Apa yang saya tulis di bawah ini bersumber dari kejadian nyata. Sebuah pengalaman pahit yang sulit saya lupakan dan memberikan dampak trauma yang cukup besar dalam hidup saya.
Untuk berjaga-jaga agar tak ada pihak yang tersinggung, beberapa tokoh dalam tulisan ini akan saya samarkan sebagai inisial saja. Tetapi tersangka utamanya yaitu orang yang sudah saya anggap sebagai sahabat yang malah menipu saya akan saya tulis namanya sejelas mungkin. Sebagai aksi balas dendam tentunya.
Namanya Asep Saepudin. Dia berasal dari Ciheulang-Wanayasa. Kami mulai berteman sewaktu sama-sama menjadi santri di Pesantren Al Hikammusalafiyah Cipulus. Saya tak segan-segan menganggapnya sebagai sahabat karena kami memang punya banyak kecocokan.
Kami nyambung kalau ngobrol. Saya mengerti leluconnya dan dia memahami candaan saya. Kami makan satu wadah bareng, tidur bersisian, ngobrol mendalam malam-malam di atap masjid, nyuci bareng. Saya juga sering mengantarnya malam-malam jalan kaki ke luar Pesantren untuk nonton klub sepak bola favoritnya, Liverpool. Dia sering minta ditemani beli koran Top Skor ke Wanayasa.
Di sekolah pun, kami dua tahun berada di kelas yang sama, kami saling bahu-membahu menghimpun kekuatan menumbangkan hegemoni kelas IPA di pertandingan antar kelas cabor sepak bola. Gila. Keren banget kami!
Saya merasa kami adalah soulmate, apabila ia sakit saya bisa ikut kehilangan selera makan. Namun ternyata, itu semua tak berarti apa-apa sebab ternyata dia tega menipu saya.
Semua berawal sejak saya jatuh cinta pada seorang santriwati asrama F, sebut saja Mawar. Di sekolah, kami satu angkatan dan pernah sekelas di tahun terakhir.
Karena saya suka menulis puisi, maka saya cukup sering mengirimi Mawar puisi lewat sesobek kertas. Sebagai seorang yang masih berseragam putih abu, saat itu saya merasa tindakan saya itu keren banget, seperti Rangga AADC. Dana kalau diingat, sekarang saya merasa begitu tolol.
Kenapa tak ungkapkan saja dengan kata-kata yang jelas dan menuntut jawaban tanpa basa-basi? Supaya jadi terang perkara diterima atau nggaknya.
Singkat, cerita kami lulus pada tahun 2012.
Saya dan Asep masih memilih bertahan di pondok di saat teman-teman seangkatan sudah mulai mencar dan menempuh perjalanan masing-masing. Saya dengar kalau Mawar ini sudah keluar dari pondok dan pulang ke rumahnya. Berupayalah saya buat mendapatkan nomor HP-nya lewat teman A, B, C dan akhirnya saya mendapatkan nomor Mawar dari si W, pacarnya Asep. Terkesan rumit, tapi begitulah proses pendekatan di era saya.
Saya senang sekali bisa punya nomor Mawar. Akhirnya saya bisa sms-an dengan Mawar sepuas hati. Kami sering saling kirim SMS, memenuhi layar dengan pertanyaan soal kabar, sudah makan belum, lagi apa, dan tentu saja saya kirimi Mawar puisi-puisi lagi.
Puisi yang diketik menggunakan Samsung Duos jadul. Tombolnya masih berupa karet keras, yang kalau mau ngetik huruf O mesti tiga kali sebab rebutan dengan huruf MN. Pokoknya waktu itu belum ada kata delulu.
Saya juga sering mencoba untuk menelepon Mawar pada waktu-waktu senggang. Sebab saya mau dengar suaranya yang halus, saya mau dengar tawanya, saya ingin mendengar ia bercerita tentang hari-harinya. Tetapi Mawar selalu menolak panggilan saya. Saya berpikir positif (atau memang bodoh) saja. Mungkin Mawar sedang sibuk atau mungkin dia malu dan mesti mengumpulkan keberanian untuk berbincang dengan saya. Ahay.
Selama sms-an dengan Mawar, semua terasa berjalan dengan normal kecuali satu hal: beberapa kali ia merespons puisi saya dengan dua kata yang begitu menyakitkan: Gak mutu.
Perasaan saya mulai gak enak saat itu. Mawar yang saya tahu adalah pribadi yang sopan dan pemalu. Maka wajar saja kalau muncul dalam pikiran bahwa yang sedang chatan dengan saya ini bukan Mawar. Tetapi pada akhirnya saya kubur saja kecurigaan itu.
Lalu pada suatu hari yang cerah, saat awan-awan putih berarak lambat di langit biru, angin menggoyang-goyang daun-daun padi dan mengusap muka saya. Saat saya, Asep, Fahmi, Harun, Adi, Hamdan dan Haris berjalan kaki sepulang dari kondangan pernikahan Memi di Nagrog, penipuan ini terbongkar.
Tepat setelah melewati Villa 99, saya kirim sms kepada Mawar. Saya berjalan melambat dan membiarkan teman-teman saya mendahului saya. Kemudian ia membalas dengan cepat.
Wah, saya senang sekali saat itu. Air muka saya langsung ceria dan rasa-rasanya saya bertambah muda 3 bulan berkat kebahagiaan ini. Tetapi ada satu hal yang sangat mengganggu dari sms balasan Mawar. Yaitu sebuah signature di akhir SMS yang tercium mencurigakan. Kalau kalian pernah mengoperasikan Nokia jadul, ada sebuah fitur tanda tangan yang bisa dicustom di akhir SMS yang akan muncul secara otomatis tiap mengirim sms. Tanda tangan ini bisa berupa nama, semboyan, motto atau kata-kata apapun yang tak terlalu panjang.
Nah, masalahnya tanda tangan yang tertera di akhir balasan SMS dari Mawar ini adalah You’ll Never Walk Alone. Sebuah semboyan dari klub sepak bola asal Inggris, Liverpool. Saya bertanya dalam hati dengan penuh rasa heran ‘
“Sejak kapan Mawar suka bola, suka Liverpool?” Firasat saya mulai tak enak, saya mulai mual, saya mendapat penglihatan ajaib: saya melihat dunia ini menjadi gelap dan muncul dua lampu sorot. Yang satu menyoroti saya dan yang satunya menyoroti Asep yang berjalan sambil membentur-benturkan Nokia jadul ke jidatnya. Tak lama kemudian, dengan gerak leher yang teramat pelan Asep menoleh ke arah saya, pandangan kami bertemu dan dia langsung nyengir. Kemudian berganti tawa kencang sekali.
“Haduh. Lupa euy. Gak kehapus tanda tangannya. Hahahah.”
Kata-kata yang muncul dari bibirnya itu terasa seperti belati yang menancap tepat di inti daging hati saya. Saya merasakan perih, namun sebab ingin tetap terlihat tangguh, saya mencoba mengulas senyum tipis.
Jadi yang selama ini melakukan SMS-an mesra dengan saya itu bukan Mawar tapi Asep? Semua puisi-puisi yang saya tulis sampai begadang itu dibaca oleh Asep? Tiba-tiba saya merasa begitu nelangsa. Dada saya terasa begitu kering seakan gurun pasir dimasukan ke dalamnya, saya seperti satu-satunya domba dalam kawanan yang diterkam serigala. Saya merasa merang dan ingin lekas mandi.
Tanpa rasa bersalah Asep langsung bercerita kalau itu nomor barunya dan mengejek-ejek saya.
Sejak saat itu saya jadi trauma tiap membaca tulisan You’ll Never Walk Alone.