*
Balai Desa Sukanalar geger. Pagi-pagi sudah terjadi keributan, atau lebih tepatnya unjuk rasa.
“Kang Turah sesat, murtad! Dia harus pergi dari kampung ini!” seru para warga yang demo di depan Balai Desa. Tidak jelas siapa yang memimpin, namun Jumat pagi itu telah berkumpul sekitar 50 orang yang berunjuk rasa. Dan yang menjadi obyek tuntutan mereka tak lain adalah Kang Turah.
Mereka menganggap Kang Turah telah melakukan tindakan penodaan agama. Karena itu mereka menuntut agar ia sekeluarga diusir dari Desa Sukanalar.
**
Sekira sebulan sebelum keributan tersebut, Kang Turah tampak melamun di pematang sawahnya. Lututnya lemas seolah tanpa daya. Ia hanya bersandar di pohon kelapa dengan muka lesu menghadap ke salah satu sudut sawahnya yang penuh sampah.
Sejak tandur sebulan yang lalu Kang Turah mengetahui ada beberapa sampah popok sekali pakai di sudut selatan pematang sawahnya. Sudut tersebut memang paling dekat dengan jalan, sehingga ada warga nir-otak yang tega membuang sampah di sana.
Ketika itu ia masih bersabar. Ia punguti sampah popok tersebut untuk dikubur di pekarangan rumahnya. Namun kian hari jumlah sampah yang dibuang di sawahnya kian banyak. Tampaknya orang-orang desa merasa menemukan spot baru untuk membuang sampah mereka. Kang Turah bukannya tanpa upaya, ia telah mencoba membuat plang bertuliskan ‘dilarang membuang sampah di sini’ di depan pematang sawahnya. Namun tidak ada efek dari upayanya tersebut. Tampaknya masih banyak warga Desa Sukanalar yang buta huruf.
“Orang-orang kampung ini kok tega banget, buang sampah sembarangan di sawah seenak perut mereka.” Ucapnya lirih, tak jelas ditujukan ke siapa. Mungkin kepada danyangan penunggu sawahnya, sebab tiada orang lain di sana.
Tak lama berselang, Yu Sum datang membawa rantang. Memang telah menjadi kebiasaannya setiap pagi menyusul ke sawah membawa nasi dan lauk-pauk untuk sarapan Kang Turah, suaminya. Pagi itu ia membawa nasi jagung, sayur, dan tahu tempe sebagai lauk. Tak lupa juga ikan asin kegemaran sang suami.
“Ya ampun Pak.. pagi-pagi bukannya mulai bekerja, malah melamun saja. Daripada bengong gak jelas mikirin apa, mendingan segera sarapan sini.” sapanya kepada sang suami.
“Taruh di gubuk dulu Bu. Aku lagi sumpek ini, gak nafsu makan.” Jawab Kang Turah pelan, sambil berjalan gontai mendekati istrinya.
“Wéladhalah.. ada apa ini? Kok kayak nganeh-nganehi. Lagi mikirin apa sih Pak? Mbok ya sharing sama istri tercinta ini. Siapa tahu bisa kasih solusi.”
“Coba lihat sudut sawah yang selatan itu, semakin banyak sampahnya. Tiap hari ada saja orang yang melemparkan sampah ke sana.”
“Oh iya Pakné, i see. Kepriye ya nalarnya orang-orang itu..” Yu Sum menjawab dengan lirih, sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.
Yu Sum terdiam beberapa saat, tak bisa memberi sumbang saran. Begitu juga Kang Turah, seperti kehabisan ide untuk mencari solusi. Suami-istri itu diam, seperti sepasang kekasih yang sedang jothakan, tak saling bertegur sapa.
“Eh, Pak.. aku punya ide!” Yu Sum berseru tiba-tiba, hingga mengagetkan suaminya.
“Kamu ini lho! Punya ide ya punya ide, tapi jangan ngaget-ngatein suami lah. Nanti kalau aku jantungan gimana. Bisa jadi janda dirimu.”
“Pakné ini, lho.. kalau lagi stress bercandanya jadi ngawur. Sudahlah, sini aku bisiki. Dengarkan dengan cara seksama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebab ini urgent untuk kemerdekaan sawah kita.”
***
Tak lama setelah mendapat gagasan dari istrinya, Kang Turah mulai bertindak. Setiap pagi menjelang Subuh, ia pergi ke sawahnya untuk menaruh sesajen di bawah pohon kelapa di sudut selatan, di tempat yang biasa dipakai orang untuk membuang sampah.
Sesajennya sederhana saja. Hanya berupa telur ayam, dain sirih, bawang merah-bawang putih, bunga tiga warna, serta sepucuk dupa. Tak lupa pohon kelapanya diselimuti kain poleng hitam putih. Persis seperti yang jamak dijumpai di pulau Bali.
Kebiasaan menaruh sesajen itu dilakukannya dengan ajeg. Seminggu, dua minggu, hingga tiga minggu; dan nyatanya tidak ada lagi warga desa yang berani membuang sampah di sawah Kang Turah.
Tentu saja hal ini membuat bungah Kang Turah. Ia mendekati istrinya sambil senyum-senyum. “Sungguh beruntung aku memiliki istri sepertimu. Biarpun ndak terlalu cantik, namun cerdas bukan kepalang. Idemu tentang sesajen itu sungguh cemerlang. Orang-orang nir-otak itu jadi ngeri membuang sampah di sawah kita.”
“Siapa dulu dong? Yu Guneeem… wanita paling utama di Desa Sukanalar.”
“Kalau begini, insyaAllah panen kita bakalan bagus. Keinginanmu untuk beli sepeda motor listrik tampaknya akan jadi kenyataan.” lanjut Kang Turah.
“Amin, iya Pakne.. semoga Gusti Allah ngijabahi.”
****
Kang Turah duduk di pendapa Balai Desa Sukanalar, di samping Kepala Desa dan Pamong lainnya. Duduknya tenang-tenang saja, tidak nampak seperti seorang pesakitan yang sedang dihakimi para warga.
“Bapak-bapak dan saudara-saudara semua, Kang Turah sudah hadir di tengah-tengah kita. Maka sekarang saya minta perwakilan warga untuk menyampaikan tuduhan dan tuntutannya. Silahkan, siapa yang akan berbicara?” Pak Kepala Desa membuka pertemuan dengan penuh wibawa.
“Saya mohon ijin berbicara mewakili warga, Pak Lurah.” Lik Mat berdiri, memulai pembicaraan. “Kang Turah ini telah melakukan perbuatan syirik, suguh sesajen di sawahnya. Tidak hanya sehari-dua hari, tapi setiap hari. Itu adalah bukti nyata kesesatannya. Dia telah menodai ajaran Islam, pendeknya bisa dibilang ia telah murtad. Maka ia tak pantas lagi menjadi penduduk Sukanalar yang notabene terkenal sebagai Desa agamis.”
“Mohon maaf Pak Kades, saya tidak terima dituduh murtad, tanpa adanya bukti, saksi, dan indehoi.” Kang Turah angkat bicara.
“Pledoi Kang, pelodoiii..” seseorang mengingatkan.
“Oh iya, itulah pokoknya. Para hadirin saya harap bisa mawas diri, ngaca, nggrayahi jithoknya sendiri-sendiri. Ingatlah bahwa ketika sampeyan sedang mengacungkan jari telunjuk kepada orang lain, sejatinya jari yang empat sedang nduding diri Anda sendiri. Saya..”
“Halah, gak usah banyak bacot!” Lik Mat menyela dengan nada meninggi. “jelas-jelas sampeyan menaruh sesajen di sawah. Tujuannya apa lagi kalau bukan meminta pertolongan dhemit dan danyangan. Itu namanya syirik! Dosanya tidak akan diampuni oleh Gusti.”
“Tunggu dulu Lik Mat, jangan keburu emosi. Biar kang Turah melanjutkan pledoinya.” Pak Kades mencoba menengahi.
“Matur nuwun Pak Lurah.” Kang Turah melanjutkan. “Saya meletakkan sesajen itu hanyalah sebagai rekayasa. Sebab banyak warga desa yang super ngawur membuang sampah di sawah saya. Jika dibiarkan akan merusak tanaman padi, dan berpotensi menyebabkan gagal panen. Nah, dengan sesajen itu saya bermaksud menakut-nakuti mereka agar tidak lagi membuang sampah di sana.”
“Owalah.. ternyata begitu.” Suara para warga bersahut-sahutan.
“Lagian, kalian seharusnya malu. Sebagai umat yang agamis kok masih berbuat buruk kepada sesama. Mbok ya sadar bahwa membuang sampah di lahan pertanian orang lain itu tercela, merampas hak orang lain untuk bisa panen bagus. Biarpun misalnya orang lain itu beda agama dan keyakinan, bukan berarti boleh dirampas hak-haknya. Mereka juga dilindungi UUD 1945, lho.”
Kang Turah melanjutkan pidatonya sambil melenggang meninggalkan pendapa “Singkatnya, di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini saya juga mempunyai hak untuk merdeka. Merdeka untuk mengolah sawah saya, lebih-lebih lagi merdeka untuk mengekspresikan agama dan keyakinan saya.”