Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan teman lama saya, Selina (tentu jha bukan nama sebenarnya). Terakhir saya ketemu dia sekitar awal tahun 2019an. Beberapa bulan lalu kami saling kontak di Instagram (maklum, IG saya baru dan kami baru kabar-kabaran lagi tahun 2023 ini), kami akhirnya memutuskan untuk ketemu.
Saya melihat Selina yang berbeda. Badannya jauh lebih kurus, tapi sedikit lebih keren daripada dulu. Fyi, dulu dia tipe-tipe cewek culun gitu, lah. Sekarang auranya udah beda.
Singkatnya, beberapa hari yang lalu sebelum ketemu saya, Selina skidipapap sama gebetan barunya. Dia bilang, dia kaget sekaligus bingung waktu ditanya
“Tunggu, ya. Aku masih capek. Habis ini aku keluarin kamu, ya. Kamu mau keluar kan?”
Awalnya, saya tentu geli dengarnya, saya pikir orientasi obrolan ini adalah kekecewaan dia soal laki-laki yang keluar duluan. Agak lama juga otak saya baru connect, dia bilang kaget sekaligus bingung waktu ditanya gitu.
Langsung ngerasa ditusuk ubun-ubun saya. Saat itu juga merasa perlu untuk meluk Selina sekaligus maki-maki dia. Masa cewek sepintar dia gak bisa tau laki-laki yang egois itu yang seperti apa?
Dia cerita lebih lanjut, sebelum sama gebetan yang sekarang, dia 2 tahun terjebak di hubungan gelap sama suami orang. Saya yakin sebetulnya dia gak terjebak-terjebak amat. Masa terjebak bisa sampai 2 tahun gitu, sih. Gak tahu lah tapi urusan dia.
Sambil menangis, saya ngetik ini:
Bayangkan hidup seperti apa yang dia jalani sampai harus ‘terjebak’ di hubungan yang seperti itu? Beban apa dalam hidupnya yang bikin badannya jauh lebih kurus dari beberapa tahun yang lalu? Seberapa terhimpitnya dia sampai harus stuck sama orang yang seperti itu selama 2 tahun? Seberapa kesepian dia selama ini?
Ketika Selina bilang dia kaget dan bingung saat ditanya gitu setelah pasangannya ‘keluar’, saya memikirkan 2 kemungkinan yaitu:
1. Selama ini belum pernah ‘keluar’, jadi gak tau maksudnya ‘keluar’ itu gimana; atau
2. Selama ini dia diobjektivikasi –sama let’s just say gadun lah, sampai dia LUPA dan GAK SADAR bahwa dia itu diobjektivikasi saking sudah biasanya
Oh come on. Faktanya,
1. Selina adalah ‘pemain’ lama
2. Selina paham –atau minimal aware lah sama patriarki
Kalau dari 2 fakta itu dia masih kaget dan bingung,
“Kayanya ada sesuatu yang salah deh sama hubungan lu dulu.”
Saya diamin dia sampai dia ngomong sendiri soal hubungan dia di masa lalu. Selina jelasin, ada beberapa hal utama yang bikin gadunnya marah, diantaranya;
1. Selina pergi hangout atau kongkow sama teman-temannya.
2. Selina gak angkat telepon/gak balas chat
3. Selina menolak ajakan skidipapap (sekalipun lagi menstruasi)
4. Selina gak ngikutin perintah
Lalu saya tanya, gimana kalau Selina ngelanggar hal-hal tadi? dan jawabannya apa coba?
“Ya paling kepala aku ditodong beceng, Ce.“
Saya geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya orang yang katanya “Sayang” nodongin beceng.
Toxic relationship beneran ada dan guoblognya itu bisa terjadi pada siapa aja. Sepanjang Selina cerita, dia selalu menyangkal keburukan gadunnya setiap kali saya bilang,
“Udah tau begitu, ngapa lu blablabla.” Tapi langsung Selina elak seperti “Tapi dia tuh baik, Ce. Coba kamu bayangin…”
Saya hampir kesal setiap kali saya mencoba untuk melakukan hal yang saya rasa ‘menyadarkan’ dia, dia selalu ngelak dengan nyebutin kebaikan-kebaikan gadunnya. Padahal mah, pedut lah. Gini, ya. Selina itu selalu ngerasa Si Gadun ini mensubtitusi semua larangannya. Contoh,
Ketika melarang Selina untuk kongkow sama teman-temannya, Selina selalu diajak late-date di tempat-tempat yang jarang dikunjungi buat orang. Misal, rest area. Siapa juga yang mau jalan di rest area jam 12 malam? Lagian, nge-date sama bersosialisasi ke teman-teman adalah hal yang beda. Itu namanya bukan subtitusi! Itu kondisi yang diciptakan Si Gadun biar Selina ngerasa kesepian, dan once Selina feeling lonely, Si Gadun sok-sokan jadi superhero yang nemenin dia. BASI WOY.
Diingat-ingat lagi, dulu saya sempat baca jurnal soal Stockholm syndrome, saya rasa ini erat kaitannya sama Selina. Buat yang gak tahu, ada satu kata kunci yang kayanya mesti saya jabarin, yaitu coping mechanism = cara seseorang buat ngontrol emosi pas keadaan sulit, ya misal kamu marah, panik, kesal, biasanya kamu tarik napas/meditasi/main game.
Nah, stockholm syndrome adalah coping mechanism yang ‘tidak tepat’ , sama seperti ketika kamu kelilit utang karena main judi, kamu malah memilih untuk depo lagi dengan sisa uang yang terakhir itu, dan kalah lagi.
Kurang lebih gitu, lah. Kalau dalam relasi romantis, stockholm syndrome ini digunakan untuk menyebut ‘korban’ kekerasan dalam hubungan yang malah ‘membela’ pelaku dengan meng-iming-imingi diri sendiri pakai kalimat ‘Dia pasti akan berubah, kok.’ atau ‘Dia gini juga pasti salah aku,’ padahal mah yeee kekerasan tidak dibenarkan dalam hal apapun.
Yang saya gak bisa ngerti, bisa-bisanya sekarang Selina bingung ketika dia diperlakukan dan diperhatikan sama gebetan barunya. Alih-alih senang, Selina justru ngerasa aneh dan ngerasa ‘Ini bukan style gue dalam berhubungan’ terus saya tanya sinis,
“Terus style lo todong-todongan senjata gitu? Pukul-pukulan sampai kepala lo dijedotin keran di ujung bathtub?”
Tapi dia malah nangis. Entahlah, gak tahu saya. Pada akhirnya kan, hubungan yang beracun akan membuat kamu kehilangan diri kamu, bikin kamu linglung, dan bawa-bawa habit jelek ke hubunganmu yang baru. Iya, tau sih namanya manusia kalau udah ‘sayang’ mah ya pasti susah mau ninggalin juga. Tapi, bukannya justru kalau udah ‘sayang’ tuh gak akan ngelakuin hal-hal yang bawa dampak negatif, ya?

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik. Buku kumpulan puisinya “As Blue As You” telah diterbitkan di “Pustakaki Press”. April 2023 akan mengadakan Pameran Tunggal bertajuk “A Quarter Century” untuk mempertunjukkan hasil lukis dan fotografinya di usia 25 tahun.