ArtikelSerupa

Rembulan Semerah Darah di Langit Kurusetra

Rembulan sedang purnama di langit Kurusetra,

ketika anak-anak Pandu ngelmu kepada Resi Durna

Sang Begawan dari Sokalima

Mereka gladi  menthang jemparing

seolah sedang merentangkan garis takdir

 

O, lihatlah panah Si kembar Nakula-Sadewa

Warastranya  hanya berdesing di udara

Tiada satu sasaran terkena jua,

asa mereka hampa menapaki jalan ksatria

 

Werkudara gerah meludah

Jemparing hanya dipakai oleh para bedebah

yang tak cukup jantan menentang mata lawan

Dengannya tak kujumpai nikmatnya kemenangan,

memandang netra yang sekarat, menghiba dalam kekalahan.” rutuknya

 

Akan halnya Yudhistira,

ia bahkan tak sanggup merentang itu langkap

“Senjata terbaik mestinya menguar dari diri pribadi:

yaitu cinta kasih dan pengampunan”

Memang begitulah dia, Sang Dharmaputra

 

Hanya Arjuna yang berhasil

Bidikannya menembus Himanda, melampaui Kala,

tepat menancap di jantung Sasadara

Hingga menumbuhkan setitik jumawa

“Ini lebih mudah dari membidik hati wanita

Kelak akan kuwarisi Gandiwa

Entah dari Pukulun Agni atau Baruna,

Pasopati dari Bathara Siwa,

Cundamanik; pun segala pusaka Dewata

Juga bidadari tercantik Suralaya

 

“Ah, warastra dan wanodya, adakah yang lebih indah dari mereka?”

 

Mereka, anak turun Kuru

Bersiap menyongsong takdir,

Menggenapi jangka para waskita

 

Sedangkan di langit,

Sang Chandra yang marah

Berwarna semerah darah.

Di Kurusetra, kesumat akan membuncah

 

Catatan:

Menthang = menarik busur panah

Jemparing/Langkap = busur panah

Warastra = anak panah

Himanda = awan

Sasadara/Chandra = rembulan

Gandiwa = busur panah milik Dewa Agni & Dewa Baruna

Pasopati = panah milik Dewa Siwa

Cundamanik = panah milik Batara Narada

Wanodya = wanita

Jangka = nubuat, ramalan

Waskita = orang pintar

 

 

 

Fragmen Tengah Malam 

Melek

Waspada

Ngugemi rasa

Berikat udheng

Berkidung smara dahana

Berselimut wangi dupa

Inilah kutukan kita

Wahai.. kaum yang tak seberapa

Mesti selalu berjaga

Di wilayah perbatasan

Antara iman dan kegilaan

 

Malang, malam 212

1 Desember 2016

 

 

 

 

Anomali di Bulan Januari

Selalu kubayangkan Januari yang berseri

Tanah yang basah, sisa hujan dinihari

Embun di ujung daun dan rerumputan

Dan bunga-bunga bermekaran

 

Yang kuimpikan adalah Januari yang syahdu

Dengan perjumpaan menuntaskan rindu

Malam-malam yang basah dalam desah

Dan setetes rajuk dalam adu peluk

 

Nyatanya bunga-bunga asmara telah layu

Kerontang berguguran di hatimu

Tepat disaat ingin kuhirup semerbak wanginya

 

O, kenapa mesti kekasih

Kenapa mesti kaujerang bunga cinta

Di atas bara prasangka

 

Malang,

5 Januari 2022

 

 

 

 

Malam Terakhir Sang Angkawijaya

O Utari permata hati

Andai esok kau terima kabar duka
Tentangku yang lampus di padang Kurusetra
Usah kau sedih
bagaimanapun nubuat mesti kupenuhi
Palastra di palagan, menunaikan bhakti

Jangan kau kenang caraku dijemput Hyang Yama
Entah dengan keris, gada, atau hujan warastra
Entah dengan tipu daya cakrabyuha

Jangan ada linangan waspa

Usah pula risau tentang kubur
Untuk layon yang telah lebur
Semayamkan saja Kakang di
hati
Dengan nisan kenangan
Yang sepanjang hayat bisa kau ziarahi

Malang, 12 Januari 2022

 

Catatan:

Lampus = palastra = mati

Warastra = anak panah

Cakrabyuha = salah satu bentuk formasi pasukan dalam pertempuran

Waspa = air mata

Layon = jasad/jenazah