Beberapa waktu lalu, saya sedang mengerjakan deadline di sebuah coffee shop Purwakarta. Saya ingat betul di sebelah saya, ada seorang ibu muda yang nongkrong dengan anaknya yang mungkin masih berusia 5 bulan. Ibu muda itu membawa tas yang besarnya 2x lipat dari tas saya, lengan kirinya kerepotan menggendong bayi, dan tangan kanannya menggenggam cup minuman.
Selang beberapa menit, anak bayi itu menangis.
“Kenapa, Dek? Mama mau nongkrong dulu sebentar ya, Nak … ” katanya sambil menepuk-nepuk punggung Si Adek.
“Mau nyenye?” Ibu itu lantas memelankan suaranya. Saya tersentak, oh mungkin maksudnya nenen atau proses menyusui.
Dengan susah payah, dibaringkan Si Adek di pangkuan. Lalu Si Ibu mengarahkan puting payudara ke mulutnya Si Adek.
Saat itu, suasana kafe memang sedang ramai, beberapa orang hilir mudik melewati kami.
Suara tangis Si Adek sudah tak terdengar, namun saya malah salah fokus dengan pandangan sekelompok pengunjung laki-laki ke arah ibu muda tadi. mereka berbisik-bisik sambil cekikikan, arah matanya memang menuju payudara Si Ibu yang sedang menyusui.
Padahal, Si Ibu sudah menggunakan kain penutup dan tidak ada bagian payudara yang terlihat sedikit pun. Duh, kok mau ngopi aja kayaknya serba salah, ya?
Walaupun belum punya anak, tapi sebagai sesama perempuan saya paham betul bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian hanya karena pengalaman biologis yang saya punya; ditertawakan saat bocor menstruasi, misalnya.
Payudara sebagai Objek Seksual
Payudara, dalam konteks menyusui atau tidak, selalu jadi bahan olok-olok bahkan jadi target untuk dijadikan sasaran pelecehan seksual. Di sekitar kita, ada ibu yang memilih untuk full DBF (Direct Breast Feeding) alias menyusui langsung melalui payudara daripada sistem pompa asi atau sufor. Dan tidak ada yang salah dengan pilihan itu, semua ibu berhak merasa aman untuk memenuhi kebutuhan si bayi dan kenyamanan ibu.
An An Aminah misalnya, salah satu kawan saya yang sudah menyelesaikan masa ‘mengasihi’ mengaku hampir tidak pernah menyusui di ruang publik. Selain karena tidak nyaman, An An takut jadi pusat perhatian orang-orang.
“Pokoknya selain tempat sepi dan bareng suami, aku nggak pernah mau menyusui di ruang publik.”
Cerita teman saya yang lain, Melati, mengaku lelah karena selalu dikomentari tentang caranya berpakaian karena bentuk payudaranya yang besar. Sampai-sampai ia pernah jadi bahan obrolan laki-laki di kelasnya. Padahal, di kesehariannya, Melati menggunakan baju tertutup dan jilbab yang menjuntai menutupi dadanya.
“Selain karena nggak nyaman karena selalu jadi pusat perhatian orang, punya payudara besar juga bikin punggung pegal … Belum lagi, struggle cari bra yang tepat.”
Objektifikasi seksual perempuan terjadi ketika perempuan diperlakukan sebagai objek yang dapat digunakan untuk kesenangan orang lain. Penempatan tubuh perempuan secara seksual di berbagai media serta penilaian tubuh perempuan jelas merupakan bentuk budaya patriarki masih ada dan berlanjut.
Melalui media yang kita lihat sehari-hari aja, kita bisa melihat iklan suatu produk menggunakan tubuh perempuan sebagai penarik pangsa pasar, menjadi bukti bahwa penilaian masyarakat patriarki terhadap perempuan belum selesai pada “mengakui perempuan sebagai subjek/manusia sepenuhnya” namun hanya sebatas objek.
Perlunya Ruang Laktasi di Ruang Publik
Dari cerita di atas, ada dua benang merah yang dapat kita garis bawahi, yaitu: objektifikasi tubuh perempuan dan minimnya fasilitas laktasi di ruang publik.
Kita tahu, bahwa perempuan dan anugerah pengalaman biologisnya sangat khas dan beragam, salah satunya menyusui. Di beberapa negara maju, pemerintah yang mengambil perhatian terhadap hak-hak perempuan akan memfasilitasi kebutuhan biologisnya. Penyediaan ruang laktasi misalnya. Namun, apakah akses ruang laktasi di sekitar kita sudah terpenuhi?
Kawan saya Fitri Dwi contohnya, mengaku sangat kesulitan menemukan ruang laktasi di ruang publik. Apalagi, Fitri memilih full DBF untuk proses menyusui.
“Kadang lagi enak-enaknya makan di mall, tiba-tiba kinan rewel ya mau nggak mau harus cari toilet walaupun jaraknya jauh, kalau nggak di toilet ya di mobil … tapi ya masa saya mesti ke parkir dulu cuma buat nyusuin anak.”
Sebagai pendengar, saya jadi ikut memikirkan riweuhnya jadi ibu yang mengasihi namun di sisi lain ingin jalan-jalan juga biar bisa tetap waras.
Padahal, di Purwakarta khususnya, sudah ada aturan tertulis yang menjelaskan tentang penyediaan ruang laktasi di ruang umum (Perda No. 4 Tahun 2015 tentang penyediaan ruang laktasi). Tapi kok masih banyak yang mengeluh soal kehebringan para ibu-ibu untuk memenuhi asi anaknya? Cik atuh, baraca geura.
Dari permasalahan tersebut, saya ingin sekali mewakili para ibu-ibu di luar sana yang sedang belanja, antri BPJS, antri Disdukcapil, kerja kantoran, turun dari angkot untuk bisa difasilitasi akan kebutuhan biologisnya. Manfaatnya bukan hanya sarana menyusui saja namun bisa dipakai sebagai tempat yang nyaman untuk ganti popok, pompa asi, atau sekedar beristirahat dari teriknya Purwakarta.
Daripada meseran N-max hehehehe. *Sumpah Yayu yang nulis ini mah, Ambu.