“Menggenapkan yang ganjil”
– Anonim
Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman saya yang ‘berhasil’ atas pencapaiannya (baca: pernikahan). Ia menuliskan kutipan di atas lalu mengunggahnya di laman Facebook-nya. Kali ini, saya akan memandang secara ‘sinis’ perihal status yang ada di berandanya itu telah mengusik pikiran saya dan membuat saya jengkel, bukan atas pencapaiannya tapi lebih kepada pemberian atas definisi seenak-jidatnya terhadap dikotomi makna ‘genap’ adalah yang sempurna atau baik dan ‘ganjil’ mempunyai makna yang tidak sempurna atau bisa di bahasakan‘belum lengkap’ atau ‘tidak purna’. Maka dari itu, saya ingin mencoba membedah dengan pisau ala kadarnya untuk mengetahui maksud teman saya yang melontarkan kata-kata tersebut.
Pada dasarnya, definisi berhasil tentunya merujuk pada suatu ukuran atau batasan yang ia miliki sebagai waktu purna atau selesai, dalam artian membebaskan dari beban-beban yang semasa hidupnya penuh halang-rintang yang datang bertubi-tubi. Mari kita bedah kata ‘berhasil’ menurut sependek sepengetahuan saya perihal gramatika pada kata tersebut. Baik, kita mengawalinya dengan kata ‘ber’. Kata ‘ber’ secara ilmu leksikologi yang merunut pada kamus besar bahasa Indonesia adalah mempunyai dua suku kata dan terdapat kata imbuhan ‘ber’ sebagai kata konfiks verba yang berfungsi untuk memberi kata tambahan pada suatu kata. Ia mempunyai tiga suku kata, jika ditambah pre-fiks itu akan bertambah satu yaitu berjumlah empat suku kata. Dan, kata hasil sendiri memiliki arti sesuatu yang ‘diadakan’ atau bisa diartikan dengan contoh yang mempunyai wujud.
Syahdan, saya menjelaskan latar belakang perihal kegelisahan saya meneliti dan menuliskan catatan ini dengan pikiran sadar dan terbuka. Tujuannya adalah supaya saya terbebas dari hegemoni kuasa kata yang seenak-jidat itu keluar tanpa dipikir dan diolah kembali sebelum terlontar pada mulut atau jempol yang ia kendalikan itu. Penelitian semacam ini kurang memenuhi syarat jika menggunakan teori fairclough tentang CDA atau biasa yang disebut dengan Critical Discourse Analysis yang mana menurut Dr. Haryatmoko adalah membantu memahami bahasa dalam pengguanaanya. Oleh karena itu ia tak mempunyai elemen yang ada dalam teori tersebut. Jadi, saya putuskan untuk menggunakan teori ‘Ngawuriyah’ saja biar enak menganalisis penelitian yang suka-suka ini. Alasan saya memilih metode ini adalah untuk memudahkan penguraian bahasan yang ada di kepala saya menjadi sistematis. Dan tentunya, jauh dari kata objektivitas.
Jika dikaitkan dengan pokok permasalahan, tentunya mempunyai rumusan masalah tersendiri. Mungkin, dengan satu variabel sudah cukup untuk menjawab akar permasalahan ini. Terkait kesimpulan? Biar pembaca saja yang menyimpulkan, saya sih cuman bisa berceracau seperti ini saja sudah cukup. Variabel itu adalah ‘apakah benar yang ganjil itu menggenapkan dan bagaimana pandangan dari perspektif Ngawuriyah? Begitu.
Di tengah emosi yang semakin menyala, tentunya hal ini mengganggu pikiran saya yang seolah harus merespons masalah ini dengan elegan. Perlu diketahui bahwa, kegelisahan atas reaksi sebab-akibat dalam hubungan sosial baik itu luring maupun daring tentunya akan menimbulkan suatu climate-change menjadi tropis yang semula adem-ayem pada alam pikiran. Dan oleh karena itu, yang kian hari semakin berkelindan atas musabab yang dilakukan oleh entitas tersebut menjadi buah pikir saya menulis catatan ini.
Kita mafhum bahwa, kebebasan berekspresi setiap orang itu beraneka ragam bentuknya. Tapi kita juga ingat bahwa batas dari kebebasan itu sendiri adalah kebebasan bagi orang lain. Nah, ini menyinggung saya sebagai kaum yang ‘ganjil’ ini. Cara kerja otak yang membuat suatu pikiran itu menjadi sebuah tindakan, dan tindakan membuat pola perilaku yang kembali tertanam dalam alam pikirnya dan mengonfirmasi bahwa tindakan seperti ini adalah menjadi ciri khasnya dalam merespons sesuatu. Perlu adanya uji validitas atas respons yang diberikan tindakan dalam mencerna tindakan apa yang seharusnya ia lakukan dan tidak dilakukan untuk berada pada posisi aman—menurut versinya. Alam pikiran memerlukan data-data yang akurat untuk bisa diterima dalam gelombang-gelombang frekuensi yang menurutnya sudah tersaring jelas akan kredibilitas data yang akan dijadikan primary source pada setiap penciptaan bentuk suatu tindakan.
Proses penerimaan data yang akurat akan membuat dirinya semakin kuat. Dalam artian, ia akan menciptakan cultural-assumption versi dirinya sendiri atas definisi yang kredibel dalam cara memandangnya. Hanya saja, ia perlu sedikit pengakuan atas tindakannya, dalam melontarkan buah pikiran yang abstrak menuju bentuk konkrit untuk diolah sebagai keabsahan buah pikiranya yang selama ini tumbuh berkembang pada alam bawah sadarnya. Jika terdapat kekeliruan yang agak fatal tentunya ia akan menolak secara mentah-mentah ihwal kehiprokrisiannya yang itu adalah sifat manusia yang entah dari mana datangnya. Mungkin saja, pledoi itu akan selalu ada pada dirinya dan mengamini segala pendapat tanpa adanya data yang menunjang statement-ya itu diterima pada khalayak.
Pada akhirnya, ketika peristiwa ini datang pada alam pikir saya, tentunya etika sebagai penulis itu akan terpanggil meskipun tidak ada feedback kepada entitas yang bersangkutan untuk melihat atau bahkan merspons balik atas sinisme yang saya buat karenanya. Hal itu bukan menjadi masalah utama saya, ini lebih rasa kepuasan yang diberikan atas capaian yang saya capai selama ini saya belum mampu dan saat ini saya telah meraihnya melalui rasa sinis yang bergolak dalam hati.