Dalam kebebasan, cinta memberikan semuanya sendiri tanpa syarat, berlimpah, dan sungguh-sungguh!”
—Emma Goldman
Kata-kata Emma Goldman pada karya “Ini Bukan Revolusiku” adalah kata-kata yang sering digunakan para biadab untuk dijadikan halaman awal atas kebejatan yang akan dilakukan. Cinta adalah kebebasan. Cinta itu tidak mengikat. Cinta itu adalah kemewahan yang paling sederhana yang bisa dinikmati… dan seterusnya, dan seterusnya.
Bulshit.
Eh tapi bukan Emma Goldman yang bulshit yaaaa, melainkan para biadab yang mengastamakan itu untuk memenuhi hasrat binatangnya.
Belakangan ini mulai banyak tumbuh keberanian-keberanian dari para korban pelecehan seksual yang pelakunya sendiri berasal dari orang-orang yang mengaku sebagai aktivis atau penganut isme-isme progresif. Ya motif awalnya sih kurang lebih kaya pamer-pamer pengetahuan dan pengalaman begitu. Mungkin sengaja buat menumbuhkan rasa kagum pada diri si korban. Selanjutnya seperti yang bisa ditebak, pelaku akan melakukan semua kebusukannya. Sementara semua isme-isme dan sok progresifnya dijadikan topeng kejahatannya.
Adapun kasus yang belakangan ini ramai diperbincangkan adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh bajingan yang bernama Bimbim atau orang-orang mengenalnya dengan nama Sombanusa.
Sombanusa? Sombanusa yang penyanyi dengan lirik-lirik yang keren, puitis dan progresif itu?
Kok bisa sih? Padahal aku kira dia orang baik taukkkk. Dia kan aktivis.. masa iya ngelakuin hal kaya begitu..?
Belum lagi ada juga kasus kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) yang notabene si pelakunya itu adalah salah satu anggota kolektif aktivis. Sulit untuk dipercaya bukan? Jelas sulit.
Ya memang seperti itulah kenyataannya. Kita tidak pernah tahu sisi buruk seseorang. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik topeng seseorang. Begitupun di sekitar kita. Banyak orang-orang bejat yang menggunakan topeng aktivis atau isme-isme hanya untuk sekedar tipu daya.
Itu hanya sebagian kecil saja dari kasus-kasus pelecehan/kekerasan yang bersangkutan dengan dunia aktivisme.
Kamu bisa searching sendirilah, kalau memang mau cari tahu kasus-kasus yang lainnya. Aku juga yakin kalau masih ada kasus-kasus pelecehan/kekerasan lainnya yang pelakunya berasal dari latar belakang aktivis atau penganut isme-isme progresif yang masih belum terungkap. Karena banyak juga dari para korban yang memilih untuk bungkam, entah karena takut tidak ada yang mempercayainya, bahkan takut dikucilkan di lingkungannya.
Ada juga yang takut dicemooh masyarakat dan keluarga karena budaya patriarki yang masih kental. Namun syukurlah, kabar baiknya ada beberapa gerakan yang concern di dibang ini. Di kota kita yang pencil ini ada Kolektif Agora di Karawang atau Swara Saudari di Purwakarta. Sungguh berita bagus.
Oh iya, kasus-kasus seperti ini itu bukan tidak masuk akal, aku pikir ini semua memang seperti sudah direncanakan dari awal. Seperti bagaimana pelaku menarik perhatian korban, lalu menumbuhkan relasi kuasa atas korban, menanamkan doktrin-doktrin isme taik kucing secara tidak langsung pada korban dan muara atas itu semua adalah selangkangan. Kan bajingan ya!
“Kok bisa sih mereka dengan pengetahuan tentang kemanusiaan atau aktif bicara isme-isme malah melakukan hal biadab kayak begitu?”
Jelas bisa! Buktinya korbannya ada! Aku berasumsi bahwa isme-isme yang telah dipelajari para biadab itu ya cuma sekedar topeng belaka. Kenapa topeng? Ya gimana… hal simple seperti consent saja mereka gak paham. Pelecehan atau kekerasan seksual itu terjadi ketika dilanggarnya konsensus antara kedua belah pihak oleh si pelaku dalam artian si pelaku memaksakan kehendak atau nafsunya padahal si korban sejak awal bilang tidak mau. Lantas ya tidak ada bedanya mereka dengan fasisme yang sama-sama bersembunyi dibalik topeng kekuasaan.
“Halah pelecehan apanya? Kok pas aku gituin kamu diem aja? Enak yaaa? Menikmati yaaaaa?
Heh coro! Kamu pernah tahu ga sih kalau ada istilah psikologi “tonic immobility”? Gak tahu kan? Iyalah wong otakmu selangkangan doang isinya..
Tonic immobility menggambarkan keadaan kelumpuhan yang tidak disengaja dan di luar kendali, di mana seseorang tidak dapat bergerak atau dalam banyak kasus, juga tidak dapat berbicara.
Menurut Kasia Kozlowska, seorang peneliti juga psikiater dari Universitas Sydney mengungkapkan bahwa Bagaimanapun juga, tonic immobility dirancang untuk diaktifkan ketika ada kontak dengan predator (mirip dengan situasi pelecehan seksual). Secara teoritis, orang bisa berharap itu akan aktif ketika ada kontak fisik, gairah tinggi dan ketakutan, dan tidak ada kemungkinan melarikan diri.
Kasia Kozlowska juga menjelaskan bahwa akan ada dampak psikologis lainnya yang akan dialami oleh korban pelecehan/kekerasan seksual bahwa terindikasi dua kali lipat berisiko menderita post-traumatic stress disorder (PTSD), serta tiga kali lebih mungkin mengidap depresi berat pada bulan-bulan setelah serangan seksual. Paham antum?!
Baru nulis sampai sini saja lumayan menguras emosi sampai bikin air mata ngalir cukup deras. Tapi pesan ini harus terus dilanjutkan. Aku bisa membayangkan dengan jelas rasa sakitnya ketika orang-orang terdekat di hidupku menjadi korban. Bukan hanya mental orang-orang terdekatku saja yang hancur, akupun sama.
Di titik inilah kukira, kebutuhan kita sudah sama mutlak. RUU P-KS HARUS SEGERA DISAHKAN! RAPIST HARUS DIHUKUM SEBERAT MUNGKIN!
Aku apresiasi penuh kepada para kawan yang menjadi korban pelecehan-kekerasan seksual dan sudah berani angkat bicara. Hormat setinggi-tingginya dariku.
Untuk kawan-kawan lainnya yang juga menjadi korban dan belum berani speak-up, kamu tidak sendiri. Kamu sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih sudah bertahan. Kamu layak untuk dicintai. Sangat layak! Mari terus saling menjaga karena memang cuma itu yang kita bisa saat ini.
Untuk para pelaku yang masih belum terungkap dan kebetulan membaca tulisan ini, segera keluar dari gerakan! Akui kalau apa yang kamu lakukan adalah sebuah kesalahan fatal! Jangan sampai gerakan yang mengeluarkanmu secara paksa dan tidak terhormat! Karena sejatinya tidak ada ruang bagi para RAPIST BIADAB!
PANJANG UMUR PENYINTAS! HIDUP KORBAN! JANGAN DIAM! LAWAN!