Mendengar pernyataan itu, air mata saya menggenang di kelopaknya. Air matanya gak jatuh tapi mengaburkan pandangan saya. Bermunculan bayangan tentang hidup saya sebelumnya yang bahagia, bayangan saya tentang Ayah waktu masih sehat, bayangan saya tentang rumah masa kecil saya waktu semua anggota keluarga masih utuh dan lengkap, dan bayangan-bayangan itu rasanya terlewat terlalu jauh.
Yang saya pikirkan lagi-lagi adalah kelangsungan hidup keluarga saya. Gak ada yang lebih penting dari itu. Kalau saya dipecat, saya capek harus mulai semuanya dari awal lagi. Saya capek dengar suara token bunyi, saya capek sama semuanya. Tapi saya juga gak bisa diginiin.
Saya menggeleng-gelengkan kepala. Teriakan Iman kencang, tapi gak ada siapa-siapa di lobby dan saya gak tahu di kamar hotel ada orang atau enggak. Kalaupun ada, saya rasa mereka gak akan ikut campur. Saya masih tetap duduk di lobby jaraknya sekitar 10-20 langkah dari koridor kamar Iman.
Saya terus chat teman-teman saya, termasuk Riki. Ya. Baru pada saat itu Riki sudah bisa dihubungi. Saya gak jelasin apa yang terjadi ke Riki lewat chat itu, saya cuma bilang saya sedang dalam keadaan darurat, tolong jemput saya di hotel ***nd Si**
Tapi sayang, dia benar-benar gak bisa, dan Iman kembali meneriaki saya.
“ARINI!!! MASUK KE KAMAR SEKARANG ATAU SAYA KUNCI KAMU DI LUAR!!!”
Saya cuma melihat ke arah dia. Saya benar-benar gak berdaya. Ketakutan, gelisah, merasa najis, semua perasaan negatif berkumpul di kepala saya. Saya melihat dia kembali berjalan masuk ke kamar.
Saya gak bisa nunggu lagi. Saya gak mau ambil resiko dia narik paksa saya masuk ke dalam kamar dan saya memutuskan untuk lari keluar dari hotel itu.
Saya buncah keluar hotel. Saya bingung saya harus lari ke mana, yang jelas, saya terus lari ke arah jalan. Saya lari di tengah jalan dan berteriak seperti orang gila. Tengah malam, di jalanan Purwakarta.
Beberapa kendaraan klaksonin saya karena hampir menabrak saya. Saya gak peduli, saya nangis teriak minta tolong. Ketakutan saya tumpah-ruah di tengah jalan itu. Saya melambai-lambaikan tangan meminta bantuan siapapun yang lewat dengan teriak. Saya panik dengar suara. Saya panik. Saya rasa saya gila malam itu. Badan saya bergetar kencang, kencang sekali. Tapi malah banyak yang klaksonin saya. Mereka gak berhenti, mereka gak nolong saya. Tapi saya ngerti, saya akan dicurigai modus-modus begal dan saya sama sekali gak bisa ngomong 1 kata pun. Tubuh saya bergetar terlalu kencang, saya cuma bisa teriak dan seorang gojek berhenti.
Saya takut dikejar Raden Iman. Saya langsung naik ke motor gojek itu. Saya masih bergetar. Saya sulit mengelola napas, gojeknya juga bingung.
“Teh, teh, teteh tenang dulu teh. Saya takut saya dikira jahatin teteh.”
Percaya deh. Saya udah coba sekuat tenaga tapi batin saya betul-betul terguncang malam itu. Dengan napas tersengal-sengal, tangis yang menjadi-jadi, saya bilang,
“Pak… tolong saya. Bawa saya jauh-jauh dari sini.”
“Iya teh ke mana? Teteh tenang dulu.”
Setiap mobil yang lewat, saya takut. Saya benar-bentar paranoid malam itu. Beberapa kali gojek itu berhenti. Saya juga masih bingung saya harus ke mana. Saya minta berhenti di Taman Pembaharuan. Saya ngumpat di pos polisi di sana. Saya jongkok, menutup telinga saya. Menghindari setiap mobil yang lewat. Saya benar-benar histeris.
Akhirnya, Riki menelepon dan mengarahkan gojek itu ke rumah Riki. Ilman menyusul ke rumah Riki. Saya sudah aman.
Saya masih syok dan masih belum bisa bercerita. Sampai 2 atau 3 rokok, saya baru bisa menceritakan semuanya di depan Riki, Bapaknya Riki, gojek yang mengantar saya, dan Ilman yang beruntungnya ketemu saya di perjalanan saya ke rumah Riki.
Malam itu saya nginap di rumah Riki. Gak bisa tidur, dan lain segala macam. Saya benar-benar takut. Jantung saya masih deg-degan.
Intinya, keesokan harinya saya menceritakan semua kejadian ke salah satu owner restoran itu. Saya masih gila. Mendengar suara pagar dibuka, saya tiba-tiba lari, jongkok, nangis, dan histeris. Mendengar pintu dibuka, dan semua suara saya takut.
Selebihnya, Raden Iman kabur. Saya tahu di mana dia sekarang. Siapa istrinya, siapa anak tirinya. Nama mantan istrinya, alamat mantan istrinya di Makassar, dan anak laki-lakinya.
Pengalaman ini merupakan fakta, kejadian nyata yang terjadi pada saya. Semua yang terlibat ada dan masih hidup. Saya berterima kasih kepada Ilman, Riki dan keluarga, salah dua owner restoran yang membantu saya dan TIDAK menghakimi saya.
Dalam menulis ini, saya juga masih harus lelah menahan tangis yang tiba-tiba ada. Menahan panik, dan hal-hal gak mengenakan lainnya. Tapi, gakpapa. Semuanya sudah dilewati.
Kepada Raden Iman, selamat menjalani hidup seperti yang diinginkan sebelum saya menunaikan segala yang saya perhitungkan 1.5 tahun ini. Tetaplah hidup untuk menuai yang sudah saya persiapkan, ya.
Kepada keluarga inti saya, Ayah, Bunda, atau adik saya yang mungkin suatu saat membaca ini, jangan pernah merasa bersalah, ya. Saya dikelilingi orang-orang terbaik. Sahabat-sahabat paling bermakna. Neng kan udah bilang bakal ngelakuin apapun buat kalian. Maafin Neng gak pernah cerita. Maafin Neng pulang senyam-senyum dan seharian tidur. Neng cuma gak mau nambah beban kalian! Kalian harus tahu anak kalian itu kuat tau!:p
Kepada seluruh korban pelecehan dan kekerasan seksual di belahan dunia manapun, tetaplah hidup. Kalian gak sendiri #MeToo. Ini bukan pengalaman pertama, sebelum dan setelah kejadian ini, saya sudah pernah mengalaminya. Tapi pengalaman kali ini adalah pengalaman yang paling mengganggu saya. Dan setelah ini, saya lebih kuat. Bergabunglah dengan orang-orang yang menerima kalian, mendukung kalian, mencintai kalian. Kalian gak salah. Pakaian, wajah, dandanan, semuanya gak ada yang salah dari kalian. Kuat ya, bestie! Kalau ada yang mau diceritain, boleh DM saya @___ccarin atau boleh ke Swara Saudari. Kami akan coba bantu apapun kebutuhanmu selagi kami bisa, kami akan berupaya. Kamu gak sendiri! Rehat. Tarik napas. Tenangin diri. Kuat sama-sama, ya! Emang gak mudah, emang menyesakkan. Tapi kita layak hidup lebih lama dan bermakna!
With love,
Cece.