Tiga belas tahun sejak bunda pergi, aku selalu dibiarkan sendiri karena bunda tak pernah kembali. Aku yang saat itu masih berusia lima tahun, tak sedikit pun menyadari derita apa yang datang menghampiri. Karena yang ku tau, bunda akan kembali sebentar lagi. Janji dibuat untuk kemudian ditepati. Jadi aku tak mengkhawatirkan segala hal yang terjadi.
“Raka, bunda mau kerumah nana (nenek) dulu ya. Kamu jangan nakal, nurut sama bude. Bunda janji, nanti bunda beliin roti gulung kesukaan kamu.” Ucap bunda saat itu sambil memeluk erat tubuhku. Ahhh, senyumnya menawan, wajahnya sungguh rupawan. Tak dapat ku lupakan, bunda adalah perempuan penuh kehangatan.
Pagi ini suasana sekolah tampak sepi dan sunyi, padahal waktu telah menujukkan pukul 07:25 WIB. Tak tau kemana perginya teman-teman yang lain, aku seorang diri didalam kelas ini.
“Loh dek, kok kamu hari ini datang ke sekolah?” Tanya pak Herman penjaga sekolahku.
“Tentu saja aku ingin sekolah pak, memangnya kenapa?” Jawabku dengan tatapan penuh tanya.
“Hari ini sekolah diliburkan karena beberapa hal. Kemarin siang juga udah diinfokan dek, memangnya kamu gak dengar?” Ucap pak herman dengan tanya diakhir katanya.
“Ohh benarkah? Aku gak dengar pak, mungkin kemarin siang sedang tidur karena guru IPA gak masuk kelas.” Jawabku lagi.
“Iya dek, benar. Teman-temanmu gak ada yang ngasih info?” Tanya pak Herman lagi.
“Engga pak.” Ucapku sambil menggelengkan kepala. Namun setelahnya pak Herman tak lagi membalas pernyataan yang telah aku sampaikan. Karena sedikit bingung dan canggung, ku akhiri saja obrolan pagi ini dengan pamit pergi.
hufft
“Assalamualaikum bude, aku pulang.” Ucapku lesu sambil membuka pintu rumah.
“Waalaikumsalam den, loh kok udah pulang?” Tanya bude Nina dari arah dapur.
“Bude ngapain panggil aku den sih? Panggil aja aku Raka.” Ucapku sedikit kesal.
“Maaf den, abis bude lupa terus, maklumlah udah tua.” Ucap bude Nina tersenyum sedikit canggung sambil menggaruk kepalanya.
“Ohh iya, aku lupa bude. Hari ini sekolah libur.” Ucapku membalas pertanyaan bude sebelumnya.
Bude Nina adalah orang kepercayaan bunda sejak aku kecil. Tak tau, apa yang membuatnya bertahan tinggal didalam rumah ini, padahal bunda sudah lama pergi dan belum pernah kembali. Tapi satu hal telah ku sadari, aku cukup bahagia hidup dan tumbuh dengan bude.
Terimakasih, bude!
Hari-hari terus saja berlalu, namun aku dan bunda belum juga bertemu. Entah apa yang membuatnya pergi selama ini, aku masih saja mencari. Menerka-nerka masalah apa yang membuatnya tak kembali dalam waktu yang begitu lama.
Semakin hari semakin rindu dan rasanya begitu pilu. Bersikap seolah aku terbiasa tanpa bunda adalah sebuah lara yang pedihnya ku derita sepanjang masa. -Raka
“Sial, aku tak tahan lagi. Sudah cukup berdiam diri, aku benar-benar harus pergi.” Tekadku malam ini.
Dan seakan Tuhan menghendaki tekadku, pagi ini kehangatan surya sungguh kurasakan dengan nyaman.
“Ahh, jangan berlama-lama, mari kita mulai pencarian.” Batinku penuh semangat.
Taukah kalian? setelah tiga belas tahun berlalu, akhirnya aku mendapatkan keberanian. Tidak ingin terus menerka-nerka, aku harus mencoba untuk mencarinya. Dan ku putuskan bahwa pencairan ini akan ku mulai dari ruang kamar bunda dilantai dua, aku berjalan menaiki setiap anak tangga dengan langkah pasti. Sampai pada ruangan dengan pintu bercat putih, aku pun mulai menelusuri setiap sudut ruangan dengan teliti berharap ada sedikit petunjuk yang tertinggal didalam sini. Sebab sejak hari itu, tidak ada seseorang yang masuk ke dalam kamar ini bahkan bude sekali pun. Maka tak perlu heran mengapa setiap sudut kamar dipenuhi dengan sarang laba-laba.
Empat puluh menit berlalu untuk mencari petunjuk dikamar ini, namun hasilnya tetap nihil. Karena itu, aku pun memilih untuk berpindah tempat.
Tempat yang kutuju selanjutnya adalah ruang kerja bunda. Keadaannya sungguh tak jauh berbeda dengan kamarnya. Meja, kursi, lemari, semuanya dipenuhi dengan sarang laba-laba.
Didalam sini banyak sekali berkas-berkas yang tersusun rapi. Dan setelah menelusuri setiap sisi ruangan ini, aku tertarik akan beberapa kertas tertumpuk yang tersusun didalam salah satu binder.
Yang mana sepertinya itu adalah kumpulan surat-surat cinta milik bunda semasa sekolah dulu. Kenapa bisa aku katakan itu adalah surat-surat cinta? Karena ukuran dan warna dari setiap kertasnya berbeda, sehingga penampilan dari susunan kertas didalam binder itu sedikit berantakan. Karena dilanda rasa penasaran, ku lanjutkan membuka setiap lembaran dari kertas tersebut. Dan bingo tebakan ku benar. Hahahaha gemas sekali.
Setelah membaca beberapa bagian dari surat itu, aku merasa bosan karena isinya hanyalah kata-kata bualan. Aku berencana untuk menyudahi membacanya, namun tiba-tiba secarik kertas berhasil membuatku membeku. Itu bukanlah surat cinta, melainkan ucapan kebencian yang bunda tuliskan.
Aku membenci setiap detik ini -Aira (Bunda Raka)
Kulihat lembar berikutnya.
Derita ini milik kita, aku tak mau sendiri, kamu juga harus menemani -Aira
Tidakkah kamu merindukanku, Altaro -Aira
“Altaro? Siapa itu Altaro?” batinku merasa bingung dan penasaran.
“Apa yang kamu lakukan didalam sini Raka?” Ucap bude dengan sedikit tergesa. Karena terkejut, secara tidak sengaja aku melepas kertas-kertas itu dari genggaman tangan. Sial! Bude melihatnya.
“Darimana kamu mendapatkan kertas-kertas ini Raka?” Ucap bude dengan nada bicara yang tidak pernah aku dengar sebelumnya dan seketika aura di sekitarku mendadak begitu menyeramkan. Ada apa ini?
“Maaf bude, tak sengaja ku temukan dibawah sana saat aku mencari pulpen untuk mengerjakan tugas.” Ucapku sedikit gugup sembari menunjuk kearah dimana binder ini ditemukan. Lalu, dengan kasar bude merebut kertas-kertas ditanganku.
“Setelah ini, jangan pernah sekalipun kamu memasuki ruang-ruang yang ada dilantai dua Raka, mengerti?” Ucap bude lagi dengan nada yang begitu tegas lalu pergi begitu saja meninggalkanku. Kenapa? Ada apa? Kenapa aku diberi batasan? Ahhh, semakin penasaran saja.