Malam ini, aku ingin sekali membaringkan tubuh lelahku bersama dengan harapan. Membawanya menepi sejenak—untuk selanjutnya kembali bergerak. Namun, hujan bertambah lebat, membawaku semakin larut dalam khayalanku tentang indahnya kehidupan.
Tiba-tiba kantuk pun hadir; mendatangkan perpaduan antara realitas dan fiksionalitas. Alih-alih fokus, kantuk mengantarkanku pada kemungkinan lain yang semakin meluas. Realitas hadir samar-samar, tidak tertuju pada sesuatu yang khusus. Sementara fiksionalitas justru semakin superior, menunjukan keberdayaannya; berkeliaran terus-menerus. Dan pada akhirnya, akupun semakin terlelap, lenyap bersama lamunan ditelan malam.
*
Kota ini sedang dilanda gerimis ketika aku berusaha mengunjungimu di penghujung tahun. Hampir seharian, Ku habiskan waktu hanya untuk menyambangi kediamanmu. Segala rindu yang sudah tertampung, siap ku tumpahkan. Segala cemas tentang bagaimana kabarmu selama ini akan aku balas dengan segenap kasih dan sayang. Sebait pesan teks dari mu “Aku rindu!” —menjadi satu-satunya alasanku untuk bertemu.
Sepanjang jalan, lamunanku dipenuhi dengan rindangnya dedaunan yang sesekali jatuh tertiup angin. Hawanya sejuk; seperti senyummu yang tersimpul manis bersama lesung di pipi. Ku nikmati setiap aroma tanah yang basah tertimpa gemercik air hujan. Aromanya lekat; seperti wangimu yang khas.
Aku mencoba membawa lamunanku lebih dalam–menyatu dengan alam. Ku lihat kanan dan kiri, lambaian ranting pohon menghiasi pandangan. Ku resapi lebih jauh lagi, jalanan mulai bergelombang, mengingatkanku pada kisah kita yang tak selalu berdampingan. Batu kerikil, jalanan naik dan turun, kerap mewarnai kisah kita.
Tak terasa, aku menyusuri jalanan sudah sangat jauh, meninggalkan segala bising dan riuh layaknya suara menggurui yang membosankan. Aku menyeruak lamunanku semakin dalam. Menjauh dari tuntutan pekerjaan yang hampir setiap hari diulang. Tanpa ku sadari, aku menemukan damai di dalam heningnya lamunanku bersamamu. Tidak akan ada lagi suara-suara idealis yang melemahkan. Tidak akan ada lagi pelaku kapitalis yang bertindak sewenang-wenang. Hanya kita yang tersisa, dua tokoh yang saling menguatkan.
Tapi, aku paham bahwa kisah ini hanya beralaskan kepercayaan sehingga kita bertahan dengan saling mengupayakan. Berbagai peran pun sudah kita mainkan dengan keberdayaan masing masing. Aku dengan caraku; menguatkan, dan seperti biasa, kau dengan usahamu; mengutuhkan. Kita sama-sama berjalan di atas ketimpangan jarak, namun tetap bergandengan pada sebuah harap.
Segala harapku tentangmu sudah tersusun rapih agar kita bisa membangun ekspektasi yang sama. Begitupun dengan harapmu. Aku percaya, kau mungkin sudah menyusun segala harapmu tentangku dengan baik sehingga cemas tak selalu hadir di saat kita tak mampu bertemu setiap saat.