Jam 1 siang, Aku melihat akun instagram Ketua Umum PB Permata (Perhimpunan Mahasiswa Purwakarta), @mochilga, menyiarkan sebuah cerita berupa potret massa aksi yang berbaris di jalanan di bawah terik sang mentari. Postingan yang disiarkan 3 jam lalu itu dibubuhi sebuah tulisan yang begitu mengesankan bagiku.
“Sekali lagi, Kita aksi bukan karena benci tapi karena Kita terusik oleh kebijakan yang ngawur
Cipta Kerja dilahirkan dengan dalih memperkuat ekonomi
memperbanyak lapangan kerja
Tapi yang Kita lihat itu hanya ambisi para petinggi negeri yang ingin memperkaya diri sendiri
Dengan mudahnya datang investor asing hanya akan merusak alam,
mereka tidak akan melihat kebaikan lingkungan sampai-sampai hutan & tanah produktif akan digerus demi sebongkah berlian
Investor datang industri banyak dibangun bukan solusi atas pengangguran,
Karena industri hari ini tidak butuh lagi banyak pekerja.
Mereka hanya butuh operator 1 orang untuk produksi 1 juta barang (mesin produksi robot)
Sebaiknya Indonesia dibawa dengan hati bukan ambisi, karena Kita harus memperkuat SDM
Sebab SDM unggul bukan karena banyak industri
Kapitalis & Oligarki harus mati di negara Pancasila ini”
Aku membaca tulisan Beliau itu seperti puisi, yang tercurah dari kegelisahan hatinya, menyaksikan realita yang penuh problematika.
Namun dari sana Aku jadi teringat pidato Penjelasan Presiden RI terkait UU Cipta Kerja yang ditayangkan banyak stasiun televisi kemarin sore, juga banyak dimuat di youtube dengan durasi sekitar 12 menitan.
Salah satu poin penting yang disampaikan Pak Presiden adalah tentang hoax yang beredar sehingga menjadi pemicu aksi demonstrasi yang bergelombang selama 3 hari kemarin itu. Lalu tentang penjelasan bahwa secara umum UU Ciptaker bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk berusia kerja yang masuk pasar kerja sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat mendesak. Jadi UU Cipta kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran.
Seperti sebuah pertandingan, Aku melihat puisi yang dituliskan Ketum PB Permata berlawanan dengan Pidato Presiden RI. Aku sendiri merasa bahwa untaian kalimat dari Saudara yang berakun instagram @mochilga itu bisa dijadikan sebagai respon cemerlang terhadap pidato Presiden RI kemarin sore.
Narasi yang disiarkannya sangat futuristik. Ia sadar akan eksistensi Revolusi Industri 5.0 di beberapa waktu ke depan dengan otomatisasi robotiknya. Sehingga pengharapan bahwa pengadaan industri di negeri ini dengan omnibus law-nya yang akan mengikis angka pengangguran perlu disoroti secara serius oleh bangsa Indonesia. Jangan dibiarkan menjadi isapan jempol belaka.
Namun apakah Presiden Jokowi luput soal Revolusi Industri 5.0 yang telah menanti bangsa ini di masa depan? Pengadaan lapangan kerja yang bagaimana yang hendak disediakan sebanyak-banyaknya seperti yang telah dikemukakan Beliau tersebut?
Presiden Jokowi menerangkan bahwa 87℅ dari total penduduk sebagai pekerja itu memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39%-nya berpendidikan sekolah dasar. Sehingga Beliau mendorong penciptaan lapangan kerja baru khususnya di sektor padat karya.
Tentu saja, sektor padat karya yang dimaksud Pak Presiden akan menimbulkan banyak spekulasi lagi di masyarakat. Apalagi jika orientasinya ke masa depan. Apakah maksud padat karya itu adalah memaksimalkan tenaga kerja manusia dalam mengerjakan kegiatan proyek pembangunan pabrik-pabrik? Kemudian tatkala pabrik-pabrik itu sudah berdiri menjadi sebuah perusahaan, lantas perusahaan tersebut akan mampu mempekerjakan tenaga kerja manusia secara besar juga?
Sedangkan terkait revolusi industri 5.0 di masa depan, yang akan memungkinkan bahwa perusahaan-perusahaan industri itu tidak akan memerlukan tenaga kerja manusia secara besar.
Ataukah maksud sektor padat karya itu adalah kegiatan proyek pembangunan infrastruktur seperti jalan-jalan, tol, dan bangunan perkantoran lainnya? Yang akan dapat memperkerjakan banyak tenaga kerja manusia yang seolah-olah jenis pekerjaan itu tidak akan mementingkan klasifikasi alias tidak menjadikan ijazah akademik sebagai persyaratannya. Jika demikian, akan sampai kapan sebagian besar penduduk Indonesia harus menjadi pekerja keras dalam usaha membangun jalan-jalan, tol, dan gedung-gedung perkantoran tersebut? Belum lagi, seperti kasus proyek pembangunan kereta cepat yang meskipun sudah sedang berjalan, tetap saja, fungsi dan efektivitasnya bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia masih menjadi polemik. Apakah Kita berpikir bahwa peradaban yang maju adalah banyaknya bangunan-bangunan baru yang dibuat, seperti ada banyaknya jalan-jalan besar, tol-tol, dan gedung-gedung besar nan megah?
Apakah yang dibutuhkan para pengangguran itu adalah pekerjaan? Apakah sebenarnya Kita tahu bagaimana etimologi “pengangguran” itu sendiri? Kenapa ada kata pengangguran segala?
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik, apakah benar bahwa sesungguhnya masyarakat itu membutuhkan pekerjaan-pekerjaan yang berbasis industri? Sedangkan setahuku, industri itu orientasi komersialisme. Melulu soal untung rugi. Muaranya pasti uang.
Apakah yang dibutuhkan masyarakat Indonesia ini adalah banyak uang atau bisa dapat makan? Atau kita berpikir bahwa makanan itu hanya bisa didapatkan dengan uang sehingga bangsa Indonesia ini didorong untuk berlomba-lomba mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sebisa mungkin?
Apa yang aku lihat dari puisi Ketum PB Permata dan pidato Presiden RI itu, sungguh seperti sebuah pertandingan. Yang mana sebuah pertandingan itu meniscayakan seorang pemenang. Apakah Presiden RI dengan segala gagasannya itu yang akan menguasai negeri ini, atau puisi dari Ketum PB Permata yang futuristik itu yang akan menang untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia?