Fenomena kewajiban melaporkan ibadah pribadi di sekolah dan masjid menunjukkan pergeseran dalam cara beragama yang mengaburkan batas privasi dan etika.
Ramadhan dan Kegemaran Mengurusi Ibadah Liyan

Jika diibaratkan sebagai tontonan, hari-hari ini saya seperti sedang disuguhi sebuah festival kesalehan. Iya, festival kesalehan di bulan Ramadan. Baru juga masuk H-1 Ramadan, vibes festival tersebut sudah terasa di lingkungan sekitar—setidaknya lingkungan sekitar saya. Entah kalau di lingkungan sekitar sampeyan.
Suguhan yang “enggak banget” itu dimulai dengan pesan dari guru anak saya di WAG wali murid. Di situ disebutkan bahwa anak-anak akan mendapatkan libur awal puasa selama lima hari. Selama libur tersebut, anak-anak harus melakukan ibadah keagamaan yang mesti ditulis di jurnal.
Oke, fine… Sejauh ini ndak masalah. Awalnya saya berbaik sangka bahwa tujuannya adalah untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan. Namun, ternyata masih ada embel-embelnya. Anak-anak harus menyertakan bukti kegiatan ibadah tersebut berupa foto, paling sedikit tiga foto per hari. Misalnya, foto ketika sedang salat tarawih, tadarus, zikir, dan lain-lain.
Astaga dragon… Pola pikir macam mana pula ini? Dokumentasi ketika sedang beribadah? Yang bener aje lu, Tong… Saya tidak akan mempermasalahkannya, andai anak saya ini sekolah di pondok pesantren. Tapi ini di sekolah negeri milik negara, saudara-saudara! Saya kira telah terjadi semacam sesat pikir massal di sini.
Pertama, secara prinsip, baik salat, puasa, tadarus, maupun zikir merupakan ibadah personal atau individual. Baik yang hukumnya wajib maupun sunah, sifatnya tetap personal. Karena itu, setiap orang mempunyai hak untuk melakukannya di ruang publik, melakukannya secara privat, atau bahkan tidak menjalankannya. Kecuali jika ente seorang santri, maka ustaz dan murabbi sampeyan berhak untuk memaksa.
Akan berbeda urusannya jika menyangkut ibadah komunal seperti membayar zakat, Salat Jumat, atau melayat ke tetangga yang meninggal. Yang seperti ini bolehlah mengandung “sedikit” paksaan. Terlebih lagi ibadah semacam membuang sampah pada tempatnya, parkir dengan benar dan rapi, serta amanah dalam memegang jabatan (ndak korupsi)—ini HARUS dipaksakan.
Kedua, sekolah anak saya ini adalah SMA negeri. Sekolah milik negara, bukan sekolah yang berafiliasi dengan agama tertentu. Artinya, secara prinsip, seharusnya mengayomi semua pemeluk agama dan golongan.
Meski tidak bisa ditampik bahwa warga belajar di sekolah tersebut mayoritasnya adalah Muslim, namun perlu diingat bahwa di antara yang mayoritas tadi masih banyak yang berstatus Abangan. Tahu Abangan, kan? Kalau belum, coba baca Clifford Geertz deh… Bayangkan jika sampeyan Muslim Abangan, lalu dipaksa mengikuti arus utama festival kesalehan tersebut. Pasti jengah, kan?
Ketiga, kenapa untuk urusan ibadah personal tadi kita mesti melaporkan kepada orang lain? Meskipun kita termasuk golongan Muslim taat, apa perlunya laporan ke guru mengenai ibadah personal kita? Agar mendapat nilai agama bagus? Sepurane wae, Pak/Bu Guru, perkara siapa yang memberi nilai terhadap ibadah kita itu sudah ada yang mengurus. Noh, Malaikat Raqib dan Atid.
Saya sendiri juga mengajar di pondok pesantren. Tapi, selain saya ndak gitu-gitu amat deh. Saya tidak mengharuskan murid-murid saya untuk melampirkan bukti foto tentang ibadah personal mereka. Mereka cukup mengisi jurnal kegiatan saja. Semisal mereka tidak melakukan apa yang dituliskan, biarlah menjadi urusan mereka dengan malaikat pencatat amal. Saya bukan orang yang kurang kerjaan banget untuk ikut membantu tugas para malaikat tersebut.
Satu lagi, jika kebiasaan ini—mewajibkan anak-anak untuk melaporkan ibadah individualnya ke pihak sekolah—telah membudaya sejak TK hingga SMA, saya kira situasi bermasyarakat kita sungguh gawat darurat. Sebab pola pikir anak-anak dalam beribadah akan terbentuk menjadi sekadar gugur kewajiban saja. Kemudian, perlu validasi orang lain agar melihat ibadah personalnya. Jadi, ibadahnya bukan untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Plus, anak-anak mungkin akan mencontoh pola pikir guru-gurunya, yakni ikut sibuk mengurusi ibadah liyan (orang lain). Yang paling ringan misalnya dengan celetukan semacam, “Eh, kamu kemarin gak ikut tarawih di masjid, ya?” atau “Hayo… hari ini kamu mokel, ya?” Sedangkan hal-hal semacam itu—mencampuri urusan ibadah orang lain—sebenarnya sangat tidak etis untuk kita lakukan.
Belum kelar rasa judheg saya terhadap pengumuman dari sekolah si anak tadi, eh sudah ketimpa dengan urusan senada yang lainnya. Di acara selamatan munggahan H-1 Ramadan di kampung, sang ustaz yang memimpin doa memberikan imbauan kepada warga agar aktif mengikuti salat tarawih berjemaah di masjid.
Oke, normally, it’s just fine. Tugas seorang ustaz memang menyerukan kebaikan. Yang tidak normal adalah: sang ustaz menyebut nama secara personal siapa-siapa saja yang jarang berjemaah di masjid, yakni Bapak A, Saudara X, dan Pakde Z. Oleh sebab itu, mereka diminta untuk sregep berjemaah di bulan Ramadan ini. Ya salam… Lakon apa lagi ini?
Empatinya di mana coba? Saya membayangkan betapa malunya nama-nama yang disebutkan tadi. Ditegur di muka umum perihal aktivitas ibadah personalnya yang notabene seharusnya menjadi hak pribadinya, entah mau dilakukan secara berjemaah ataupun privat.
Dan ya, begitulah… Jika diibaratkan sebagai tontonan, hari-hari ini saya seperti sedang disuguhi sebuah festival kesalehan. Iya, festival kesalehan di bulan Ramadan. Mungkin memang ada banyak di antara umat Muslim yang ngebet ingin membantu tugas Malaikat Raqib dan Atid, dengan ikut mencatat—sekaligus mencacati—ibadah orang lain.
Leave a Comment