Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku. Aku dirundung takut dan gentar,
perasaan seram meliputi aku.
Pikirku: ”Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati,
aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang,
bahkan aku akan lari jauh-jauh
dan bermalam di padang gurun.
Aku akan segera mencari tempat perlindungan
terhadap angin ribut dan badai.”
Mazmur 55: 6-9.
Saya seekor anak burung belajar meninggalkan sarang. Bulu-bulu saya baru tumbuh. Ini sayap belum juga betul terkembang. Baru bisa mencuit dan berpindah dari satu dahan ke dahan lain.
Hari itu saya kembali meninggalkan sarang buat belajar terbang. Itu adalah hari pertama saya mampu melompati duapuluh satu dahan sekaligus. Anak burung lain mungkin akan kagum pada saya, sebab paling banyak, mereka hanya bisa melewati delapan belas dahan saja. Itupun ditemani induknya. Sedangkan saya, saya bisa melakukannya sendiri. Bahkan cari makan pun saya bisa sendiri.
Sedikit melelahkan. Langkah saya masih sangat pendek, dan saya hanya sedikit mengumpulkan makanan. Itu sebabnya saya lebih ringkih dari anak burung yang lain. Atau mungkin karena warna bulunya pun berbeda. Entahlah.
Semua pihak mengira saya sudah tewas dan meninggalkan saya menjelang migrasi musim dingin begitu saja di antara rindang dan kilat. Hujan, basah, dan perih jatuhnya kena mata. Kuyup seluruh tubuh dan gelap jadi semuanya.
Sekarang saya sedikit lebih besar. Saya mampu melewati dahan yang duapuluh satu itu, lalu saya merasa naga.
Kini, saya ada di ujung dahan yang terakhir saya hinggapi.
Sekelompok orang dari kerajaan saya lihat menuruni puncak dengan busur dan anak panah membawa kepala buruan di masing-masing pundaknya kecuali satu, yang punya mahkota di kepala.
Di atas mereka, langit menjelang malam tak segelap sekarang. Akar-akar petir mentereng mulai terlihat. Beberapa jauh, beberapa sedekat mati. Angin menyapu dan mulai menakut-nakuti.
Burung-burung lain yang berbeda dengan saya itu mulai terbang rendah meninggalkan ketinggian.
Saya mondar mandir mencuit meminta pertolongan, karena pada angin yang begitu, saya bakal dengan mudah terpelanting ke sana-ke sini. Hujan turun satu-satu.
Saya melihat lebih banyak burung menjauh dan meninggalkan saya. Saya mencuit lebih kencang lagi. Tapi suara saya tidak sebanding riuh dan mungkin mereka tak ngerti bahasa.
Gelap menyelimuti saya dengan ketakutan. Petir menyala seperti mimpi buruk membangunkan tidur para buronan.
Kaki saya yang kecil mencengkeram kulit pohon, dan keras upaya saya tetap di sana.
Saya menutup mata sebelum badai membanting saya ke sana ke sini.
Putarannya mengancam saya.
Saya terpelanting di udara. Mencoba membuka mata tapi tak bisa. Kemudian sebuah ranting menindih saya di kubangan.
Sayap-sayap saya patah belulangnya. Saya seperti saya sebelum hari ini. Ditinggalkan begitu saja di antara rindang dan kilat. Hujan, basah, dan perih jatuhnya kena mata. Kuyup seluruh tubuh dan gelap jadi semuanya.
Saya terjatuh di depan sekelompok orang dari kerajaan. Saya berciak-ciak meminta bantuan tapi saya hanya siap untuk terinjak.
Beberapa langkah kaki melewati saya begitu saja dan saya kembali menutup mata. Saya bakal mati saat itu juga. Suara semakin banyak dan sepucuk tangan mengambil saya.
Saya naik ke surga musim gugur.
Dimasukannya saya ke pangkuan tangannya yang hangat dan menenangkan.
Saya membuka mata dan melihat matanya yang pedang. Saya berada di genggaman seorang putra mahkota. Akhirnya saya mengerti kenapa ia tak perlu busur dan anak panah.
Saya dibawa pada sebuah sangkar di istana. Ia menyembuhkan segala kemalangan di tubuh saya. Diselamatkannya saya dengan kasa dan belas kasihan.
Ini hari ke-seribu lebih saya diselamatkan putra mahkota. Saya diasuhnya dengan baik dan sejahtera. Gemuklah badan saya, dan itu membuat saya tak mampu terbang terlalu tinggi tapi saya menjadi burung kecil yang paling bahagia.
Putra mahkota sering menyimpan saya di pundaknya. Membawa saya ke taman-taman firdaus tanpa perlu mengepak sayap sendiri.
Saya begitu dipeliharanya. Ia bilang alam liar dan kebebasan berbahaya buat saya dan di bahunya lah tempat yang paling aman buat saya.
Satu hari putra mahkota pergi berburu dengan para pengawalnya. Saya menunggunya di dalam sangkar dengan pintu terbuka dengan tali yang mengikat di leher supaya saya tak ke mana-mana.
Menjelang musim dingin tahun ke-empat, saya melihat sekumpulan burung serupa dengan saya terbang tepat di langit di atas saya.
Saya menciak dan mereka mengerti bahasa. Seekor dari sekumpulan itu menghampiri saya di pintu sangkar. Mengajak saya terbang bersama entah ke mana.
Saya melihat ke arah hutan menunggu putra mahkota. Sampai sekarang tak nampak runcing berlian di mahkotanya. Saya lalu terbang sedikit dan berbangga hati sebab saya tak pernah terbang lagi.
Saya lalu pergi bersama ke arah matahari terbenam.
Di tengah perjalanan, badai kembali muncul. Saya terpisah dari kumpulan saya seperti domba hilang dari pantauan gembala.
Saya menelusuri jalan kembali ke istana. Saya menginginkan perlindungan putra mahkota sekali lagi.
Tapi di istana sudah tak ada siapa-siapa. Saya menunggu putra mahkota kembali hingga kini menjadi seekor burung di udara yang terbang sia-sia.