Pada akhirnya ibu itu menyusui di toilet meskipun aku nggak tahu siapa yang pertama kali berpikir itu ide yang bagus? tapi nya kumaha deui, sok?!
Ruang Menyusui, Nursery Room, dan Mereka yang Terus Dianggap Tambahan

Pernah gak kamu lihat ibu-ibu menyusui di pojokan bangku tunggu, pakai kain seadanya sambil berusaha tenang sambil berharap gak ada yang mandangin aneh? Atau pernah lihat ibu yang panik karena bayinya nangis kelaparan di stasiun tapi satu-satunya tempat tertutup cuma toilet? dan ya! Pada akhirnya ibu itu menyusui di toilet meskipun aku nggak tahu siapa yang pertama kali berpikir itu ide yang bagus? tapi nya kumaha deui, sok?!
Di negeri yang katanya ramah anak ini, menyusui di ruang publik udah jadi aksi diam-diam yang dilakukan dengan sedikit rasa bersalah. Padahal, ngomongnya mah pro-ASI. Katanya, ibu menyusui adalah pahlawan. Tapi kok rasanya fasilitas publik lupa eksistensi ibu-ibu itu?
Meanwhile, Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa setiap fasilitas umum wajib menyediakan ruang menyusui. Namun dalam praktiknya, implementasi dari regulasi ini seperti menggantung di awang-awang. Gak ada standar nasional, minim pengawasan, dan sanksi terhadap pelanggar pun tidak jelas. Banyak instansi berlindung di balik alasan “anggaran terbatas” atau “bukan prioritas.” Ujung-ujungnya yang jadi korban siapa? ya para ibu dan bayi yang haknya diabaikan.
Lebih menyakitkan lagi, di saat pemerintah mendorong angka pemberian ASI eksklusif, mereka lupa bahwa menyusui bukan hanya urusan rumah tangga, tapi juga urusan publik. Ibu bukan hanya berada di rumah. Ia bekerja, bepergian, dan menjadi bagian dari kehidupan sosial.
Nursery room alias ruang laktasi, atau apapun namanya masih dianggap fasilitas tambahan. Seolah-olah kalau ada, mah ya syukur, kalau nggak ada ya udah wajar. Padahal, kebutuhan menyusui itu hadir di tengah jadwal, di antara perjalanan, di sela-sela rutinitas. Gak bisa ditunda sampai seorang ibu tiba di rumah.
Anehnya, kita (atau gak tahu lah siapa saya doang mungkin, pemerintah enggak) rajin sekali mengingatkan soal pentingnya ASI eksklusif. Tapi saat ibu-ibu butuh tempat yang layak untuk menyusui, jawabannya sering kali jadi gini:
“Belum ada ruangnya, Bu.” atau
“Wah, biasanya kami pakai gudang itu sih.” Gudang, ya. Bukan ruang.
Aku tidak sedang menuntut mewah. Tapi masa sih, ruang menyusui layak dianggap sesuatu mewah? Da basic atuh itu mah. Bukan mewah seperti rumah sakit swasta yang punya fast-track seperti Dufan atau mal premium yang ada stroberi 1 juta 10 bijinya. Kenapa se-simple itu dibilang mewah?
Sekarng coba lihat, deh. Kadang, sekadar poster besar bertuliskan “Kami Ramah Anak” pun dianggap cukup mewakili. Lucu ya. Kita bisa bangun patung maskot puluhan juta rupiah, tapi bikin ruang buat menyusui, ganti popok bayi masih bilang,
“Nanti kita anggarkan.”
Yang juga jarang disinggung adalah ini: gak semua pengganti popok itu ibu. Kadang, ayah yang pegang anak. Kadang kakek, om, atau bestie ibunya. Dan mereka, sayangnya, sering didepak secara halus dari ruang bernama “laktasi.” Padahal mengganti popok bukan aktivitas eksklusif perempuan. Tapi karena ruang menyusui selalu digabung dengan ruang laktasi, maka ruang laktasi identik dengan “khusus ibu,”.
Hasilnya? laki-laki sering kali selonjor di bangku taman atau cari toilet terdekat yang gak ada meja ganti bayi di dalamnya itu. Ini bukan salah si ayah, tapi desain kebijakannya sudah keliru sejak awal.
Nursery room seharusnya adalah ruang perawatan bayi, bukan ruang ibu menyusui saja. Artinya, ruang ini mesti bisa diakses siapa pun yang sedang merawat anak, tanpa memandang jenis kelamin. Tapi kita terlalu lama menganggap bahwa hanya perempuan yang bertugas, jadi kemunculan ruang perawatan pun bias gender sejak awal.
Akhirnya, ruang menyusui jadi eksklusif, tertutup, dan “perempuan only”—sementara ayah yang mau bantu malah jadi seperti penyusup. Bahkan ada yang diusir secara sopan oleh petugas karena
“Bapak-bapak nggak boleh masuk, Pak. Ini ruang menyusui.”
Lucu. Ketika laki-laki tidak mau terlibat urusan pengasuhan, kita bilang mereka cuek. Tapi ketika mereka mau, malah nggak diberi tempat.
Kita butuh pembaruan cara pikir. Ruang menyusui memang penting. Tapi nursery room atau tempat mengganti popok, membersihkan bayi, menenangkan tangis, bahkan menyuapi MPASI—harus bisa diakses siapa saja yang merawat bayi termasuk laki-laki.
Kalau kita ingin mendorong peran ayah lebih aktif dalam pengasuhan, ya mulai dari hal yang paling sederhana: kasih mereka ruang. Ruang publik semestinya milik semua orang. Termasuk ibu, dan bayinya. Termasuk tubuh-tubuh yang bekerja tanpa henti untuk merawat kehidupan.
Mereka butuh tempat, bukan cuma ruang fisik yang ada temboknya, tapi juga pengakuan bahwa keberadaan mereka penting. Soalnya memberi makan bayi, mengganti popok, dan menenangkan tangis bukan tindakan privat yang harus disembunyikan. Da itu bagian dari hidup atuh.
Leave a Comment