Revisi KUHAP yang Bisa Memunculkan Negara Otoriter

DPR tengah menggarap revisi KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Revisi ini mengatur bagaimana proses hukum berjalan untuk menentukan apakah seseorang layak dijatuhi sanksi pidana, baik berupa penjara, denda, maupun kurungan. Tapi masalahnya, beberapa pasal dalam revisi ini cukup problematik, terutama bagi mereka yang aktif dalam gerakan sosial.

Pasal-pasal tersebut menyimpan potensi besar untuk dijadikan alat represi terhadap perjuangan rakyat akar rumput. Mari kita soroti beberapa ketentuan yang paling mencurigakan.

Pasal-Pasal Mencurigakan dalam Revisi KUHAP

Pertama, ada Pasal 93 ayat (5), yang memungkinkan polisi menahan seseorang dengan alasan “tidak bisa bekerja sama” atau “memberikan informasi tidak sesuai fakta,” berdasarkan pertimbangan subjektif penyidik. Masalahnya, alasan-alasan ini sangat lentur dan sepenuhnya bergantung pada penilaian subjektif penyidik. Dalam konteks relasi kuasa yang timpang, hal ini membuka celah besar bagi penyalahgunaan aparat demi melindungi kepentingan penguasa.

Kedua, ada Pasal 105 Jo pasal 106 Jo pasal 112 ayat (3) memberikan wewenang kepada polisi untuk melakukan penggeledahan tanpa izin pengadilan dan bukan hanya pada barang yang berhubungan dengan kejahatan dengan dalih “keadaan mendesak” sesuai pertimbangan penyidik polri. Lagi-lagi, frasa yang kabur ini bisa dimanipulasi. Dalam praktiknya, aktivis bisa mengalami penggeledahan sewenang-wenang, mulai dari perampasan barang pribadi, pembocoran informasi rahasia, hingga tekanan sosial akibat stigma sebagai “orang bermasalah.”

Ketiga, Pasal 124 mengatur tentang wewenang penyidik polri untuk melakukan penyadapan dengan alasan dianggap “keadaan yang mendesak” oleh penyidik polri yang berlaku tanpa izin pengadilan, seperti memonitor aktivitas seseorang atau sekelompok orang. Kamu bisa dengan mudah dilacak lagi dengan siapa, sedang membahas apa, dan kumpul di mana dari kejauhan, saat sedang merencanakan atau melakukan aksi dengan cara tertentu.

Dari semua ketentuan di atas, kita bisa melihat pola yang jelas. Negara sedang berusaha memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada aparat kepolisian utamanya adalah penyidik polri. Para petugas berseragam abu-abu, dengan tongkat, senjata api, dipersiapkan untuk menekan warga negara.

Di sinilah letak kekhawatiran utama kita. Revisi KUHAP ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi lahirnya rezim otoritarianisme di Indonesia.

Memahami Otoritarianisme

Menurut Britannica, otoritarianisme adalah bentuk pemerintahan yang membatasi kebebasan berpikir dan bertindak warga negaranya, serta menuntut kepatuhan mutlak pada penguasa. Bila ketentuan-ketentuan dalam revisi KUHAP ini benar-benar disahkan, maka negara otoritarian bukan lagi sekadar ancaman, melainkan kenyataan. Bahkan untuk menyampaikan aspirasi ke gedung DPR saja, kamu mungkin sudah dicegat di jalan.

Untuk memahami kenapa gejala ini bisa muncul, kita perlu menelusuri dari akar penyebabnya. Di sinilah pandangan filosofi four causes (empat sebab) dari Aristoteles menjadi relevan. Pandangan ini bisa membantu kita membedah motif-motif otoritarianisme yang mulai merayap lewat revisi KUHAP. Empat sebab itu terdiri dari: material cause (sebab material), formal cause (sebab bentuk), efficient cause (sebab penggerak), dan final cause (sebab tujuan).

Kemiskinan dan Kebodohan: Material Cause

Sebab material berkaitan dengan bahan materi yang kita bisa amati secara empiris. Dalam konteks ini, bahan baku otoritarianisme adalah kemiskinan dan kebodohan.

Pertama, soal kemiskinan. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2024, sekitar 24,06 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, yang hanya punya penghasilan per kapita di bawah Rp 20.000 per hari. Ini artinya mayoritas rakyat kita berada dalam posisi rapuh dan sangat tergantung pada “kebaikan” negara untuk bertahan hidup. Mekanisme bansos jadi contoh yang gamblang. Alih-alih memberdayakan, bansos justru membangun ketergantungan. Ketika rakyat terlalu bergantung, mereka mudah dikendalikan.

Kedua, tentang kebodohan. Data dari Institute for Management Development pada tahun 2024 menunjukkan bahwa daya saing sumber daya manusia Indonesia berada di peringkat 46 dari 67 negara. Kalau ini diibaratkan ranking kelas, tentu bukan hal yang patut dibanggakan. Daya pikir yang lemah membuat masyarakat mudah dimanipulasi, tak mampu menguji klaim, dan rentan terjebak propaganda negara.

Minpang jadi teringat novel 1984 karya George Orwell. Di dalamnya, rakyat Oceania begitu bodohnya hingga rela dikendalikan oleh rezim Big Brother. Mereka percaya begitu saja pada propaganda partai, ikut mengglorifikasi perang, dan memusuhi “musuh” yang diciptakan negara. Mereka tidak punya daya kritis. Mereka tak bisa membaca pola-pola kekuasaan yang eksploitatif dan penuh tipu daya.

Rakyat seperti itu mudah diselimuti rasa takut. Di Oceania, mereka diawasi oleh kamera dan alat perekam di mana-mana. Bahkan ada thought police yang bisa menghukum seseorang hanya karena pikirannya. Hukumannya pun bisa kejam.

Kembali ke Indonesia, penguasa tahu betul bahwa sebagian rakyatnya gampang dimanipulasi. Makanya mereka berani merancang pasal-pasal bermasalah dalam Revisi KUHAP atau RKUHAP ini. Mereka tahu, retorika seperti “antek asing” masih cukup ampuh untuk mengalihkan orang-orang dari perhatiannya dan mengeksploitasi naluri mereka untuk bermusuhan. Masyarakat pun percaya begitu saja, termasuk mereka yang cuma dapat informasi dari TikTok.

Struktur Kekuasaan Terpusat: Formal cause

Sebab formal menjelaskan bentuk atau struktur abstrak yang memungkinkan sesuatu terjadi. Dalam konteks Indonesia, bentuk ini terlihat dari pola kekuasaan yang terpusat pada lingkaran elite: Wowo dan Wiwi. Prabowo dan Gibran memenangkan pemilu tahun 2024 dengan 58,59% suara, ditopang partai-partai besar seperti Gerindra, Golkar, Partai Demokrat, dan lain sebagainya yang kini menguasai parlemen.

Dominasi ini menciptakan suatu paradoks demokrasi: sistem demokratis justru memuluskan jalan menuju kekuasaan yang anti demokratis. Pemerintahan Prabowo sekarang menunjukkan gejala itu, salah satunya lewat respons represif terhadap massa aksi nasional menolak RUU TNI waktu itu. Di sinilah peringatan klasik Lord Acton terasa relevan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Adanya Elite Politik: Efficient Cause

Sebab efisien adalah ketika ada pihak atau aktor yang menggerakkan terjadinya sesuatu. Dalam hal ini, aktornya adalah elite politik dan oligarki ekonomi. Mereka adalah representasi kelas penguasa yang memiliki kepentingan besar dalam industri tambang, terutama nikel dan batubara.

Aktivitas ekonomi mereka jelas bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan. Lihat saja kasus tambang di Raja Ampat. Aktivitas itu sempat berjalan sampai akhirnya dihentikan karena tekanan dari publik, baik di media sosial maupun aksi langsung di lapangan.

Gerakan kritis semacam itu dianggap mengganggu proyek investasi triliunan rupiah. Maka dari itu, mereka merancang regulasi yang bisa menjerat suara-suara perlawanan. Caranya lewat pasal-pasal dalam RKUHAP yang memberi ruang untuk kriminalisasi, penangkapan sewenang-wenang, dan pengawasan terhadap oposisi.

Mempertahankan Kekuasaan: Final Cause

Sebab final adalah tujuan akhir dari sesuatu. Dalam konteks ini, tujuan utama pasal-pasal bermasalah dalam RKUHAP adalah untuk mempertahankan kekuasaan.

Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain agar bertindak sesuai kehendak pihak yang berkuasa. Dengan pasal-pasal seperti Pasal 90 ayat (3) dan 93 ayat (2), negara menciptakan mekanisme hukum untuk membungkam kritik dan memuluskan proyek-proyek strategis mereka.

Contohnya bisa dilihat dalam proyek MBG dan food estate. Di balik jargon kemandirian pangan dan nasionalisme, terselip motif ekonomi dari para pemodal yang diuntungkan oleh pembukaan lahan besar-besaran. RKUHAP hadir sebagai tameng untuk mengamankan keuntungan mereka yang berada di atas singgasana.

Refleksi atas Akar Masalah Otoritarianisme Revisi KUHAP

Kita tadi telah menelaah bahwa RKUHAP yang membawa pasal-pasal bermasalah yang bisa merongrong bahkan mengancam aktivis demokrasi itu adalah tanda otoritarianisme yang mencoba untuk bangkit. Otoritarianisme ini sendiri tidak muncul dengan sendirinya tanpa alasan, melainkan didukung oleh sebab material, sebab formal, sebab efisien, dan sebab final ala rumusan Aristoteles. Semua kegilaan ini berasal dari satu akar, yakni kemiskinan dan kebodohan yang merupakan bagian dari sebab material.

Minpang merasa rakyat perlu untuk menjadi berdaya secara ekonomi dulu. Itu yang pertama supaya tidak bergantung pada penguasa dan tentu saja tidak mudah untuk dijadikan sebagai objek kontrol. Tapi, kita tentu tidak bisa terus-terusan mengharapkan kebaikan negara untuk membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan, karena para penguasa mengeksploitasi kerentanan masyarakat ini untuk kepentingan kroninya sendiri. Yang kita bisa lakukan adalah hadir untuk mereka yang membutuhkan makanan atau air yang layak: bikin acara solidaritas dapur umum gitu deh tiap waktu tertentu, seperti yang Minpang waktu itu pernah saksikan di salah satu cafe di Karawang. Buat juga mekanisme usaha koperasi yang modalnya dimiliki secara bersama dan manfaatnya dinikmati bersama pula tanpa relasi yang menindas. Dengan upaya ini, mungkin, masyarakat miskin bukan benar-benar bebas dari kemiskinannya, tapi setidaknya ini mengurangi ketergantungan mereka pada penguasa.

Tentang kebodohan sendiri ada upaya yang kita bisa lakukan untuk meminimalisir kebodohan dengan memberi makan otak kita bacaan-bacaan yang bermanfaat, melakukan otokritik gerakan, menelaah kebijakan negara dengan cara pandang yang kritis, dan memprotesnya dengan berbagai macam cara yang benar sesuai kesanggupan kita. Apabila penyebab materialnya kita sudah atasi, semoga saja formal cause, efficient cause, dan final cause benih otoritarianisme dalam RKUHAP ini bisa hilang. Semoga.

Minpang di sini~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!