Revi Nur Maola atau yang memiliki sapaan Revi menurut pengakuannya sendiri, adalah perempuan sederhana atau biasa saja yang bekerja sebagai freelancer, tarot reader, peneliti dalam project kecil, dan concerns dengan isu-isu aktivisme Feminis. Lahir pada tahun 1996 bertempat di Tasikmalaya—sebuah tempat yang Subhanallah sejuk dan asrinya. Alias buanyak banget pesantrennya. Purwakarta seharusnya malu menyebut dirinya sebagai Kota Santri. Lihat Tasik, biasa aja dia mah.
Revi percaya kesadaran tentang kesetaraan gender dan perlawanan terhadap patriarki seperti nasi dalam menu makan. Wajib! Sejauh ini Revi telah melakukan berbagai upaya sosial-politis. Melakukan aksi massa, menjadi pembicara isu-isu ini, dan aktif menyebarkan kesadaran di sosial media adalah hal-hal yang ia lakukan sebagai bentuk pengabdian kepada kaum perempuan.
Kuy simak obrolan kami dengan Revi Nur Maola yang ….. percaya zodiak. Wkwkwk.
Assalamualikum Ustadzah
Waalaikum salam ahlul qubur~
Mau Ruqyah nih, hehe.
Eh, Kak Revi, bisa ceritain nggak sedikit tentang latar belakang Kakak?
Wah, kalo aku sendiri sih cuma perempuan biasa sih, yang bekerja sebagai freelance designer dan sedang aktif magang di salah satu NGO (Non-Governmental Organization). Aku juga melakukan editing dan jadi MC. Sekarang aku lagi berkarier di Jakarta. Tapi, aku sendiri kelahiran Tasikmalaya di tanggal 29 Juli 1996.
Dari mana Kakak pertama kali mengenal feminisme?
Dikenalin orang tua, hehe. Ga ding. Kenalnya sih awalnya karena aku kan waktu itu kuliah jurusan Sosiologi iya yang memang ada feminisme di situ di mata kuliah tentang gender dan selain itu, aku juga kenal lewat bukunya Mansur Fakih yang membahas tentang gender—jadi buku itu sendiri membahas tentang berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan dan bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan yang ada menggunakan perspektif feminisme.
Tapi buku yang menurut aku paling bagus sih dari bell hooks iya yang berjudul “Feminisme untuk Semua Orang.” Dari situ, aku mendapatkan pelajaran berharga bahwa sistem Patriarki itu ternyata nggak cuman merugikan perempuan lho, tapi juga lelaki.
Aku pernah juga tuh baca buku itu, kak. Memang menarik sih: bell hooks di situ menjelaskan kalo ada lelaki yang nggak memenuhi standar maskulin tertentu iya dia bakal dapet semacam hukuman sosial juga.
Nah iya, bener banget!
Aku nggak setuju sih dengan anggapan bahwa feminisme itu berarti perempuan di atas lelaki atau feminisme itu membenci lelaki. Nggak. Nggak boleh jadi samanya juga. Kita mesti sadar bahwa tujuan feminisme itu emansipasi total.
Aku juga memahami feminisme dari kegiatan sekolah feminis yang diadakan oleh salah satu NGO yang memiliki concern di bidang perburuhan—jadi iya gitu isu feminisme yang dibawa memiliki kaitan erat dengan perburuhan: perempuan menjadi buruh pabrik yang dieksploitasi, nilai lebihnya diambil, diupah murah, dan kesehatan diproduksinya dikorbankan. Belum lagi, ketika sudah sampai rumah, ia memiliki beban ganda: sebagai pengurus rumah juga.
Oh iya, yang menarik dari sekolah feminis itu sendiri jadi cara kita belajar—jadi kita sering duduk melingkar dan berbagi pengalaman, keresahan, dan pengetahuan seputar isu gender. Pembahasannya bervariasi: dari mulai permasalahan aborsi, pelecehan seksual, hingga ketertindasan buruh perempuan.
Apakah ada pengalaman pribadi atau lingkungan yang menjadi titik balik Kakak untuk giat memperjuangkan isu feminisme?
Ada pengalaman pribadi, yakni aku juga salah satu penyintas kekerasan seksual. Aku merasa dengan memperjuangkan isu feminisme, aku berusaha hadir untuk perempuan lain yang mengalami pengalaman yang sama dengan aku.
Jadi istilahnya “Senasib sepenanggungan, senasib sependeritaan,” iya kak?
Iya, betul. Aku berusaha untuk bisa saling menguatkan dengan penyintas yang lain.
Selain itu, berangkat dari pengalaman aku sebagai perempuan, aku merasa diri aku itu dihambat untuk mendapatkan sesuatu. Contohnya aja waktu itu aku gagal dipilih untuk menempati posisi tertentu cuman karena aku perempuan. Itu kan konyol iya! Dengan memperjuangkan isu feminisme, maka aku berharap perempuan bisa mendapat ruang dan posisi yang setara dengan lelaki.
Apa yang menjadi motivasi terbesar Kakak untuk terus bergerak di feminisme, bahkan hingga sekarang?
Motivasi terbesar aku itu karena dengan berjuang di dalam gerakan feminisme, aku bisa terus membantu diriku sendiri sebagai perempuan dan peka dengan keadaan perempuan. Aku jadi tahu bagaimana perjuangan petani perempuan misalnya. Dari beras yang kita makan aja selama ini, itu terdapat hasil kerja perempuan yang diupah kecil, padahal beban kerjanya sama dengan lelaki.
Dengan terus bergerak di feminisme, aku juga ngerasa lebih sensitif dengan perempuan dan orang-orang tertindas lainnya seperti penyandang disabilitas, minoritas, dan masyarakat adat. Sensitivitas ini penting karena bisa memantik rasa empati kita.
Ada cerita unik yang berkaitan dengan gerakan feminisme yang selama ini Kaka jalani?
Mungkin yang unik sendiri sampai sekarang itu papaku nggak tahu bahwa aku itu aktif di gerakan feminisme. Hehehe.
Pasti kalau ketahuan terjadi pertentangan iya kak.
Pasti. Tapi kita juga perlu memahami perspektif orang tua kita sih. Ada gap generasi. Ada gap pemikiran juga. Tapi kalau pun ketahuan nih, aku bakal komunikasikan baik-baik aja.
Jadi percakapan bisa menjembatani perbedaan yang ada iya.
Betul banget! Dengan dialog, kita bisa membuka sudut pandang baru dan solusi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, akhirnya nampak jelas.
Menurut Kakak, tantangan terbesar apa yang dihadapi oleh seorang aktivis feminis di Indonesia saat ini?
Tantangan terbesarnya adalah iya paling dari segi regulasi sih. Contohnya aja ada tuh RUU PRT (Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga) yang belum disahkan. Padahal hal ini penting banget untuk segera digarap karena menyangkut hak PRT atas ruang aman dari kekerasan seksual yang memang rawan terjadi.
Apa kesan paling berharga yang Kakak dapatkan selama bertahun-tahun di dalam pergerakan feminisme?
Bisa ikut mendampingi korban dalam kasus-kasus kekerasan seksual itu yang berharga banget karena aku bisa hadir dan berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan korban. Ini yang melatih sensitivitas aku terhadap permasalahan perempuan.
Siapa sosok yang paling menginspirasi Kakak dalam perjalanan ini?
Semua sosok perempuan sih menginspirasi iya, cuma ada satu sosok yang paling menginspirasi aku, yakni ibu aku sendiri. Jadi ibu aku itu dipoligami sama papaku. Sampai sekarang ibu selalu menutup diri untuk menceritakan hal tersebut ke aku. Aku selalu bertanya-tanya aja kenapa gitu ibu mau.
Dari situ aku bisa memahami ketertindasan perempuan tentang bagaimana misalnya perempuan yang bukan jadi istri pertama itu menghadapi omongan jahat tetangga, rasa cemburu dengan istri yang lain, tidak diprioritaskan, dan yang lainnya. Nggak kebayang sih betapa sakitnya ibu aku dipoligami.
Terus dosen aku juga adalah salah satu sosok yang menginspirasi aku. Dia adalah dosen perempuan yang mendorong aku untuk terus-menerus mempunyai sikap dan bersuara terlepas itu isu feminisme atau bukan iya. Teman-teman gerakan aku juga memiliki andil sampai aku bisa terus semangat. Oh, dan nggak lupa juga penulis–penulis yang vokal menyuarakan isu perempuan.
Aku juga mendapat inspirasi dari penjual lotek yang deket di lingkungan aku yang mesti menghidupi adik-adiknya karena orang tuanya meninggal. Ia berstatus sebagai istri sekaligus ibu: memiliki beban ganda sebagai perempuan.
Dalam aktivitas feminisme Kakak, adakah orang atau komunitas tertentu yang selalu mendukung perjuangan Kakak?
Paling mutualan-mutualan di IG aku iya—mereka tuh yang selalu support yang aku posting yang berkaitan dengan feminisme atau isu gender. Mereka juga antusias lho dengan usaha pembacaan kartu tarot aku. Dari kegiatan yang bersifat ringan ini juga aku bisa berbagi cerita dan keluh kesah, abis itu aku kenalin deh dengan pandangan feminisme.
Aku ngerasa ini bakal jadi cara yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya kesetaraan gender. Karena kalau langsung pakai cara yang serius: dateng-dateng langsung menjejali orang dengan pandangan politik kita, iya orang-orang belum tentu tertarik apalagi paham.
Jadi menemukan common ground gtu iya Kak supaya Kak Revi, feminisme, dan yang lain bisa bertemu di satu titik yang sama.
Iya, betul itu. Dalam pergerakan, kita juga perlu buat menyesuaikan diri dengan situasi.
Di mana saja Kakak biasa melakukan kegiatan pergerakan?
Aku aktif di jakarta dan Purwakarta untuk menyuarakan isu-isu feminisme. Iya, pernah ikut aksi bareng, berkesempatan jadi pembicara, dan ikut diskusi juga.
Kalau di Purwakarta tuh aku dulu aktif di komunitas Femme Fatale yang berisi perempuan-perempuan untuk mengisi kegiatan kreatif atau kesenian. Tapi fokusnya bukan gender sih, tapi lebih ke menyalurkan waktu luang aja. Tapi waktu itu kami sempat berkolaborasi dengan teman-teman yang lainnya tentang isu gender dan feminisme karena waktu itu kebetulan ada yang menjadi korban pelecehan seksual.
Bagaimana menurut Kakak, peran media sosial dalam menyebarkan kesadaran tentang feminisme di kalangan anak muda?
Yang pertama sih mungkin, aku melihatnya media sosial itu memiliki peran untuk kampanye penyadaran atau mencerdaskan orang-orang dengan konten feminisme yang banyak banget kita temukan di berbagai platform seperti TikTok, Instagram, dan yang lainnya. Aku ngerasa beberapa influencer atau bahkan NGO seperti LBH APIK itu rata-rata sudah punya tim konten kreatornya sendiri di media sosialnya untuk mengkampanyekan isu-isu feminisme.
Selain hal-hal itu tadi: kampanye dan penyadaran lewat postingan, tulisan, dan konten, udah banyak banget diskusi yang bertema feminisme seperti di Instagram dan X—bahkan di Zoom atau Google Meets itu banyak pembahasan yang berfokus pada isu feminisme di berbagai sektor seperti membahas kabar pelecehan seksual yang baru aja terjadi.
Menurut aku, media sosial itu memiliki peran sebagai sarana yang efektif untuk memobilisasi massa seperti contohnya yang setiap tahun terjadi dalam International Women’s Day.
Media sosial juga bisa kita jadikan tool untuk meningkatkan edukasi seksual.
Setelah sekian lama berkecimpung dalam gerakan feminisme, apa harapan kaka ke depannya?
Harapannya feminisme bisa lebih berkembang dan masif, seperti kata bell hooks, “Feminisme bukanlah sesuatu yang asing untuk diperbincangkan.” Jadi ke depannya, gagasan-gagasan feminisme mesti terang-terangan hadir dan kita jangan takut untuk menyebarkan gagasan feminisme. Gagasan feminisme mesti hadir di ruang-ruang publik seperti kampus saat masa orientasi mahasiswa misalnya atau menempatkan kurikulum pendidikan yang berisi nilai-nilai feminisme.
Jika Kakak bisa memberikan satu pesan kepada perempuan muda yang ingin terjun ke feminisme, apa pesan Kakak buat mereka?
Kalau pesan khusus sih nggak ada iya, karena aku melihatnya feminisme itu sesuatu yang memang sudah sangat dengan perempuan: berhubungan dengan diri perempuan dan ketubuhan perempuan. Setiap orang bebas mendefinisikan feminisme. Menurut aku sih feminisme ini sesuatu yang menarik dan unik iya untuk dipelajari mau kamu itu seorang perempuan muda, mau kamu itu seorang perempuan tua, atau transpuan, atau bahkan kamu tidak mengidentifikasi sebagai perempuan, feminisme itu sesuatu yang bagus buat dipelajari apalagi dipakai di kehidupan sehari-hari.
Wah mantap betul. Makasih udah ngobrol-ngobrol bareng. Minpang izin bakar rokok ke Dubai dulu, boleh?
Bebas.
Assalamualikum, jangan?
(………)