Kami sedang duduk di bukit ini sambil menikmati jagung bakar. Seingatku, dulu tempat ini bukan tempat wisata seperti sekarang. Tempat ini hanya bukit biasa yang di kakinya berdiri gedung-gedung milik perusahaan apa pun, berjajar rapi seperti pasukan pengibar bendera pada setiap hari kemerdekaan tiba.
Menurut penjual jagung bakar, pada suatu hari ada beberapa pekerja yang menjadikan tempat ini sebagai tempat bersantai setelah seharian bekerja. Awalnya mereka membawa jajanan sendiri, tetapi pada satu waktu ada pedagang minuman asongan yang tidak sengaja ikut bersantai di sini. Lama-kelamaan, entah mulai dari kapan, tempat ini menjadi viral.
“Menurutmu dari sekian banyak orang di sini, apakah ada yang sedang berselingkuh?” Dada, seperti biasa, sering memberikan pertanyaan yang konyol sehingga membuatku kesulitan untuk menjawabnya.
Namun, pertanyaan itu bukan yang paling konyol. Perempuan ini pernah bertanya mengapa kota Solo jauh dari Karawang, atau mengapa setiap kali angka yang ditambahkan jumlahnya menjadi sepuluh huruf awalnya sama, atau jika sekarang Wakil Presiden bukan seorang anak Presiden, apakah ia akan terpilih menjadi Wakil Presiden, dan seterusnya.
“Tidak mungkin,” jawabku asal karena tidak ingin menanggapinya dengan serius.
“Aku tahu alasannya. Kota ini terlalu kecil bagi orang yang suka selingkuh. Manusia di kota ini sedikit dan pasti saling mengenal satu sama lain. Kalau ada yang selingkuh, pasti akan cepat ketahuan.” Bibirnya menyungging.
“Analisis yang bagus. Tapi, kamu salah.”
“Lah, aneh.”
“Di kota ini tidak akan ada atau bisa dikatakan mustahil ada yang selingkuh karena bukan lagi kegiatan haram, tetapi sudah menjadi pantangan. Jika kamu lahir di zaman dulu, kamu akan sering melihat seorang laki-laki gila yang di selangkangannya bergelayut dua butir telur tanpa batang di kota ini.” Aku memberinya mimik muka datar.
Dada tertawa puas tanpa menghiraukan para pengunjung di dekatnya. Aku tidak menyangka ia akan membayangkan seperti apa rupanya. Seorang ibu beserta anak di sampingnya sampai melirik dengan dengki. Tukang jagung bakar yang tidak jauh dari tempat duduk kami ikut tertawa melihat tingkah Dada.
Melihat orang-orang tidak nyaman dengan tingkahnya, Dada langsung menahan tawanya sendiri.
“Kamu tidak tahu cerita urban yang ada di kota ini?” tanyaku, kali ini dengan mimik yang serius.
“Tidak. Aku baru dengar.”
“Sayang sekali. Padahal kamu tidak boleh datang ke sini jika tidak tahu legenda yang satu ini.”
“Lebay.” Dada menepuk punggungku pelan. “Ayo cepat ceritakan!” Seperti biasa, ia selalu bersemangat setiap kali aku menyampaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyolnya.
Di hadapanku, Dada sedang menopang dagu menungguku untuk mengucapkan sesuatu. Aku pun bercerita:
Pada suatu hari setelah Kerajaan Cirebon tumbang oleh Kerajaan Mataram, berdirilah kerajaan-kerajaan kecil yang membentang di Pulau Jawa. Salah satu kerajaan tersebut bernama Kerajaan Bumi Wongso, yang penghuninya merupakan salah satu keturunan Raja Cirebon.
Karena kerajaan kecil ini mayoritas Muslim, segala kebijakan kerajaan menggunakan pendekatan Islam. Mulai dari pajak hingga hal-hal yang bersifat peribadatan diatur dalam kebijakan kerajaan. Raja-raja pada umumnya memiliki semacam gundik untuk ditiduri, tetapi Kerajaan Bumi Wongso tidak demikian. Raja maupun putra-putranya tidak boleh melakukan itu kecuali harus menikahi mereka.
Sang Raja pada saat itu memiliki belasan anak dari tiga istri, namun dari belasan anak tersebut hanya dikaruniai seorang anak perempuan. Sebut saja namanya Putri Salamah. Putri Salamah adalah anak yang paling disayangi oleh sang Raja.
Wajar saja jika Putri Salamah merupakan anak yang paling manja. Sang Raja sangat memperhatikan polah tingkah Putri Salamah. Maka ketika Putri Salamah menginjak usia matang, ia akan dijodohkan oleh sang Raja dengan salah satu Pangeran dari kerajaan seberang. Putri Salamah memohon untuk menunda permintaan sang Raja karena ia mengakui telah mencintai orang lain.
Putri Salamah sejak kecil sudah dekat dengan seorang anak dari seorang arsitek di negeri itu. Anak itu bernama Pakuwon. Usia Salamah dan Pakuwon hanya berselisih tiga tahun. Perkenalan mereka diawali oleh pembangunan sebuah tajur kerajaan oleh sang arsitek. Sang Arsitek sering membawa Pakuwon ketika pergi bekerja karena istrinya sudah meninggal. Di sana, untuk pertama kalinya, Salamah dan Pakuwon berkenalan.
Sejak saat itu, mereka sering bermain bersama. Pakuwon sering membawa mainan baru yang dibuat oleh sang arsitek, dan Salamah akan membalasnya dengan membawakan makanan-makanan spesial dari kerajaan. Seiring berjalannya waktu, seperti anak remaja pada umumnya, mereka saling mencintai dan berniat untuk menikah pada usia yang dirasa matang.
Pakuwon termenung ketika mendengar pengakuan dari Putri Salamah. Ia menimbang-nimbang risiko apa yang akan diambil jika mengajak Putri Salamah menikah. Kemungkinan besar Pakuwon akan ditolak oleh sang Raja atau lebih jauh lagi akan diasingkan dari kerajaan.
Pakuwon mencintai Putri Salamah, tetapi ia lebih mencintai dirinya sendiri. Maka Pakuwon meminta Putri Salamah untuk menerima perjodohan yang ditawarkan sang Raja dengan catatan jika sudah waktunya, Pakuwon akan membawa Salamah pergi dari Kerajaan Bumi Wongso. Putri Salamah hanya perlu bersabar. Pakuwon berjanji.
Salamah kecewa, namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia menunggu.
Hari pernikahan pun tiba. Pesta tujuh hari tujuh malam digelar. Orang miskin dan kaya berbaur. Pakuwon beberapa kali terlihat oleh Putri Salamah dengan wajah yang tandus. Salamah ingin menangis, tetapi akan percuma karena pesta itu digelar bukan hanya untuk menghibur dirinya.
Setelah pesta berakhir, Putri Salamah tidak pernah bertemu lagi dengan Pakuwon, bahkan hingga belasan tahun kemudian ketika kedua anaknya sudah hampir menginjak usia remaja. Putri Salamah masih menunggu waktu yang telah diikrarkan oleh Pakuwon.
Dunia berjalan memang ditakdirkan tidak akan pernah sejalan dengan apa yang manusia inginkan. Apa yang manusia duga akan meleset. Apa yang manusia harap tidak akan pernah sampai. Apa yang manusia hentikan tidak akan pernah berujung. Begitu pula seperti apa yang terjadi pada kehidupan Putri Salamah.
Pada malam purnama, ketika bulan sedang terang-terangnya, Putri Salamah baru pulang setelah menghadiri pesta dari kerajaan suaminya. Sebelum tiba di rumahnya, ia berencana akan mampir terlebih dahulu ke rumah kakaknya untuk mengantarkan titipan.
Ia masuk ke rumah kakaknya setelah meminta izin kepada dua pengawal di luar rumah. Salamah memasuki lorong ruang tengah; hanya ada satu orang pelayan sedang membersihkan meja makan yang berantakan.
Salamah bertanya kepada sang pelayan apakah kakaknya ada di rumah. Sang pelayan menjawab tidak ada siapa-siapa di rumah kecuali kakak iparnya yang sedang berada di kamar. Putri Salamah senang mendengar hal itu karena apa yang akan ia berikan memang berkaitan dengan perempuan.
Putri Salamah berjalan menuju ruangan kakak ipar tanpa ada keraguan. Setelah melewati pendopo, Putri Salamah tertegun melihat sesosok bayangan di bawah pohon manggis. Bayangan itu disoroti cahaya bulan purnama membentuk sosok makhluk legenda kuda bertubuh manusia.
Putri Salamah pernah mendengar legenda itu dari guru menulisnya ketika usianya masih remaja. Ia hampir ambruk melihat kenyataan itu, tetapi ia memperkuat tekadnya karena ingin melihat sosok makhluk itu lebih jelas.
Putri Salamah berjalan mengendap-endap agar makhluk itu tidak menyadari keberadaannya. Setelah jaraknya dengan makhluk itu sudah sepelemparan tombak, Putri Salamah menghunus pisau kecil miliknya, khawatir makhluk itu menyerang tiba-tiba.
“Kamu memang pendongeng yang buruk, Sul,” Dada memotong ceritaku.
“Jangan memotong dulu,” sontak aku menepuk mulutnya pelan. “Ceritanya belum selesai.”
Putri Salamah bukan hanya menghunus pisau itu tetapi sungguh-sungguh ingin menancapkannya ketika ia benar-benar melihat kenyataan yang ada di hadapannya: kakak iparnya sedang melumat penis Pakuwon. Mereka berdua berdiri tersorot sinar rembulan.
Kemudian perasaan Putri Salamah penuh dengan amarah. Putri Salamah yang sedang murka menutupi wajahnya dengan kain, kemudian mengendap-endap mendekati mereka yang sedang menikmati kelakuannya.
Putri Salamah menyikut wajah kakak iparnya yang masih menempel pada selangkangan Pakuwon. Kakak iparnya ambruk terguling di belakangnya. Tanpa tedeng aling-aling, Putri Salamah mencengkram penis Pakuwon lalu menebasnya.
Pakuwon berteriak disusul kakak ipar Putri Salamah. Darah berhamburan dari selangkangan Pakuwon. Putri Salamah tidak membuang benda jahanam itu tetapi memegangnya erat-erat tanpa merasa berdosa.
Putri Salamah tanpa berkata apa-apa menatap iba wajah itu: lelaki yang dicintai seumur hidupnya merasa ketakutan sambil meregang kesakitan. Ia meninggalkan kedua orang itu dengan tangan menggenggam batang penis yang masih berlumuran darah.
Selang beberapa hari, warga kerajaan menemukan mayat Pakuwon di pinggiran hutan tanpa kelamin menempel pada selangkangannya. Isu bahwa Pakuwon mati karena terkena kutukan perselingkuhan pun menyebar. Sejak saat itu, banyak para lelaki yang selingkuh kehilangan batang penisnya. Lelaki yang masih hidup menjadi gila, lelaki yang tidak ingin gila memilih mengakhiri hidupnya.
“Sekian,” kataku.
“Akhirnya selesai juga.” Matanya berlinang air mata karena menahan rasa mual.
“Jadi sudah dapat dipastikan tidak ada yang selingkuh di kota ini.”
“Terserahlah. Ayo kita pulang! Suamiku sudah menunggu di rumah.” Dada berdiri menepuk-nepuk bokongnya.
“Ayo! Istriku juga sudah menunggu di rumah.” Aku ikut berdiri dan spontan melakukan hal yang sama.
Sesampainya di parkiran motor, Dada berpamitan denganku dan bilang terima kasih telah meneraktirnya jagung bakar. Aku tertawa saja karena itu hal sepele. Lalu ia memacu sepeda motornya.
Aku tidak langsung pulang, menenangkan diri terlebih dulu dengan menyulut sebatang rokok, lalu meraba-raba selangkanganku memastikan benda jahanam di dalamnya masih bertengger pada tempatnya.
“Alhamdulillah wasyukurillah. Bersyukur padamu ya Allah.”
Sebuah lagu redup-redam mengalun dari penjual jagung bakar yang tadi kami beli.