Para Penyimpang, maukah kuceritai tentang sebuah puisi? Bukan puisi unyu tentang cinta, apalagi puisi yang melulu bicara mengenai senja. Bukan, bukan itu, melainkan tentang realitas dalam kehidupan berumah tangga. Inilah dia, Sangkan Paran Pelukan judulnya:
Jeng, berapa lama kita tak jumpa?
Satu, dua, tiga dasa,
Atau telah beratus purnama?
Andai esok kita jumpa
Kuharap kau masih ingat
‘tuk beri pelukan hangat
Sekali saja, asal sepenuh cinta
Akan lebih dari cukup
Membasahi dahaga, melunasi rindu
Pelan saja, asal sepenuh jiwa
‘usah terlalu erat
Mengalir saja, asal sepenuh rasa
Jangan terlalu memaksa
Sebab kau tahu, Segala yang terlalu
Akan menjelma belenggu
Segala paksa malah menumbuhkan siksa
Membatasi gerak, hanya membuat sesak
Jeng, semoga kau tidak alpa
Pada sangkan paran pelukan
Malang 20/2/2017
Bagi warga masyarakat ‘tuna pelukan’ a.k.a jomblo akut, puisi ini mungkin akan disikapi dengan hati ambyar tak terkira. Bagaimana tidak, wong pasangan saja tidak punya, lalu mau peluk siapa? Akan berbeda bagi para jomblo idealis. Mereka pastinya lebih woles. Malah bisa jadi puisi ini akan dikoplo dan dijogedi saja.
Padahal niat saya menulis puisi ini bukan untuk mem-bully para jomblo. Penulisan puisi ini lebih sebagai upaya untuk memotret realita yang terjadi di kampung, lebih tepatnya kampung yang banyak diantara penduduknya menjadi sentra Buruh Migran Indonesia (BMI), dan potret tersebut tentu saja dalam bentuk kata.
Kampung si penulis memang termasuk wilayah Malang Selatan yang terkenal sebagai avant garde dalam melaksanakan ‘program pertukaran tenaga kerja internasional’ yang digagas pemerintah. Sampeyan merasa asing dengan program pemerintah tersebut? Jika terasa asing di telinga, istilah yang lebih populer adalah TKI-TKW atau buruh migrain, eh migran ding.
Nah dengan banyaknya warga yang menjadi TKI-TKW tersebut tentu berimbas pada hubungan keluarga dong. Mereka terpaksa menjalani LDR untuk jangka waktu yang relatif lama. Istri/suami jauh (secara jarak) dari pasangannya. Orang tua juga jauh dari anak-anaknya. Demikian juga bagi para muda, hidup jauh dari kekasihnya. Dan kontrak sebagai buruh migran itu biasanya paling singkat adalah 2 tahun. Bahkan banyak tetangga di kampung saya yang menjadi TKI-TKW hingga 10 tahun atau lebih. Realitas inilah yang terwakili oleh bait pembuka puisi:
Jeng, berapa lama kita tak jumpa?//Satu, dua, tiga dasa//Atau telah beratus purnama?
Tidak bertemu dalam jangka waktu selama itu tentu akan menumbuhkan rasa rindu. Rindu pada kampung halaman, pada suami/istri, pada anak, atau pada sang mantan, eh gebetan. Sedangkan menurut Bung Eka Kurniawan nih ya: Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas. Nah untuk membayar tuntas rindu tersebut perlu acara sungkem bagi orang tua-anak, peluk-cium bagi para kekasih, dan … pagi para suami-istri. Seperti baris-baris berikut ini:
Andai esok kita jumpa//Kuharap kau masih ingat// ‘tuk beri pelukan hangat
Masalahnya, rasa kangen yang over loaded bertahun-tahun tersebut rawan menimbulkan efek buruk secara psikologis. Kenyataan yang terjadi pada tetangga saya, hidup berjauhan dengan pasangan seringkali menimbulkan sikap posesif dan penuh prasangka yang na’udzubillah menjengkelkan. HP harus selalu online, jangan sampai mati. Posisi dan aktivitas mesti selalu terpantau. Media sosial juga berstatus dalam “pengawasan melekat” (wis kaya istilah OrBa ta?) oleh pasangan.
Yang demikian ini tentu menimbulkan rasa kurang nyaman. Dalam hubungan antara orang tua dan anak sih masih mendingan, masih bisa disiasati. Tapi dalam relasi antar pasangan kekasih maupun suami-istri, hal ini rentan menimbulkan masalah yang lebih ndladrah. Kriwikan bisa dadi grojogan. Perkara kecil bisa menjelma masalah besar dan serius. Apalagi jika tiada rasa mawas diri dari masing-masing pasangan. Mawas diri untuk menyikapi segala persoalan dengan sewajarnya saja. kangen ya kangen, tapi aja nemen-nemen. Rindu ya rindu, tapi jangan begitu. Ungkapannya seperti ini:
Sekali saja, asal sepenuh cinta//Akan lebih dari cukup//Membasahi dahaga, melunasi rindu
Pelan saja, asal sepenuh jiwa//‘usah terlalu erat//Mengalir saja, asal sepenuh rasa//Jangan terlalu memaksa
Tidak percaya? Cobalah berempati. Bayangkan sampeyan kerja di sini, sedangkan si pasangan bekerja di Luar Negeri. Setiap hari posisi dan aktivitas harus selalu terpantau HP android. Sudah macam bawa CCTV portable saja. Pas lagi ngarit ditelpon, sedang mancing baru dapat ikan dua sudah dibilang jangan lama-lama, habis update status mesti diinterogasi, sedang karaoke … wah jangan tanya gimana jadinya. Apalagi kalau sampai lalai hingga ada missedcall 13 kali, tampaknya sampeyan mesti segera pesan batu nisan. Hahah.
Menyebalkan bukan? Begitulah jika rasa curiga dan posesif yang lebih mendominasi, tanpa dibarengi nalar yang jernih. Zonder usaha untuk mawas diri dari masing-masing pasangan, percayalah jika hubungan kamu akan segera bubrah. Semua hanya akan tinggal kenangan. Mengapa?
Sebab kau tahu, Segala yang terlalu//Akan menjelma belenggu//Segala paksa malah menumbuhkan siksa//Membatasi gerak, hanya membuat sesak
Lalu bagaimana baiknya? ya harusnya ingat tujuan dan fungsi pelukan, lah. Pelukan bukan untuk mengekang dan membatasi, melainkan untuk berbagi kasih sayang. Bahwa esensi pelukan bukanlah pada tekanan, melainkan pada terciptanya kehangatan. Kehangatan yang membuat tentram.