Kepada orang-orang yang dianiaya. Kepada orang-orang yang ditindas. Kepada orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Kepada orang-orang yang dimiskinkan. Kepada teman-teman, sahabat, dan orang-orang yang tetap konsisten memperjuangkan keadilan dan hidupnya diperuntukan orang kecil. Begitulah kiranya Gelandang di Kampung Sendiri punyanya Cak Nun.
Pada Gelandangan di Kampung Sendiri, Emha Ainun Nadjib atau βlebih dikenal dengan Cak Nun menggambarkan permasalahan-permasalahan orang-orang pinggiran dan penyelesaiannya. Cak Nun juga menyelipkan muhasabah dan refleksi terhadap peristiwa yang digambarkan dalam buku ini, diantaranya:Β
Petani Kopra di Pulau Kei Maluku
Ada yang bilang, kalau kita misqueen, berarti kitanya aja yang males. Meskipun emang mungkin ada benarnya. Tapi, siapa bilang bahwa rakyat kita malas? Sejak pukul satu lewat tengah malam, ibu-ibu di Srandakan, Bantul, sudah menyiapkan dagangannya yang kemudian mereka panggul di punggung lalu jalan kaki 20km ke Pasar Kota Yogya, berjualan sampai Β siang untuk memperoleh 1000-2000 rupiah.
Orang-orang semacam ini dituduh malas oleh orang-orang yang kerjanya duduk di kursi menghadap meja, memangku sekretaris, dan mengetik 1 jam-sehari dan memperoleh ratusan juta rupiah.
Padahal, tidak usah menjadi sarjana ekonomi untuk sanggup meramal komoditas yang kiranya bakal bonafit. Secara alamiah, harusnya mereka juga mengerti bahwa semestinya mereka bertanya ke Badan Tata Niaga Kopra di Pulau Kei Maluku yang berkewajiban melindungi para petani. Sederhana saja: petani itu rakyat, rakyat itu yang punya jabatan tertinggi di Tanah Air, sehingga kepada kepentingan rakyat-lah segala langkah pembangunan ini sepantasnya diarahkan.
Akan tetapi sudah atau akankah Badan Tata Niaga yang βkatanya terdiri dari pemerentah dan asosiasi pengusaha kopra itu berpihak pada kaum petani? Rasanya tydack. Buktinya, petani kopra tetap bercocok tanam, dan sarjana pertanian jadi punggawa lahan dan juragan tanahnya ongkang-angking kaki di kursi.
Jadi, sudahkah badan atau lembaga Kopra itu mewakili suara petani?
Amsal dari Probolinggo
Ada seorang istri membelah tubuh suaminya, mencukil matanya, merogoh jantungnya, dan mengalungkan ususnya di leher. Ia βmenikmatiβ adegan itu begitu lama, bahkan kedatangan anaknya tak membuat batinnya luruh.
Ada seorang lelaki yang memenggal leher familinya sendiri, mendudukan tubuh korban malang itu dan meletakan kepalanya di atas pangkuan. Ada anak tak naik kelas, naik ke pohon, bergelayutan di pucuk rerantingan.
Kedua peristiwa tadi, apakah fenomena individu ataukah kasus sosial? Apakah tindakan saudara-saudari tercinta itu merupakan gejala personal subjektif-ekslusif, ataukah refleksi hidup khalayak umum?
Apakah para pembunuh itu oknum, ataukah warga dari suatu iklim kolektif? Apakah itu terkait dengan personal masing-masing pelaku, atau justru menjadi urusan kita bersama. Apakah yang akan menjadi terdakwa di hadapan Tuhan kelak mereka saja? Ataukah kita juga?
Apakah para pelaku kejahatan dan sadisme yang teramat istimewa itu akan kita suruh bercermin, ataukah mereka adalah justru cermin terpampang di depan wajah kita?
Gelandangan di Kampung Sendiri
Sutradara film dan artis yang berkeliling ngamen sudah setahun lebih. Mereka bekerja keras, bahkan ekstrakeras, menangani sampai hal-hal yang paling kasar, dari kota ke kota, dari daerah ke daerah. Belum lagi kalau kita berbicara tentang betapa banyaknya realitas masyarakat, negara dan sejarah Indonesia yang tak boleh diungkap dalam film.
Sangat banyak kasus sosial, penyelewengan hukum, kesewang-wenangan kekuasaan, ketidakadilan perekonomian, dan borok-borok lain yang tidak media katakan. Kita mengalami suatu watak sejarah ketika seorang bayi bisa dilarang lahir hanya karena diasumsikan akan menimbulkan keresahan sosial.
Bayangkan, Anda bahkan sudah bersalah ketika baru dicurigai akan membawa keresahan sosial. Betapa menyedihkan jadi gelandangan di kampung sendiri.
Orang Kecil Orang Biasa
Dengan menjadi orang kecil, dengan menjadi orang biasa, saya bisa mengurangi keterikatan dan ketergantungan tertentu. Kalau orang berpangkat, ia tergantung pada kedudukannya di kursi sehingga ia bisa diseret, ditodong, ditakut-takuti karena khawatir jatuh dari kursinya alias ngejengkang, kawan~
Melalui Gelandang di Kampung Sendiri inilah Cak Nun memberikan pandangan yang sebelumnya tidak terlihat oleh orang yang tidak pernah berada di ambang kemiskinan, yang hidupnya stabil dan sejahtera cuma karena ongkang-angking kaki di kursi DPR dan tidur di Sidang Paripurna.