1
Melihat WS Rendra menulis puisi
yang diapresiasi seluruh pegiat literasi di dunia ini
yang membuat bumi menangis
yang membuat langit meringis
“Mengapa kalian membacakannya di tempat yang remang-remang?
Tidak di Gedung Yudistira?”
Melihat WS Rendra menulis puisi
dan dikagumi seluruh pegiat literasi
namun bumi merasa malu
dan langit tersipu
“Mengapa kalian tak membacakannya di dalam Gedung Kreatif Center itu?!
Apakah aku tidak pantas untuk berpentas di sana?”
Melihat Rendra menulis puisi
dan dijadikan referensi oleh seluruh pegiat literasi
membuat bumi geleng-geleng kepala
membuat langit keheranan
“Mengapa kalian sering berkumpul untuk membacakannya di tempat-tempat emperan?
Tidak di gedung-gedung apa saja yang ada di Purwakarta?”
Melihat Rendra menulis puisi
Menatap mental kalian yang erosi
Menerka kemungkinan demi kemungkinan
Keberanian digantung kemiskinan
Dan di sana Widji Thukul bernyanyi
“Heyy, apa guna banyak baca buku… kalau mulut kau bungkam melulu…”
2
Pesan-pesan dari surga kau bawa
Impian dari nirwana kau sebar luaskan
Namun kau memilih terjebak di neraka
Kau menggiring adik-adikmu ke neraka
Terpasung oleh tirani
“Kita harus giat membaca, ya, adik-adik…
Karena itu akhlaknya para nabi… ”
Namun kau tak pernah mau tahu
Apakah gedung-gedung itu fasilitas publik
atau (hanyalah) bisnis propertinya negara?!
Kau pun tak tahu apa itu definisi fasilitas publik
Sebab kau hanya bisa mengajak adik-adikmu
membaca puisi di pinggiran jalan
lantaran tak punya uang untuk membayar sewa gedung itu
“Emmmmh… Jangan lupa, ya, uang kebersihannya juga; sekian ratus ribu… ”
Melihat rakyat membayar sewa kepada negara
Melihat rakyat menggaji pemerintahnya
Dan melihat kalian kikuk di hadapan itu semua
seperti melihat pemuda dan seonggok jagung yang ditulis Rendra
yang pandangan hidupnya berasal dari buku
tidak dari kehidupan
Tak bisa apa-apa (demonstrasi, mediasi, negosiasi),
apalagi melawan (membangun gedung pertunjukan sendiri secara mandiri)
3
Melihat WS Rendra menulis puisi
Mengingat kembali penyair salon
Membaca sajak sebatang lisong
Apakah pegiat literasi di Purwakarta ada yang menjadi penyair salon?!
yang suka meminum ‘anggur’ dan menuliskan yang manis-manisnya saja tentang pemerintah
yang akrab dengan ‘rembulan’ karena sukanya tidur di pagi hari
yang gemar bersolek supaya dapat dipeluk oleh para penguasa
Oh… Malam… Menghilang
Fajar tiba.
Pejabat-pejabat siap untuk berpidato
Dan satu hal yang luput dari Rendra
Ia tak menuliskan pemuda-pemuda yang menjadi _suluh_ (baca: kayu bakar) partai politik
yang menjadi bahan bakar partai politik
yang setelah itu (baca: selesai Pemilu) lenyap menjadi abu
Oh… Malang… Hilang
BIC, 31 Januari 2023
Notes: dear Ketum Dion (Murdiono), kata Cak Nun jangan lupa baca doanya kalo mau nyoblos ntar pas Pemilu-voting itu. Doanya begini katanya: “Wamakaru wamakarallahu, wallahu khairil maakirin“. (Source: cari aja ceramah Cak Nun yang itu di Youtube, ya)