Sekolah masih libur. Rion yang masih duduk di kelas II SD, kembali menyambangi pohon jambu air di kebunnya bersama Miko, kucing peliharaannya. Ia lalu mencari-cari dan memetik buah yang sudah masak, di samping Miko yang terus mengeong. Hingga akhirnya, kucing itu berlari pontang-panting di sela-sela rerumputan, demi mendapatkan seekor bunglon. Kucing jantan itu lantas menyeberang ke sisi kebun milik Pak Harno, hingga menerobos masuk ke dalam sebuah rumah kebun. Seketika pula, terdengarlah kegaduhan dari dalam gubuk yang terbengkalai itu.
Perlahan-lahan, Rion pun jadi khawatir atas keadaan kucingnya. Ia takut kalau kucingnya kenapa-kenapa di dalam gubuk itu. Pasalnya, ia telah mendapatkan keterangan dari ibunya bahwa gubuk itu memiliki penunggu berupa makhluk gaib yang seram dan kejam. Ia bahkan telah mendapatkan peringatan dan ancaman dari sang ibu agar ia tidak berani-benani menandangi, apalagi memasuki gubuk itu, demi menghindari tulah dan bala.
Tetapi kecemasannya atas keadaan kucing kesayangannya, membuat ketakutannya semakin surut. Perlahan-lahan, ia pun menjadi berani untuk menantang bahaya ketimbang membiarkan kucingnya celaka. Hingga akhirnya, ia mulai melangkahkan kaki ke dalam kawasan kebun Pak Harno yang tak terurus, sembari terus menepis bayangan-bayangan mengerikan di dalam benaknya. Ia terus saja mendekat ke gubuk yang terlarang itu, sambil terus meredam keraguannya.
Tak berselang lama, ia pun menanjaki tangga pendek untuk naik ke atas gubuk panggung yang reyot tersebut. Dengan perasaan ngeri berbalut penasaran, ia pun mengurai tali pengunci pintu dan mulai menapak masuk. Dengan langkah pelan-pelan, ia lantas menuju ke sisi belakang ruangan yang tertutup tirai, pada sumber suara kucingnya. Hingga akhirnya, ia mendapati sang kucing tampak tengah merajai dan menunggu bunglong mangsaannya mati secara perlahan.
Atas perasaan takut kalau-kalau sang penunggu gubuk terusik dan benar-benar mencelakainya, ia pun lekas mengambil dan menggendong kucing kesayanganya. Tanpa menunda waktu, ia lantas berdiri untuk segera mengambil langkah keluar. Namun tiba-tiba, sudut pandangannya jatuh ke satu pojok ruangan, tepat pada sebuah penjepit rambut berwarna merah, yang serupa dengan milik ibunya yang telah hilang.
Seketika pula, ia terheran menyaksikan keberadaan penjepit rambut itu. Dengan penuh tanya, ia lantas memungut dan memandanginya lekat-lekat. Hingga akhirnya, ia menyaksikan satu gerigi di bagian pinggirnya telah tanggal. Tanpa keraguan, ia pun meyakini itu sebagai milik ibunya. Maka tanpa pikir-pikir lagi, ia lantas mengantonginya, kemudian keluar dari gubuk dengan langkah cepat.
Sesaat berselang, ia pun kembali berada di area kebunnya dengan napas terengah-engah. Di tengah ketegangan yang perlahan mereda, ia lantas mengambil dan menenteng sekantong jambu petikannya, kemudian melangkah pulang dengan tetap menggendong kucingnya. Detik demi detik kemudian, ia pun merasa semakin tenang dan senang sebab telah berhasil melakukan kenekatan tanpa terjadi apa-apa terhadap dirinya atau kucingnya.
Hingga akhirnya, setelah ia tiba di rumahnya, ia pun segera menemui ibunya. “Aku menemukan penjepit rambut Ibu?” tutur Rion kemudian, sambil menyodorkan temuannya.
Ibunya yang tengah mencuci piring, sontak menyambut benda itu dengan penuh keheranan. “Kau dapat dari mana?”
Rion pun menjadi kikuk. Ia belum bisa memastikan apakah ibunya akan senang atas keberaniannya, ataukah malah marah karena ia melanggar larangan. Namun akhirnya, ia jujur saja, “Aku dapat di gubuk kebun Pak Harno, Bu.”
Dan ternyata, ibunya berang, “Apa? Kau memasuki gubuk itu?” sidiknya, dengan nada tinggi, seolah tak habis pikir.
Seketika, Rion mengangguk takut.
Ibunya pun terlihat semakin geram. Tetapi ia tetap berusaha mengendalikan emosinya. “Ah, kenapa kau begitu berani? Apa kau tidak takut celaka? Aku kan sudah bilang, jangan pernah masuk-masuk ke dalam gubuk itu!”
Rion sontak menunduk. “Maaf, Bu. Aku pun tak berniat memasuki gubuk itu. Tetapi tadi, Miko memasukinya, dan aku takut kalau terjadi apa-apa dengannya. Jadi, aku terpaksa masuk untuk mengambilnya.”
Dengan kemarahan yang masih meraja, Ibunya pun menghela dan mengembuskan napas yang panjang. Ia kemudian kembali menegaskan peringatannya, “Kali ini, aku maafkan. Tetapi kalau kau berani masuk ke dalam gubuk itu lagi, aku akan memberikan hukuman kepadamu. Paham?”
Rion membalas dengan anggukan, kemudian berbalik badan dan pergi.
Diam-diam, Rion pun bertanya-tanya perihal kenapa ibunya menganggap gubuk Pak Harno begitu angker. Padahal, ia sendiri telah memasukinya dan tidak menemukan hal-hal yang menyeramkan, juga tidak menuai celaka setelahnya.
Kebingungan Rion pun semakin menjadi-jadi, sebab yang ia tahu, Pak Harno adalah orang yang baik. Dua bulan yang lalu, pada hari minggu pagi, saat ia dan ibunya tengah membersihkan rerumputan di sekitar tanaman sayur mereka, lelaki berkumis itu pun tampak menengok kebun rambutannya, di samping kebun mereka yang memang berbatasan. Saat tengah beristirahat, tiba-tiba, lelaki itu pun menandangi mereka, sembari membawa dan memberikan sekantong buah rambutan yang baru dipetiknya untuk mereka.
Sontak, atas kejadian itu, Rion pun terkesan pada Pak Harno. Ia pun menyadari bahwa lelaki itu berhati baik dan tidak semenyeramkan tampakannya.
“Kamu sudah kelas berapa, Nak?” tanya Pak Harno saat itu, dengan sikap yang ramah, sambil mengusap-usap rambutnya.
Rion pun tersenyum segan. “Aku baru naik kelas II SD, Om,” jawabnya.
Pak Harno lantas tertawa pendek. “Wah, tidak terasa, ya. Terakhir kali aku ke sini, kau masih sangat kecil dan sangat menakutiku.”
Rion kembali menyunggingkan senyumannya. Diam-diam, ia pun merindukan kehangatan sosok ayah setelah tiga tahun lebih ayahnya merantau ke pulau seberang dan tak pernah pulang.
Pak Harno lalu mengambil selembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah dari dalam kantong bajunya, kemudian menawarkannya kepada Rion, “Ambillah, Nak, untuk jajan.”
Dengan raut senang, Rion lekas menyambut uluran tersebut. “Terima kasih, Om,” balasnya.
Pak Harno pun mengangguk sambil tersenyum.
Tak lama setelah itu, Rion lalu pamit dan pulang meninggalkan ibunya dan Pak Harno atas ketidaksabarannya untuk segera membeli dan menyantap makanan ringan favoritnya.
Hingga akhirnya, setelah ibunya tiba di rumah, Rion pun segera menyinggung perihal Pak Harno. Pasalnya, dengan begitu saja, ia jadi sangat menyenangi lelaki paruh baya itu. “Pak Harno itu siapa sih, Bu?” tanyanya, penasaran.
Ibunya lalu menuturkan pengetahuannya, “Pak Harno adalah yang tinggal di kota dan bekerja di sebuah perusahaan. Ia lahir dan besar di sini. Tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, dan ia adalah anak tunggal, sehingga ia menjadi pewaris sepetak kebun di samping kebun kita.”
Rion tersenyum-senyum saja, tanpa benar-benar memerhatikan uraian ibunya. “Pak Harno baik, ya, Bu?”
Ibunya pun membalas dengan anggukan kecil.
“Apa Pak Harno sudah menikah, Bu? Apa ia sudah punya anak?” tanya Rion lagi.
Seketika, Ibunya menghus. “Sudah. Jangan banyak tanya. Tak ada gunanya juga kau tahu soal itu.” Ia lantas mendengkus. “Sekarang sudah sore. Kau mandilah, cepat.”
Akhirnya, kini, saat Rion tengah masyuk menyantap jambu air di ruang tamu rumahnya, samar-samar, ia pun kembali mendengar ibunya mual-mual dari dalam kamar mandi. Tetapi ia tak khawatir dan tak ingin bertanya-tanya lagi, sebab seperti sebelumnya, ibunya hanya akan mengaku baik-baik saja, atau beralasan cuma sedang masuk angin.
Sesaat berselang, tiba-tiba, ponsel ibunya yang tergeletak di atas meja, bergetar dan berdering. Rion pun mengintip layar dan mendapati nama kontak ayahnya sedang memanggil. Tanpa menunda waktu, ia pun menjawab panggilan tersebut dan mulai bercakap-cakap dengan sangat antusias.
Tak beberapa lama kemudian. Ibunya pun datang dan segera bertanya, “Siapa yang barusan menelepon?”
“Ayah, Bu,” jawab Rion, dengan raut senang.
Ibunya pun tampak penasaran. “Apa katanya?”
“Katanya, besok, ia akan pulang,” terang Rion, dengan wajah semringah.
Seketika pula, ibunya terkejut hebat, hingga membuat segelas teh pada genggaman tangannya, terlepas dan terjatuh.