• Esai
    • Perempuan
    • Literasi
    • Melihat Netizen Bekerja
    • Nyimpang Banget
    • Sosial Budaya
  • Komunitas
    • Tokoh
    • #bincangnyimpang
  • Ulasan
    • Film
    • Buku
    • Musik
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Cerbung
      • Aku Ingin Berlari
  • Kota Kita
    • Kajadian
    • Tongkrongan
    • Ulin
  • KIRIM TULISAN!
No Result
View All Result
  • Esai
    • Perempuan
    • Literasi
    • Melihat Netizen Bekerja
    • Nyimpang Banget
    • Sosial Budaya
  • Komunitas
    • Tokoh
    • #bincangnyimpang
  • Ulasan
    • Film
    • Buku
    • Musik
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Cerbung
      • Aku Ingin Berlari
  • Kota Kita
    • Kajadian
    • Tongkrongan
    • Ulin
  • KIRIM TULISAN!
No Result
View All Result
Nyimpang
No Result
View All Result

Jendela Kereta [Cerpen]

Orang boleh mencintai senja atau langit mendung atau bahkan tanki septik sekalipun. Selama bagi dia itu kebahagiaan, maka berarti itulah kebahagiaan.

Khumaid Akhyat Sulkhan by Khumaid Akhyat Sulkhan
September 14, 2019
in Cerpen
5 min read
Jendela Kereta [Cerpen]
31
SHARES
61
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kereta Api Prambanan Eskpres terlambat lima menit ketika sampai di Stasiun Lempuyangan. Seharusnya, ia tiba pukul 09:10, sesuai jadwal. Tapi tak mengapa. Aku sudah terbiasa dengan keterlambatan. Dan lagi pula, kereta yang akrab disebut Prameks ini tidak pernah mengecewakanku sekalipun kerap tidak datang tepat waktu.

Orang-orang langsung berjejalan masuk begitu sang lokomotif berhenti, mengisi gerbong-gerbong yang ada, seperti memasuki takdir yang membagi hidup mereka dalam kesunyiannya masing-masing. Aku memilih duduk di samping jendela, di kursi yang menghadap ke arah yang sama dengan laju kereta. Jujur, jika duduk di kursi yang arahnya berlawanan dengan laju kereta, kepalaku bisa pusing tiba-tiba dan, bila demikian, maka perjalanan akan terasa begitu menyiksa.

Di sebelahku, ada seorang pak tua yang wajahnya kelihatan muram. Sementara di depanku, terdapat seorang lelaki dan seorang perempuan yang sepertinya merupakan sepasang suami-istri. Si lelaki memiliki sorot mata yang teduh dan cara dia bicara pada si perempuan terdengar lembut. Sedangkan si perempuan lebih sering menanggapi si lelaki menggunakan bahasa tubuhnya, seperti anggukan kepala, senyuman, atau isyarat jemari. Selebihnya dia diam.

Prameks, seperti kereta-kereta lainnya, cuma berhenti sesaat. Dan selalu, ketika ia mulai berjalan, aku akan memandang ke arah luar jendela sembari membayangkan seutas senyum tipis dari seorang perempuan yang senantiasa menemani hari-hariku semasa kuliah, sekitar tiga tahun silam.

Aku masih ingat momen-momen ketika dia kerap mengajakku naik Prameks tiap Sabtu. Dia suka naik kereta dan menurutku alasannya sungguh konyol: dia jatuh cinta pada jendela kereta. Dia bilang, dari situ dia bisa melihat pohon-pohon dan bangunan-bangunan yang seolah berlarian ke arah belakang serta gunung yang tak pernah beranjak dari tempatnya berdiri.

“Bukankah naik motor atau mobil juga sama saja?”

“Tidak,” katanya. “Motor selalu memancing hasrat untuk melaju cepat dan kita tidak bisa menikmati pemandangan secara utuh dari atas kendaraan itu. Sedangkan mobil rawan terjebak macet di kota-kota semacam ini. Menyebalkan. Kau akan terjebak pada pemandangan yang monoton untuk waktu lama. Tapi kereta tidak. Dia memberi kenyamanan. Dia menguasai jalannya sendiri. Dan dia hanya berhenti sebentar untuk menjemput penumpang. Aku selalu bisa melupakan banyak kesedihan bila menaikinya.”

“Menurutmu begitu?”

Dia mengangguk. “Kereta api itu kendaraan yang hebat. Ia bahkan tak segan-segan melibas apa saja yang merintang di depannya. Dia hanya berhenti saat harus berhenti.”

Demi apa pun yang hidup di dunia ini, pada mulanya kupikir cara dia meromantisasi kereta api benar-benar konyol. Aku sempat ingin memberinya saran agar menyukai senja yang melimpahi bumi dengan cahaya kuning kemerahan atau pagi yang senantiasa hadir bersama aroma embun dan desir angin menyegarkan. Menurutku dua hal itu lebih menyenangkan dan gratis untuk dicintai. Ketimbang harus bolak-balik naik kereta, membayar sekian ribu rupiah, hanya untuk duduk menikmati pemandangan dari jendelanya saja.

Tapi aku tak pernah mengatakan pendapatku itu padanya. Aku tak mau membuat dia sakit hati atau merasa dikerdilkan. Lagi pula, setelah kupikirkan baik-baik, aku mendapat kesimpulan bahwa manusia memang harus punya pegangan untuk bahagia. Meski asal mula kebahagiaannya mungkin berasal dari hal-hal absurd. Karena kebahagiaan ibarat air. Ia menyesuaikan ceruk kehidupan yang didiaminya. Keliru rasanya memaksakan bentuk-bentuk kebahagiaan agar seragam. Orang boleh mencintai senja atau langit mendung atau bahkan tanki septik sekalipun. Selama bagi dia itu kebahagiaan, maka berarti itulah kebahagiaan.

Kereta berhenti sebentar di Stasiun Maguwoharjo. Kulihat tidak banyak penumpang di stasiun ini. Pak tua di sebelahku menelpon seseorang. Bicara mengenai rencana kerja sama investasi tambang atau industri apalah, aku tak begitu mendengarnya. Namun, dia sepertinya agak marah dengan sosok yang sedang ditelepon, meski dia meluapkan kemarahan tersebut dengan nada ancaman yang santai dan terkendali. Sedangkan dua orang di depanku justru terlelap dengan posisi saling menyandar.

Pemandangan dari jendela kereta bergonti-ganti dengan cepat, meski kebanyakan cuma itu-itu saja: jalan raya, berganti sawah dan para petani, kemudian jalan raya lagi, lalu sawah dan petani lagi. Yang menyela di antara dua bentuk pemandangan itu paling hanya sungai dan bangunan-bangunan rumah masa kini yang berjajar di pinggiran rel atau anak-anak yang berlarian setengah telanjang.

“Kenapa kau hanya memperhatikan yang itu-itu saja?” Mendadak aku kembali teringat pada dia. “Lihatlah lebih cermat. Para pedagang di tepi jalan itu, para pengemis, pengamen, atau para pengendara sepeda motor tolol yang menerobos portal agar bisa cepat sampai tujuan dan tak peduli meski kereta sudah dekat. Atau para petani di sawah, anak-anak yang bermain riang, dan lain-lain.”

“Memang apa menariknya semua itu untuk diamati?” Tanyaku.

“Bukankah semua itu adalah bagian kecil dari pertunjukkan kemanusiaan? Tidakkah kau menyadarinya?”

“Apa maksudmu?”

“Dari sisi jendela ini, aku selalu merasa bisa melihat hidup lebih jernih dan tenang. Seolah sedang menjalani tour. Menyaksikan orang-orang hidup demi mencapai tujuan dengan cara dan kemampuan mereka masing-masing. Mungkin ada yang tujuannya jangka pendek dan mungkin ada pula yang jangka panjang. Melihat semua dari sini, selalu membuatku merasa tenang.”

Aku tersenyum.“Kau tahu,” kataku waktu itu, “kau ini tipe orang yang suka meromantisasi banyak hal dan membuat segalanya tampak filosofis. Tidak bisakah kau memandang kehidupan hanya sebagai kehidupan? Tidak bisakah kau melihatnya tanpa perlu memberi makna?”

Dan dia hanya tersenyum tanpa menanggapi pertanyaanku. Kemudian kembali memandang ke arah luar jendela, lalu membenamkan diri dalam renungan-renungannya.

Kupikir waktu berjalan hampir sama seperti kereta. Ia juga tak pernah berhenti sebelum sampai pada tujuannya. Bedanya, kereta senantiasa kembali melalui jalur yang sama. Sementara waktu tidak. Mungkin ia mengangkut kita pergi dan mengembalikan kita lewat jalur yang sama, tapi tidak dalam keadaan  utuh. Selalu ada yang berubah dalam diri kita, setiap harinya.

Pada tahun ketiga kebersamaan kami, dia berhenti mengajakku naik kereta di hari Sabtu. Jujur, itu terasa aneh untukku. Apa lagi, aku malah acap kali menangkap kilau kebahagiaan misterius yang menyeruak dari wajahnya. Meski entah mengapa, dalam sepasang matanya, aku bisa merasakan kemuraman dan hasrat yang tersembunyi.

Aku tak pernah bertanya tentang perubahan sikapnya. Kukira, dia mulai menganggap kalau kereta seperti kendaraan pada umumnya dan tidak istimewa. Sebagai gantinya, kami lebih sering menghabiskan akhir pekan dengan menghadiri acara konser atau minum kopi di kafe atau jalan-jalan ke pantai. Tapi, jujur saja, aku malah merasa bosan dan lelah dengan semua rutinitas baru yang justru menghadirkan kekeringan di hidup kami saat itu.

“Permisi, boleh saya bertukar duduk dengan Anda? Saya merasa pusing karena duduk di kursi yang berlawanan arah dengan laju kereta,” Si perempuan yang dari tadi lelap di sandaran si lelaki tiba-tiba menepuk pundakku. Aku memandangnya sebentar, kemudian menggeleng sembari melempar senyum yang kecut. Dia memasang raut wajah kecewa.

“Di sini saja Mbak,” ujar pak tua di sebelahku. “Silahkan, biar saya ke situ. Lagi pula saya berhenti di Klaten. Sebentar lagi sampai.”

Mereka bertukar tempat duduk. Si perempuan mengucap terima kasih dan pak tua itu membalas dengan senyuman.

Aku ingat perempuan dari masa laluku itu juga tak pernah mau bertukar tempat duduk. Kursi di dekat jendela bukan sekadar wilayahnya. Melainkan juga eksistensinya. Dia akan kecewa sekali jika tak mendapat kursi di samping jendela.

Namun, ketika pada akhirnya aku mengajak dia naik Prameks lagi—setelah lumayan lama tak melakukan aktivitas itu, aku baru menyadari bahwa dia benar-benar telah berubah. Dia bahkan tak lagi merasa kecewa lantaran tidak mendapat tempat duduk di samping jendela.

“Apa yang terjadi denganmu?” Tanyaku heran.

“Sama seperti yang terjadi pada semua mahluk hidup: berubah…”

Dia membelai pipiku dengan lembut dan berkata: “Aku telah memutuskan bahwa aku akan hidup dengan kebebasan mutlak,” katanya. “Selama ini, semua hal yang kulihat dari jendela kereta itu memang bisa membuatku lebih peduli pada kehidupan tapi tidak dengan menjalaninya dan karena itu aku memilih kebebasan.”

“Tahi kucing,” kataku, “kebebasan itu tidak pernah benar-benar ada. Kita, manusia, akan selalu terikat pada banyak hal! Karena demikianlah peradaban.”

“Aku akan menemukannya,” dia bersikeras. “Kau tahu, aku pasti akan menemukannya. Untuk itu aku akan pergi, meninggalkan semua yang sekarang kumiliki…”

“Baiklah, kau boleh pergi ke mana pun, tapi jangan sampai melupakan rumahmu. Sebab, kita selalu butuh rumah untuk kembali.”

“Aku tahu,” dia memegang punggung tanganku, “ini hanya sementara. Sebab, bagaimanapun, aku ingin memiliki jalanku sendiri, seperti kereta. Begitulah kebebasan menurutku. Kau jangan khawatir. Suatu saat, aku akan kembali. Percayalah…”

Dia pergi sehari setelah obrolan kami waktu itu dan tak pernah mengirim kabar sama sekali. Semua berlalu sangat cepat. Bulan berganti bulan, musim berganti musim, tahun berganti tahun. Tapi dia tak kunjung kembali. Sampai detik ini.

Kereta berhenti di Stasiun Purwosari pukul 11:15. Sepasang suami istri itu segera beranjak dari tempat duduk dan keluar. Aku menyusul beberapa saat kemudian.

Kereta Prameks yang hendak kutumpangi berikutnya akan berangkat pukul 13:15, menuju Yogyakarta. Aku seharusnya bergegas ke loket agar kebagian tiket. Namun aku tiba-tiba merasa malas dan lebih memilih duduk di salah satu bangku yang berada di stasiun. Aku melihat suasana sangat ramai. Tetapi keramaian semacam ini hanya menambah rasa getir dalam dadaku. Dan wajah-wajah yang bertebaran di sekitar stasiun, hanya semakin membuatku terbenam dalam ketiadaanmu.

Sebenarnya untuk apa aku bolak-balik naik Prameks selama tiga tahun ini? Pertanyaan itu selalu terngiang di kepalaku. Aku tidak terlalu yakin bisa menjawabannya. Sejauh ini, aku hanya lelaki yang sering merasa gagal. Tak pernah menemukan jalannya sendiri dan hanya bisa menyongsong masa lalu yang sudah tertinggal jauh di belakang. Aku bukan kereta dan aku tak tahu kapan saatnya untuk berhenti.

Andai saja kau kembali.

 

Terkait

Share12Tweet8ShareSend
Khumaid Akhyat Sulkhan

Khumaid Akhyat Sulkhan

Related Posts

Durian Kasur Nenek [Cerpen]
Cerpen

Durian Kasur Nenek [Cerpen]

December 14, 2019
Tertawa dan Merenung bersama Haris Firmansyah
Buka Buku

Tertawa dan Merenung bersama Haris Firmansyah

December 13, 2019
Tanda bagi Tanya: Menuju Minimalisme, tapi Tidak Sampai pada Minimalisme
Esai

Tanda bagi Tanya: Menuju Minimalisme, tapi Tidak Sampai pada Minimalisme

December 12, 2019
Makan Tidak Makan yang Penting Kumpul
Esai

Makan Tidak Makan yang Penting Kumpul

December 11, 2019

RUANG KEPSEK

Haringga dan Pe-Er Kemanusiaan Kita
Esai

Haringga dan Pe-Er Kemanusiaan Kita

by Ahmad Farid
September 27, 2018

Dalam cuitannya, Zen RS, esais yang paham banyak soal sepakbola nasional ini menulis di akun twitternya: “Problem terbesar (perseteruan supporter)...

Read more

Populer.

Panji Sukma: Menjuarai Sayembara Novel DKJ Bermodal “Keris”

Panji Sukma: Menjuarai Sayembara Novel DKJ Bermodal “Keris”

December 9, 2019
Tawa Luisa [Cerpen]

Tawa Luisa [Cerpen]

December 8, 2019
Catatan Pendek tentang “Cerpen-Cerpen Media”

Catatan Pendek tentang “Cerpen-Cerpen Media”

December 10, 2019
Dea Anugrah: Saya Menulis Agar Klean-klean Semua Pesimis

Dea Anugrah: Saya Menulis Agar Klean-klean Semua Pesimis

July 1, 2019
Beberapa Alasan Kamu Harus Nonton Pentas “Orang Miskin” di Unsika 9 Desember Ini

Beberapa Alasan Kamu Harus Nonton Pentas “Orang Miskin” di Unsika 9 Desember Ini

December 8, 2019
  • DISCLAIMER
  • AWAK MEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK
  • KIRIM TULISAN!
© 2019 NYIMPANG.COM BY NAMINAIDEA
No Result
View All Result
  • Esai
    • Perempuan
    • Literasi
    • Melihat Netizen Bekerja
    • Nyimpang Banget
    • Sosial Budaya
  • Komunitas
    • Tokoh
    • #bincangnyimpang
  • Ulasan
    • Film
    • Buku
    • Musik
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Cerbung
      • Aku Ingin Berlari
  • Kota Kita
    • Kajadian
    • Tongkrongan
    • Ulin
  • KIRIM TULISAN!

© 2019 NYIMPANG.COM BY NAMINAIDEA