Tahun 2010-an untuk pertama kalinya tulisan saya berhasil dimuat oleh salah satu majalah berbahasa Jawa yang terbit di daerah Jawa Timur. Saya masih ingat tulisan yang dimuat itu berbentuk geguritan (puisi berbahasa Jawa).
Semenjak saat itu saya mulai aktif mengirimkan tulisan-tulisan ke beberapa majalah berbahasa Jawa baik yang terbit di Jawa Timur dan di Yogyakarta. Walau seringkali ditolak tetapi tidak membuat saya menyerah.
Saya menulis bukan sekedar mencari honor buat tambah-tambah sangu kuliah. Tetapi lebih pada pembuktian diri bahwa saya tidak salah mengambil jurusan. Di luar menulis dalam bahasa Jawa saya benar-benar mahasiswa payah. Sebagai orang yang buta nada dan gagap tempo. Kemampuan nembang jawa dan memainkan gamelan yang saya miliki benar-benar mengenaskan. Kalau saja dosen saya tidak berbaik hati. Mustahil saya bisa lulus dalam mata kuliah nembang Jawa dan karawitan Jawa.
Maka ketika beberapa tulisan saya berhasil nangkring di beberapa majalah berbahasa Jawa perasaan saya sebagai mahasiswa gagal di jurusan bahasa Jawa bisa sedikit terkikis. Seiring berjalannya waktu nama saya sebagai penulis ‘pendatang baru’ di sastra Jawa mulai dikenal oleh beberapa teman yang berlangganan majalah berbahasa Jawa.
Suatu hari seorang kakak tingkat main ke kontrakan saya. Usai berkenalan ia mengajak saya keluar untuk main PS 2 di sebuah rentalan yang tak jauh dari kontrakan saya. Di sela-sela asyiknya memainkan winning eleven kakak tingkat saya ini meminta tolong untuk dibuatkan geguritan.
Merasa tidak enak bila menolaknya, saya pun mengiyakannya. Entah bagaimana ceritanya, sejak saat itu saya sering dimintai tolong oleh teman-teman dari kakak tingkat saya tadi untuk membuatkan geguritan.
Selain teman-teman dari kakak tingkat tadi. Ada pula teman satu angkatan dan adik tingkat yang minta dibuatkan geguritan. Biasanya saya diminta membuatkan geguritan untuk tugas mata kuliah tententu. Tapi kadang beberapa kali geguritan yang saya buat diminta buat nggombali pacar atau sarana pdkt bagi mereka yang kebetulan sedang jatuh cinta.
Walau banyak yang minta dibuatkan geguritan secara cuma-cuma. Tidak sedikit diantara mereka yang minta dibuatkan geguritan ini pengertian. Biasanya setelah guritan pesanannya jadi dan saya dan kirimkan.
Selang beberapa menit kemudian ada transferan pulsa yang masuk ke dalam nomor saya. Biasanya yang ‘membayar’ geguritan saya dengan pulsa ini adalah teman-teman perempuan. Meski jumlahnya tidak banyak. Pulsa dari hasil membuatkan geguritan ini cukup ampuh untuk menghemat pengeluaran saya sewaktu kuliah.
Jika teman-teman perempuan lebih suka memberikan pulsa sebagai ‘uang lelah’. Beda lagi dengan teman laki-laki yang minta dibuatkan geguritan. Mereka lebih memilih mentraktir saya main PS atau mengijinkan saya bermain game di laptop miliknya ketimbang mentransfer pulsa ke nomor saya.
Sejak merasakan manisnya membuatkan geguritan bagi teman-teman yang sedang butuh. Saya menjadikan membuatkan geguritan ini menjadi hobi baru. Melalui hobi baru ini saya tidak hanya bisa melatih kemampuan dalam membuat geguritan, melainkan juga bisa mengumpulkan pulsa dan bermain game secara cuma-cuma. Karena sering melakukannya saya sudah seperti makelar geguritan. Meski demikian saya tidak pernah mematok geguritan yang saya buat dengan harga tertentu. Mau dibayar ya monggo, nggak dibayar ya monggo.
Sekitar satu tahun kemudian karir saya sebagai makelar geguritan terancam berakhir. Semuanya berawal dari kecerobohan saya menyimpan hp saat pulang kampung dari Surabaya ke Tulungagung dengan menggunakan kereta api.
Saat berdesak-desakan dengan penumpang lain di dalam gerbong kereta api. Saya tidak sadar kalau hp saya telah dicopet. Saya baru sadar hp saya tidak ada pada tempatnya saat kereta yang saya naiki sampai daerah Jombang. Begitu sadar hp telah hilang. Tidak banyak yang bisa saya lakukan selain nggetuni kecerobohan yang telah saya perbuat.
Hilangnya hp saya ini turut membuat saya banyak kehilangan ‘klien’ yang sering minta dibuatkan geguritan. Mereka tidak bisa menghubungi saya, karena saya berganti nomor hp. Sejak pertama kali memiliki hp. Saya punya semacam keyakinan. Setiap nomor hp rusak atau hilang bersama hpnya itu adalah pertanda bahwa sudah waktunya bagi saya untuk mengganti nomor hp.
Kebiasaan inilah yang barangkali membuat banyak teman-teman yang dulu sering meminta dibuatkan geguritan menyimpan nomor saya. Mengenai hal ini saya tidak ambil pusing. Justru saya bersyukur tidak lagi dimintai tolong untuk membuat geguritan.
Meski PS 2 saat ini sudah banyak ditinggalkan seiring dengan lahirnya PS generasi terbaru. Tapi bagi saya PS 2 memliki tempat tersendiri dalam hati saya. Sebab, melalui PS ini membuat saya pernah menjadi sesosok yang kehadirannya dibutuhkan. Perasaan semacam ini tentu lumayan menyenangkan dirasakan bagi seseorang yang pernah merasa jadi ‘produk gagal’ karena salah mengambil jurusan.