Seekor Lebah dan Orang Tua yang Bodoh

Aku adalah seorang perempuan paruh baya berusia 70 tahun. Meskipun begitu, tulang-tulangku masih sangat kuat dan aku masih sehat. Jauh lebih sehat dari sapi-sapi ternak di padang rumput yang luas di negeri yang makmur nun jauh di sana. Aku tinggal di sebuah rumah di tepi kebun yang menembus langsung ke tanah Tommy Soeharto. Tanah itu disebut tanah ular. Aku harus menaiki bukit tanah merah untuk sampai ke tanah ular itu. Tak banyak yang bisa ditemukan di sana, hanya hamparan ilalang yang kemudian setiap meternya banyak ular berlalu-lalang.

Bukan tanpa alasan tanah itu kemudian disebut tanah ular. Dulu, di tahun 50-60an, banyak terjadi kebakaran di sini. Hampir setiap malam. Mak Item, nenekku bilang, di zaman DI/TII banyak orang jahat membakar rumah di tengah malam, dan konon, tanah Tommy Soeharto itu jadi tempat pelarian ular-ular, karena rumah yang dibakar kebanyakan rumah-rumah yang dikelilingi tanaman yang rimbun. Namun entah kenapa rumah kami tidak pernah jadi sasaran, mungkin karena rumah kami terlampau kecil dan tak bisa disebut rumah. Hanya bilik dengan anyaman bambu saja. Kami bahkan tak punya dipan! Jangankan dipan, kasurnya pun tak ada!

Kasur pertama kami adalah pemberian dari Abah Suep, seorang gerilyawan yang juga merupakan seorang pemilik sawah. Orang-orang bilang dia PKI. Entah apa artinya karena aku tidak pernah sekolah, tapi yang jelas, Abah Suep adalah orang yang cukup baik pada kami. Waktu istrinya yang bernama Mak Inol mati dipatuk ular, Abah Suep memberikan kasurnya kepada kami. Katanya, ia tidak butuh kasur itu lagi. Itu adalah kasur yang aku pakai sampai saat ini aku beranak pinak dan memiliki cucu.

Maklum, kami tak punya pohon kapas. Abah Suep dan Mak Inol-lah yang punya banyak kapas di halaman rumahnya. Jika waktunya panen, kapas-kapas itu akan jatuh ke halaman Mak Inol yang letaknya di dekat sumur lebak alias sumur pusat. Sumur yang digunakan warga apabila air di masing-masing sumur mereka sedang kering. Sumur di lebak tidak pernah kering. Di perjalanan menuju ke dalam kebun mencapai sumur lebak itu, kami akan melewati halaman si Abah dan Mak Inol. Aku selalu memulung kapas-kapas yang sudah kering dan mengelupas. Setiap hari satu sampai dua biji. itulah alasan kenapa kami memiliki dua buah bantal di rumah dan tidak memiliki kasur sama sekali.

Aku pernah ketahuan, dan Bah Suep sama sekali tidak marah, malahan ia bilang,

“Nanti kalau ada lebihan, kami bagi ya! Sekarang kau punguti saja yang ada di halaman kami.”

Baca Lainnya: Menangani Patah Hati

Sekarang, aku menelusuri jalan mencari kayu bakar sambil mengingat-ingat pengalaman-pengalaman di masa lalu itu. Aku sudah tak punya banyak kebun, hanya kebun singkong dan beberapa lahan kebun bambu peninggalan orang tua. Itu pun sudah dibagi dengan kedua kakakku, Runasih dan Rukamah. Kami diajarkan oleh Mak Item untuk memanen rebung. Bambu muda memang juara rasanya. Rebung yang baik adalah rebung yang baru terbuka sedikit pucuknya. Tinggi maksimalnya 3 jengkal tidak direnggangkan, lebih dari itu rebung sudah keras dan cenderung bau kencing bocah nakal incaran kelong wewe.

Sambil membawa beberapa bilah kayu bakar dari kebun rambutan Ujang Halim, aku beristirahat sebentar di sumur lebak. Aku menengok ke dalam sumurnya yang sudah kering dan sudah ada seekor ayam mati di sana. Semenjak ada pabrik kapas kecantikan dan korek kuping yang bentengnya menghancurkan rumah Abah Suep dan Mak Inol, kami di sini tidak punya sumber air yang bersih lagi. Semuanya menjadi tercemar dan bau najis. Lebih bau dari rebung yang terlambat dipanen. Sudah tak ada juga sungai yang deras mengalirkan air bersihnya. Cucuku tentu tidak bisa merasakan segarnya mandi di air sungai yang jernih itu.

Waktu aku menyalakan sebatang bakau dengan papir kawung, rematikku kambuh lagi. Oh, mungkin dampak aku mencuci tadi pagi, atau suluh yang kubawa terlalu berat. Dasar tubuh yang tua!

Ngeung. Ngeung. 

Seekor lebah mendekatiku. Jangan harap aku berbicara dengannya, aku bukan Sulaiman. Aku terganggu dengan suaranya. Lebah ini tak punya hidung atau bagaimana?! Lebah kan tak suka asap. atau zaman sekarang lebah memang suka merokok? Maklum, kudengar dari cucuku yang sekolah tinggi negara memang sedang rujit. Ah, toh hidupku selalu begini saja. Siapapun presidennya, aku akan tetap hidup di sini. Tidak semena-mena ganti presiden orang-orang kampung tua dengan rematik akan bangun tidur dengan kayu bakar sudah sedia di depan pintu.

Ngeung. Ngeung. 

Si Lebah terus menggangguku dengan suaranya yang lebih mengganggu daripada cikungunyah. Aku melanjutkan perjalananku sambil menghisap rokok. Eh, si Lebah malah mengikutiku. Aku mengingat omongan Mak Item, bahwa lebah tidak akan betah di tempat yang kotor. Itu berarti, lebah ini hanya mampir dan tentu tak punya sarang di sini. Di sini tak ada kebun bunga, tapi ada sih beberapa kebun mangga, tapi tidak sebanyak itu dan jaraknya berjauhan.

Aku berjalan pelan menuruni bukit tanah merah, menyusuri jalan setapak yang sudah kuakrabi bahkan dengan mata tertutup. Tembakau di tanganku tinggal seujung jari, asapnya makin tipis, sementara si Lebah masih saja setia mengikutiku. Kadang terbang di sebelah telinga, kadang nebeng sedetik di ujung suluh, lalu terbang lagi.

Begitu sampai di rumah dan menjatuhkan suluh di hawu, aku kaget bukan main. Ada sarang lebah yang masih baru. Warnanya kuning keemasan, mengkilap seperti perhiasan mahal yang dipakai cucuku dari kota. Aromanya Ya Salam! Manis menembus hidung, bahkan lebih menggoda daripada rebung muda yang baru kupetik.

Malam ini terang bulan, dan Mak Item selalu bilang kalau mau memanen madu, memang harus saat bulan sedang penuh. Ini rezekiku!

Si Lebah tadi langsung melayang pelan, mendekati sarangnya itu. Aku berdiri bengong, antara tak percaya dan takut. Tapi belum sempat aku bergerak, lebah itu terbang mendekati tanganku.

Cekit!

Rasanya panas dan menusuk tapi anehnya, rasa nyeri pada jarak antara jempol dan telunjukku yang sedari tadi membuatku berjalan seperti Jojon Pistol, teman cucuku pelan-pelan hilang. Rematikku yang biasanya kalau menjalar membuatku susah membungkuk kini entah ke mana. Aku bisa jongkok, bisa berdiri tegak, bahkan menggerakan tanganku tanpa meringis.

Si Lebah jatuh pelan di abu, sayapnya bergetar sebentar lalu diam. Mati.

Aku mendekat, memungut sarang itu dengan hati-hati. Madu di dalamnya kental, manis, dan wangi. Aku tahu, madu ini bukan cuma makanan. Rasanya, ini seperti warisan terakhir dari seekor makhluk kecil yang entah kenapa memilih menemaniku hari ini. Aku duduk di bangku bambu, menatap lebah yang sudah tak bergerak itu. Dalam hati, aku bergumam,

“Terima kasih, Lebah. Kau menyembuhkanku, bahkan tanpa aku memintanya!”

Malam itu, di rumah kecil di tepi kebun, aku, anak bungsuku, dan ketiga cucu laki-laki yang nakal itu makan singkong rebus dengan madu paling enak yang pernah kucicipi seumur hidup! Ternyata aku salah, presiden sangat penting perannya! Buktinya, waktu dipimpin Prabowo, aku tidak usah capek-capek mencari madu, eh madu itu sudah muncul di dapurku. Terima kasih, Prabowo! Tak salah aku memilihmu tiga kali berturut-turut! Merdeka!

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!