
Alasan utama saya menonton film ini adalah ya tentu saja saya kangen menonton Kinaryosih. Selain karena saya masih kesal sama LSF sebab sampai saat ini tidak menayangkan Pocong karena filmnya mengambil latar 1998, saya juga sepertinya perlu asupan film-film jadul yang baru-baru ini diremake. Lagian, beberapa aktor yang main film ini juga main di Pocong.
Film diawali dengan Patrice (Titi Kamal), penyanyi naik daun niradab yang berlagak semua orang menyukai dan bakal memaklumi dia. Sok-sok eksklusif gitu, lah. Dilihat dari caranya menjawab pertanyaan para fans melalui telepon-telepon yang masuk di radio, barang pasti Patrice adalah penyanyi starsyndrome yang juga banyak ditemukan hari ini. Dalam karirnya, Patrice dibantu oleh kakaknya, Yulia (Kinaryosih). Entah kenapa juga nama semodern Patrice tiba-tiba punya kakak namanya Yulia. Tapi baiklah, Yulia adalah manager Patrice. So, Patrice yang memang tidak beradab ini seringkali tidak disiplin dalam pekerjaannya. Kalau dia lagi mood untuk ngisi acara/manggung, ya oke-oke saja tapi kalau lagi gak mood, dia bisa dengan mudah membatalkan janji. Ujung-ujungnya? Yulia yang harus kena omel sama orang/event yang ngundang Patrice.
Patrice, yang digambarkan sebagai seseorang yang judes, sok, ngehek, dan gak sopan ini sifatnya berbanding terbalik dengan Yulia. Meskipun tidak diceritakan latar belakang keluarga mereka, tapi keseluruhan film sudah cukup memberikan gambaran seperti:
(1) Dari kecil, Yulia mengurus Patrice. Mulai dari menyiapkan baju, makan, bawakan koper, dan hal lain yang biasa dilakukan seorang kakak.
(2) Patrice adalah adik yang kelewat gak tahu diri, berpikir semuanya bisa dibeli pakai uang (padahal memang iya), dan di satu sisi, jauh lebih ekspresif ketimbang Yulia.
Patrice pada dasarnya manja, tapi tidak seperti Sissy dalam Jungkir Balik Dunia Sisi. Manjanya lebih ke “tidak ingin berlelah-lelah mengambil makanan ke dapur”, bossy lebih tepat sih mungkin, tapi manjanya si Patrice emang udah bukan main deh! Perkara mens aja masih harus diurusin sama Yulia!
Nanun berdasarkan penggambaran karakter ini, penonton jadi bisa paham alasan Yulia semudah itu menjadi bucin, dan Patrice semudah itu kurang ajar.
Kebucinan Yulia mengakibatkan nasib buruk buat Patrice dan Yulia sendiri. Pasalnya, Yulia mengencani Gary (Vincent Rompies), pemusik yang juga seorang bandar narkoba. Omong-omong, saya jadi ingat Sheldon bilang gini:
Konflik utama dalam film ini yaitu waktu mereka berdua kena razia sementara Gary sudah kabur dari mobil lebih dulu. Alhasil, Yulia dan Patrice ditangkap polisi dan OTW kena hukuman mati. Tapi di perjalanan, waktu si Patrice tiba-tiba mens ini, kabur lah mereka berdua ke suatu kampung yang sepertinya Depok/Bogor gitu. Hidup bersembunyi di sana, tidak dikenali orang-orang, dan ya sampai ketahuan lagi dan dibawa polisi lagi, lah. Simple sebetulnya tapi banyak hal menarik yang ditangkap.
Yulia, seorang anak sulung yang hidup di balik bayang-bayang sang adik yang terkenal, cenderung dominan, pintar (akademik dan membuat lagu), dan pada (universe) film ini, si adik dikisahkan sebagai sosok ideal perempuan cantik.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Yulia lah yang selama ini mengurus Patrice. Mulai dari makan, pakaian, sampai menstruasi pun masih diurusin sama Yulia. Yulia seringkali disibukkan dengan urusan Patrice dan melupakan dirinya sendiri. Mirip dengan peran ibu rumah tangga yang penting, tapi gak dianggap penting buat kebanyakan orang sekalipun buat orang yang diurusin.
Yulia sering hidup dalam perasaan tak pernah cukup, selalu merasa gak layak, yang membuatnya justru haus afeksi. Makanya, kalau ada orang yang perhatian sedikit aja, Yulia akan dengan mudah jatuh cinta karena dirinya “gak pernah” mendapat perasaan diperhatikan itu.
Sifat Yulia yang ini lah yang akhirnya menjadi pemicu konflik utama di film ini.
Yulia gampang cinta sama orang tapi gak dilihat dulu latar belakangnya -> pacarnya bandar -> bawa narkoba -> kena apes deh.
Okay, saya tahu kalau Yulia gak sama Gary, film ini gak akan ada tapi please deh, Yul! Jangan bucin-bucin amat!
Oh ya, awalnya mereka berdua bisa ketangkap karena ada narkoba di mobil bermula waktu Yulia, Patrice, dan Gary di perjalanan pulang. Sebab jalan utama macet, Yulia memutuskan untuk membelokkan setir ke jalur alternatif yang ternyata justru di situlah partai coklat berada.
Gary yang duduk di kursi belakang pun ketika melihat parcok dari kejauhan langsung turun dan berlari. Sedangkan seperti yang kita tahu, Yulia dan Patrice akhirnya tertangkap.
Kalau mau dimasukkan teori cocoklogi, sebetulnya adegan Yulia dan Patrice melalui jalur alternatif ini bisa jadi simbol juga, simbol bahwa mereka akan melewati jalan yang gak biasanya mereka lewati. Anjay.
Genre Dangdut Identik dengan Musik Kaum Marjinal
Singkat cerita, Yulia dan Patrice berhasil kabur ke satu perkampungan. Dengan baju seadanya, tanpa uang dan ATM, dengan cara yang kebetulan tapi masih masuk akal, mereka akhirnya bergabung dengan Rizal, organ tunggal medioker tingkat lokal yang rajin pentas.
Rizal (Dwi Sasono) ternyata seorang pemilik organ tunggal dengan segudang lagu ciptaannya. Di sini saya baru tahu, ternyata sebelum menjadi pelukis full-time dan menikah bersama Mbak Angel, Mas Adi adalah musisi. Heu:(
Patrice, si penyanyi pop-rock starsyndrome itu harus merelakan namanya berubah menjadi Iis. Seketika saya teringat Maria yang ngedumel namanya berubah jadi Mariati karena masuk Islam:(
Patrice yang belum punya suara cengkok ala-ala penyanyi dangdut itu pun akhirnya diberikan sesi latihan bersama penyanyi dangdut yang sudah terkenal. Ya, Yati Asgar, seorang penyanyi dangdut teman seperjuangan Rizal yang kini sudah melanglang buana.
Sebagai orang ngehek yang laganya selangit, Patrice bete bukan main waktu ia terus-terusan dikoreksi. Namun, ada satu hal yang menarik.
Pada scene ketika si pelatih vokal alias Yati Asgar itu pamit pulang, Patrice “ngedumel” begini,
”Kenapa sih susah banget nyanyi dangdut?! Padahal kan sama aja!”
”Is, ketika seorang penyanyi dangdut itu naik ke atas panggung, yang dicari itu bukan cuma suara bagus atau goyangannya, tapi penyampaiannya. Dangdut itu kan hadir biar bisa menghibur. Biar para pendengarnya bisa terhibur, bisa lupa sama utang, bisa lupa sama susahnya cari makan, bisa lupa sama semua masalahnya di rumah.”
Ya, betul sekali. Saya yang tukang dugem ini pun setuju. Gak cuma dangdut sih tapi ya kebetulan saja judul filmnya Mendadak Dangdut. Namanya juga hiburan. Meskipun setelahnya, kita pasti pusing lagi.
Waktu ngopi sama Bah Saut (dengan nada sombong), kami keki abis waktu cafe di depan kami masang sound yang kuenceng puol. Dangdut! Oh dengan senang hati saya akan berjoget, tapi sound dari cafe yang saya datangi bertabrakan dengan sound dangdut itu. Jadi saya sama sekali gak bisa menikmati dan enggan berjoget.
Di beberapa scene di film ini, diperlihatkan penikmat dangdut yang berasal dari masyarakat desa yang semuanya dari kelas bawah.
Hidup di gang-gang sempit dan kontrakan pengap. Beragam permasalahan dan karakter juga muncul, seperti:
1. Penonton laki-laki yang kalau nonton dangdut udah mirip orang moshing
2. Penonton yang mabuk dan merusak suasana (meskipun yang mabuk dan merusak suasana tuh bukan cuma penonton dangdut kelas menengah bawah doang, ya)
3. Catcalling dan pelecehan yang rentan dilontarkan kepada Patrice, termasuk oleh anak kecil (si Kipli dalam Para Pencari Tuhan)
Sebelum musik-musik indie anak senja ramai bermunculan seperti sekarang, saya rasa dangdut sudah lebih dulu memiliki sistem serupa.
Saya sebetulnya risih banget waktu nonton film ini, pas adegan si Kipli terus-terusan gak sopan ke Patrice dengan bilang,
”Mpok, susu Mpok kayanya mantep, deh!”
Atau dialog yang sampai sekarang mungkin masih terngiang seperti
”Neng, ikut abang dangdutan yuk?”
Argh. It’s totally annoying! Tapi memang itu yang terjadi, kan?!
Saya lalu mengingat masa-masa lagu dangdut ciptaan Krisna Mukti, Evi Tamala, dan Ikke Nurjanah. Kemudian beralih ke masa Inul Daratista dengan goyang ngebornya, Dewi Perssik, Jupe (dia nyanyi gak, sih?), lalu mulai ke zaman Cita Citata, Zaskia Gotik, sampai grup band neodangdut(?) seperti banyak ditemukan sekarang dengan sentuhan lebih modern.
Ya, zaman Inul Daratista dan Dewi Perssik saya ingat betul. Mereka kalau tidak salah termasuk ke dalam penyanyi dangdut yang banyak dicekal di zamannya. Entah saya tidak paham alasannya dan waktu itu saya masih kecil juga, tapi Yuliani dan Retno dalam jurnalnya di sini bilang,
Sayang sekali Inul viral di masa lalu, sekarang Indonesia dan masyarakat lebih terbuka dengan hal-hal seperti ini. Tapi, ya. Betul. Ini akan jadi pembahasan panjang dan bukan ini poinnya dalam resensi ini.
Dangdut dalam ingatan saya sudah banyak melalui beberapa style, mulai dari zaman golden age-nya Krisna Mukti, Ikke Nurjanah (maaf saya gak ngalamin dangdut zaman Roma Irama) dengan lirik yang bagus dan menyayat hati menurut saya, lalu zaman Mimpi Manis waktu goyangan menjadi ornamen penting, kemudian ke yang lebih modern seperti Ayu Tingting dkk., lalu yang lebih classy (karena berangkat dari pertarungan) seperti Lesti Kejora.
Syukurlah dangdut kini tak lagi jadi wadah orang untuk mengolok-olok penyanyinya. Kesan dangdut pun bergeser semakin baik ketika banyak juga penyanyi dangdut tenar yang terbukti gak macam-macam dan memang punya kualitas suara yang ciamik.
FYI, film ini menurut saya cukup “lantang” di masanya. Menyuarakan realita yang terjadi, dan memberikan spotlight pengalaman para penyanyi dangdut yang sering menghadapi pelecehan. Tapi pada saat itu tentu belum gaung “feminisme” atau sudah tapi saya belum dengar aja? Entahlah. Intinya filmnya cukup bagus dalam merepresentasikan masalah tersebut.
Sayang, Monty Tiwa dan Rudy Sujarwo tidak sampai pada tahap memberikan sedikit “pengetahuan moral” kepada penonton di masa itu bahwa “Pelecehan tuh salah! Pelecehan tuh gak boleh!” sehingga, menurut saya, kemunculan film ini lebih besar andilnya dalam membentuk pemikiran bahwa dangdut memang sesuatu yang buruk. Kalau kamu punya pandangan lain, boleh saja.
Di balik itu semua, saya selalu percaya lirik lagu Libertarian “Senang-senang itu hak semua orang. Kaya miskin semua butuh hiburan!” jadi, saat ini saya masih percaya dangdut yang baik adalah dangdut yang bisa menjadi ruang aman untuk penampil dan penontonnya. Dangdut yang liriknya jauh dari kalimat seksisme, melecehkan, dan merendahkan manusia, dalam kasus ini, perempuan.
Oh ya, saya juga ingin bahas soal asal-usul kata jablay yang setelah film ini meledak, semua perempuan yang dianggap tak baik disebut dengan jablay. Hadeuh. Tapi nanti za ya, saya lagi demam. Bye!
Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.