lengannya memakai cincin yang bervariasi.
Mami sangat ramah kepada saya. Ia menawarkan saya untuk makan terlebih dahulu, dan saya menolaknya dengan malu-malu. Ia meminta Gendis untuk menemani saya berdandan dan menyemprotkan parfum ke baju saya.
“Kamu bantu dia siap-siap dulu, Ndis.”
Saya masuk ke sebuah ruangan di dalam warung itu. Letaknya sedikit menjorok ke dalam. Bukan di bagian depan tempat gerombolan perempuan tadi duduk-duduk melihat saya.
Gendis menaburkan peralatan riasnya pada saya. Wajah saya terasa setebal asin jambal yang sedang dijemur. Agak panas rasanya. Gendis berbicara menjelaskan kalau tugas saya hanya tinggal menemani tamu yang datang, bertanya mau minum apa dan mengantarkan minumannya. Begitu mudah dan saya bisa dapat 200 Ribu dari satu tamu.
Saya terbelalak. Begitu senang hati saya kalau saja malam ini saya bisa mengantar minuman pada 5 tamu, maka saya mendapatkan uang 1 Juta. Uang yang bisa didapatkan Bapak dalam 6 bulan kalau saja kami tak perlu beli beras, minyak, dan membeli sabun. Saya jadi semangat bekerja dan tak sabar mendapatkan tamu pertama saya. Uangnya akan saya beri untuk Ibu beli ikan asin dan saya tabung untuk melanjutkan sekolah tahun depan.
Setelah Gendis merias saya, Gendis keluar ruangan dengan dipan kayu tua dan meninggalkan saya di ruangan itu.
Mami kemudian masuk dan duduk di samping saya.
“Kamu memang mirip betul dengan Ibumu. Cantik.” begitu saja tiba-tiba Mami berucap “Mami kenal Ibu?” tanya saya penasaran
“Iya, dulu Ibumu juga kerja di sini.”
Lalu kami berdiam sejenak karena tak tahu lagi mau bicara apa.
“Oh iya, kamu tinggal temani saja tamu yang datang, ya. Biasanya mereka datang jam 10 malam, dan cuma minta kopi atau rokok saja. Sekarang, kamu boleh duduk-duduk di warung.”
Saya menunggu lama sekali. Ini jam 9 dan saya lapar. Beberapa perempuan saya lihat sudah menemani tamu yang datang. Tamunya kebanyakan laki-laki. Saya duduk sendiri saja daritadi di kursi paling ujung. Membayangkan jika saja hari ini dilaksanakan nadran.
Saya lapar dan saya memutuskan untuk ke dapur. Saya melewati lorong tempat bilik-bilik kamar itu berada. Di dapur tidak ada siapa-siapa. Hanya ada piring, bakul nasi, dan telur dadar.
Makanan mahal. Saya jarang makan telur dengan bawang daun dan bawang merah menyatu. Rasanya seperti enak sekali.
Saya lalu mencari pisau untuk memotong telur dadar yang bulat utuh itu. Saya menggapai pisau. Sebelum mata saya sampai ke piring tempat telur dadar itu berada, saya melihat sekotak garam. Pandangan saya terhenti.
Garam jauh lebih berharga dari apapun di dunia. Garam di rumah saya sudah habis, dan kalau saya tidak ada tamu yang bisa saya temani malam ini, saya bisa membawa garam itu. Saya lantas mengambil tisu dan menaburkan banyak garam ke tisunya, masih dengan pisau yang saya pegang.
Ini kali pertama saya mencuri, dan saya begitu takut. Saya buru–buru masuk ke dalam ruangan saya tempat Gendis merias saya tadi. Menyembunyikan tisu berisi garam dan pisau yang saya bawa.
Astaga! Pisau ini masih saya pegang saking buru-burunya saya takut ketahuan mencuri garam.
Saya tergesa-gesa untuk mengembalikan pisau itu ke dapur, tapi ketika saya baru selangkah melewati pintu ruangan dan melirik ke kanan lorong, Mami datang dengan seorang laki-laki yang nampak tak asing buat saya.
Saya langsung menutup pintu itu dan menyembunyikan pisau tepat di bawah bantal, tempat saya menyembunyikan garam. Saya lalu mengangkat bantal dan menyembunyikan pisaunya. Ketika saya menaruh bantalnya ke tempat semula, Mami langsung memasuki ruangan saya.
“Nong?”
“Iya, Mi?” saya secepat kilat berbalik ke arah Mami. Saya melihat Mami dengan seorang lelaki.
“Ini tamu pertama kamu.”
Laki-laki itu menyeringai memperlihatkan giginya yang kuning. Dia tertawa melihat saya.
“Ini Om Ruslan,” kata Mami
Jantung saya seketika berhenti. Saya bisa mengendus kebengisan si Ruslan hanya dari tatapannya saja, tapi saya hanya bisa diam dan memikirkan garam di bawah bantal saya.
“Pak Ruslan mau minum apa?” tanya saya melakukan pekerjaan saya
“Oh, Om Ruslan sudah minum kopi tadi di depan, Nong. Sekarang mau minta ditemani istirahat saja sama kamu,” Mami mengedip kepada saya sambil menutup pintu.
Si Ruslan yang sudah terkenal liciknya itu lalu mendekatkan tubuhnya menuju saya sambil tertawa kecil.
Bunvit perutnya mengenai tubuh saya. Mami bilang saya hanya tinggal harus menemaninya mengobrol. Maka saya bertanya,
“Bagaimana kopinya?”
Si Ruslan lantas tertawa lagi. Kali ini sepertinya ia betulan terbahak. “Mirip benar kamu dengan ibumu, Nong. Lugu dan bodoh!” katanya sambil mendorong tubuh saya ke kasur dengan kasar.
Kepala saya tepat mengenai bantal. Tapi tulang punggung saya terbanting ke kasur tipis.
Sakit sekali rasanya.
Si Ruslan menindih saya dan meletakkan mulutnya yang berlendir di leher saya. Ia mengatakan beberapa kata kasar dan satu kata yang membuat saya tidak bisa memaafkannya,
“Kamu seperti Ibumu waktu masih melacur, Nong. Berisik, banyak bicara. Tapi setidaknya, kamu tidak berteriak melawan. Kalau iya, mungkin kamu akan saya cekik sampai pita suaramu rusak dan gagu seperti Ibumu. Hahah.”
Mata saya terbuka lebar begitu si Ruslan mengatakannya sambil menggerayangi leher saya. Ada sumbu terbakar di dalam hati saya. Apinya menyulut sampai ke jari-jari tempat saya menusukkan pisau tepat ke sisi kanan leher si Ruslan.
Memancar darah yang merah dan anyir sampai ke mulut dan mata saya. Si Ruslan seperti tak bisa bicara dan ia berhasil mengambil pisau itu sampai darahnya keluar lebih banyak lagi. Ia hampir menancapkan pisau itu di bahu saya dengan dangkal. Saya tidak mau kalah, maka saya tempelkan garam ke matanya yang kini tak karuan lirikannya, seperti melihat Izrail di lampu- lampu bilik.
Ia berteriak ketika saya semakin melekatkan garam ke matanya sampai matanya mau copot. Begitu ia terjatuh, saya memotong lehernya sampai putus. Deras darahnya semakin kecil, tapi yang menetes semakin banyak.
Seekor lintah pernah hinggap di leher saya setelah saya bermain di rawa. Saya bergidik geli sambil mencoba melepaskan hisapannya. Saya menangis dan Ibu menaburi garam sampai lintah itu mati mengering kehabisan lendirnya.
Api menyala di tubuh saya. Mami membuka pintu kamar itu, dan berteriak. Teriakannya diikuti beberapa perempuan yang memunculkan sebagian wajahnya di belakang Mami atau ambang pintu.
Saya berjalan keluar membawa kepala si Ruslan yang telah saya asinkan dengan garam. Semuanya menghindari saya. Takut kena api yang nyala di tubuh saya. Beberapa ada yang jatuh terkejut, beberapa ada yang histeris. Saya tidak peduli. Saya tetap melanjutkan langkah saya.
Saya melihat beberapa supir truk di bagian depan warung Mami yang sedang makan pun diam saja ketika saya melewatinya sambil membawa kepala si Ruslan.
“Nong! Kamu mau ke mana?!” teriak Gendis mengejar saya.
Saya berhenti. Melihat kepala yang saya jinjing, dan memutar-mutarnya sampai darahnya melingkar di lantai.
Saya mendekati Gendis dan mengangkat kepala itu ke depan mata Gendis.
“Ini hari nadran. Saya mau ke laut.”
***
Saya berjalan dengan kaki telanjang. Api masih menyala di tubuh saya, tapi mungkin angin subuh membuat apinya sedikit lebih kecil. Saya berada di tepi pantai. Beberapa orang melihat dan mengikuti saya, tapi mereka tetap di belakang saya.
Saya memilih tidak peduli. Saya berjalan ke arah lautan hingga airnya setinggi dada saya.
Api kini sudah padam. Kepala itu saya lepaskan ke muka air. Darahnya sudah tidak terkucur. Saya masih berdiri memastikan kepala yang saya ajukan sebagai persembahan sampai ke tengah laut.
Semoga laut menerima persembahan kami dan garam kembali berlimpah di meja.
Bravoooo🤟👏🏼