Saat saya kecil, saya berada di lingkungan rumah penduduk Betawi. Saya merasa nyaman berada di lingkungan anak-anak Betawi saat itu. Mereka memberikan dampak positif untuk saya, satu diantaranya adalah belajar mengaji. Saat itu saya masih TK nol besar. Perjalanan ke rumah guru mengaji tidak mudah, karena saya harus melewati tanah yang becek dan tidak ada listrik. Jadi saya harus membawa obor. Setiap bulan, dengan sukarela kami membawa beras untuk biaya belajar mengaji. Hati ini rasanya senang sekali.
Perubahan kemudian terjadi saat saya mulai duduk di bangku Sekolah Dasar. Lingkungan pertemanan saya di rumah pun berubah. Saya lebih banyak berada di lingkungan yang lain walaupun masih satu lokasi dengan sebelumnya, tapi karena saya sekolah, jadi waktu bermain saya tidak sama dengan teman-teman yang sebelumnya. Di lingkungan baru itu saya belajar naik sepeda, bermain petak umpet, dan masak-masakan. Saat itulah saya mulai kena bully karena perawakan saya yang berbeda. Postur badan tinggi kurus, dengan wajah oriental dan mata saya cenderung sipit. Saya diajak mereka untuk bergabung bermain masak-masakan lalu kemudian saya ditinggal sendirian untuk membersihkan seluruh sisa-sisa bermain kami.
Keadaan seperti itu terus menerus saya alami sampai kemudian orang tua pindah lokasi tempat tinggal ke komplek perumahan. Menginjak kelas 2 SD, saya mulai aktif ikut kegiatan sanggar seni. Saya pernah ikut pagelaran drama perayaan Natal dan Hari Pahlawan Nasional. Rasanya senang sekali saat itu, karena saya punya banyak teman baru. Saya pun merasa bahwa bully-an yang sebelumnya dapat dengan mudah saya lewati karena saat itu teman-teman saya sudah berganti. Namun, lambat laun pun saya mengalami rundungan lagi di lingkungan perumahan. Saya dianggap anak bawang yang gak tahu apa-apa.
Keadaan seperti itu membentuk karakter saya menjadi pendiam, sulit mengekspresikan diri, dan sudah pasti sulit percaya terhadap orang lain. Lagipula apa yang bisa anak kecil lakukan waktu menerima ucapan kebencian berbau rasial? apa yang dipikirkan anak-anak di usia itu ketika ledekan body shaming dilontarkan? lengkap pula dengan tindakan-tindakan senioritas ala-ala! Usia saya masih anak-anak waktu itu, dan yang bisa saya lakukan tentu saja cuma menangis dan memilih untuk tidak keluar rumah dan tidak bermain lagi.
Untungnya, saya memilki orang tua yang melindungi dan support saya mengatasi masalah dan konflik. Saya sering di ajak ke toko buku untuk membeli semua buku yang saya inginkan tanpa batas biaya. Pelarian saya saat itu sibuk terbenam diantara buku-buku.
Perlakuan yang tidak baik itu justru membuat saya termotivasi untuk memiliki prestasi di segala bidang. Dimulai saat di SMP, pernah terpilih bersama 20 siswa/siswi di sekolah saya menjadi anggota Patroli Keamanan Sekolah. Kami berlatih baris berbaris dan memelajari rambu-rambu lalu lintas selama 3 bulan di Polda Metro Jaya. Kegiatan itu memberikan manfaat yang positif karena menjadikan pribadi saya menjadi tangguh dan disiplin waktu. Puncak prestasi saat terpilih hanya 2 SMP di Jakarta, salah satunya sekolah saya yang menjadi penerima tamu Ibu Negara Republik Indonesia di acara peringatan anak-anak sedunia tahun 1987 di Jakarta, dan wajah saya muncul di majalah remaja terkenal saat itu. Wah senangnya bukan main!
Saat saya di SMA, saya aktif juga ikut kegiatan ekstrakurikuler. Ikut kelas Bahasa Inggris, basket, dan Palang Merah Remaja. Saya bersama 3 orang perwakilan SMA mengikuti seminar seputar bahaya kenakalan remaja dengan pembicara psikolog terkenal pada masa itu. Pesertanya dari seluruh SMA tahun 1988 di Jakarta. Selang beberapa hari kemudian, saya dan beberapa teman mewakili kelas kami ikut perlombaan Paskibra antar kelas di sekolah. Kami tampil menjadi pemenang di perlombaan itu. Saya bertugas sebagai penarik tali bendera Merah Putih. Saya mendapatkan tawaran menjadi anggota Paskibra untuk ke tingkat nasional. Tapi tawaran itu saya tolak karena saya lebih memilih fokus aktif di kegiatan Palang Merah Remaja.
Sebenarnya sampai saat ini saya masih mengalami bully ketika ada di lingkungan masyarakat. Ledekan “Cina” atau “Capucina” selalu terdengar dan diucapkan di depan mata kepala saya sendiri. Mereka juga sering menertawakan atau mencibir saya yang tidak menggunakan hijab. Saya cuek bebek sekarang, masih ada kue yang harus saya panggang. Jadi saya gak punya waktu untuk mendengar atau ngeladenin mereka.
Kesimpulannya dari semua itu menurut saya adalah siapapun harus memiliki selflove, self-esteem yang tinggi, harus berdamai dengan diri sendiri dan banyak berpikir positif menghadapi segala hal dalam kehidupan. Itu bentuk pertananan yang kuat dari dalam diri dulu. Setelah itu pertahanan fisik dengan ikut latihan beladiri seperti karate dan lain-lain.
Saya yakin bullying adalah masalah serius, terlebih untuk anak-anak. Tidak hanya bisa bikin mereka sedih, bullying juga bisa mengganggu perkembangan emosi, sosial, atau bahkan fisik mereka. Anak-anak yang jadi korban bullying bisa merasa cemas, depresi, atau takut. Mereka juga bisa merasa sendirian dan susah buat percaya sama orang lain, dan itu terjadi pada saya. Pada kasus yang lebih ekstrem, bullying bisa mengakibatkan suiceide.
Di sisi sosialnya, anak-anak yang sering dibully bisa jadi nggak mau interaksi sama teman-temannya atau malah jadi lebih agresif. Di sekolah, mereka juga bisa kesulitan fokus belajar karena gangguan dari bullying, bahkan sering absen. Akibatnya, nilai akademis mereka bisa turun drastis.
Selain dampak psikologis, bullying juga bisa mengakibatkan luka fisik, seperti luka memar atau bahkan kekerasan yang lebih serius.
Semua pihak harus turun tangan untuk mengatasi hal ini. Saya rasa orang tua, sekolah, dan komunitas harus bersatu buat bikin lingkungan yang aman buat anak-anak. Berikut beberapa langkahnya:
- Pendidikan karakter: Di sekolah, sangat penting diajarkan kepedulian dan saling menghormati. Program-program harian atau mingguan seperti seminar, lalu perkemahan dengan sesi sharing ini bisa bantu anak-anak ngerti bagaimana caranya support satu sama lain.
- Penguatan diri: Anak-anak juga perlu diberi bekal dan bimbingan cara menghadapi konflik dan meningkatkan rasa percaya diri. Bisa lewat pelatihan sosial atau bimbingan pribadi.
- Dukungan dan pantauan: Orang tua dan guru harus selalu dukung anak-anak yang kena bullying. Komunikasi yang jujur dan pantauan yang teliti bisa bantu cepet tanggap sama masalahnya.
- Libatkan komunitas: Semua orang, dari masyarakat hingga lembaga perlu ikut berperan. Kampanye anti-bullying, acara sosial, atau program mentor bisa bantu jadi solusi buat anak-anak.
Bullying itu bukan masalah sepele, ya. Kita harus bersatu buat atasi dan hindarin ini. Dengan kerja sama, kita bisa buat lingkungan yang lebih aman buat anak-anak biar mereka bisa tumbuh dengan baik. Saya bisa jadi orang yang beruntung karena bisa bangkit dan tetap hidup dari trauma dan luka perundungan itu, dan saya mau semua orang sembuh dari luka-luka dan trauma bullyingnya. Semoga…