Berangkat sebagai penikmat sastra yang baru menekuni tulis menulis, saya merasa seperti orang yang lewat di kumpulan orang-orang tua yang lagi asyik kumpul di tengah jalan dan saya lewat di tengah-tengah itu;
“Punten ngiring ngalangkung.”
Punten, saya ikut menanggapi tulisan Pak Amar terkait polemik ekosistem literasi di Purwakarta yang dekat-dekat ini memang sedang berisik-berisiknya ditanggapi oleh pegiat-pegiat literasi Purwasuka (Cikampek itu Subang, kan?)
Rasa-rasanya melihat pemandangan adu argumen lewat esai yang dipicu oleh tulisan Pak Sebul atau pak Amar ini terlihat seperti Nikita Mirzani yang berhasil mendapat perhatian publik dari kelakukan-kelakuan sensasionalnya itu, hanya saja Pak Sebul melakukannya dengan cara—yang menurut saya, jauh lebih baik; jauh lebih intelektual dan elegan ketimbang Nikita Mirzani. Selebihnya saya sangat mengagumi Pak Sebul ini.
Di tengah-tengah adu argumen berlangsung, Nyimpang mengadakan acara bedah buku antologi puisi “Memahami Luka dan Putus Asa” karya sahabat, kakak sekaligus guru saya: Teh Ade Riani.
Diadakan pada tanggal 27 Januari, di café dengan bangunan tua dan tentu di Kabupaten Purwakarta.
Saya datang ke acara tersebut dan menikmati setiap rangkaian acaranya, terutama di bagian A Farid mengatakan,
“Hayu sok atuh pesen, bill-nya atas nama Farid aja.“
Orang banyak berdatangan dari tokoh atau kalau boleh mah sastrawan Purwakarta, pegiat-pegiat dari komunitas yang berbeda (yang mungkin sebagian disebutkan di tulisannya Pak Sebul) dan para penikmat seperti saya, sampai acara selesai.
Hingga acara bedah buku tersebut selesai saya tidak mencurigai apa-apa, terlihat orang-orang berbubaran sebagian dan sebagian lagi memilih untuk nongkrong-nongkrong biasa, saya juga.
Lalu entah apa yang memulainya tapi secara tiba-tiba di ruangan bekas acara bedah buku barusan orang-orang melingkarkan posisi, ada yang dengan menyeret kursi ada yang tetap di tempatnya. Saya mulai menyadari siapa saja yang duduk di posisi tersebut.
Betul, sebagian besar mereka adalah pegiat-pegiat literasi yang komunitasnya masuk list tulisan pak Sebul, terutama A Farid Nyimpang dan Kang Hadi Kopel tepat di satu baris yang sama dan terhalang oleh beberapa kursi saja.
Obrolan pun dimulai dan saya menyimak. Setiap orang di sana percaya kumpulan yang melingkar itu diskusi, tapi pertama-tama justru pemandangan tersebut mengingatkan saya pada masa SMA.
Pak Sebul seperti akan diospek oleh pegiat-pegiat senior karena tulisannya. Tapi syukur, ternyata saya salah, itu memang diskusi.
Tidak perlu lama untuk memahami topik diskusi. Secara keseluruhan diskusi atau obrolan di dalam lingkaran, membahas tulisan pak Sebul; mengklarifikasi penilaian Pak Sebul terhadap Kang Hadi dan A Farid, terakhir yang paling bikin saya gereget yaitu saling mengemukakan ide dan rencana-rencana bagaimana komunitas-komunitas di Purwakarta bisa saling berkolaborasi dan bersinergi meski dalam idealis atau lingkup kerja yang berbeda.
Ya ampun, percaya atau tidak segmen itu terbilang cukup lama. Kolaborasi dan sinergi barangkali punya tujuan yang sama: Silaturahmi.
Untuk bersilaturahmi, mereka harus menumpahkan berbagai ide dan rencana-rencana dengan akhirnya yang tidak ada satu di antara mereka untuk berani memilih, menentukan atau memufakati ide dan rencana mana yang sudah tercecer itu, dengan waktu yang cukup lama pula.
Sesulit itukah bersilaturahmi?
Kenapa tidak ada yang mau maju ke depan mendedikasikan diri sebagai penanggung jawab kemudian meminta yang hadir di sana menyepakati bersama ide dan rencana mana yang akan direalisasikan?
Apa karena Bang Rey berulang kali bilang—kalau tidak salah, “Generasi awal” sehingga timbul kesan bahwa generasi baru harus memegang tombak kepemimpinan dan meneruskan cita-cita (anjayz seperti yang lagi mau nyaleg aja saya) sehingga yang generasi pertama merasa tidak perlu ambil alih untuk menjadi penanggung jawab diskusi dan generasi baru sendiri takut merasa lancang bila harus mengambi alih diskusi.
Mungkin saya salah, atau meleng ketika obrolan di lingkaran itu berlangsung. Tapi kayanya enggak, deh.
Kalau pun benar saya salah, saya minta maaf dan semoga ada yang mau menanggapi tulisan ini.
Sebagai penutup, saya ingat sebelum obrolan atau diskusi tersebut berakhir Kang Budi Hikmah mengemukakan pendapat semacam solusi, kurang lebih katanya begini;
“Mulailah bangga pada karya atau tulisan teman kita sendiri meskipun teman kita belum terkenal, sebab itu sebagai langkah kecil untuk mengapresiasi dan punya dampak yang besar.”
Tapi apakah benar itu menjawab silaturahmi ataupun pendapat Pak Amar tentang kondisi antarkomunitas yang “betah main-main di lingkungannya sendiri” dan “Tidak pernah menghadiri acara (komunitas) satu-sama lainnya?” Dan sekali lagi, selebihnya saya mengagumi Pak Sebul.