Menulis cerita tentang keinginan-keinginan masa kecil tempo hari mengingatkan saya pada Bapak, terutama mengenai prinsipnya dalam mendidik anak-anaknya, ya termasuk saya. Rasanya mustahil saya bisa seperti sekarang ini tanpa pendidikan karakter yang ditanamkannya. Dan saya kira sampeyan semua juga merasakan hal yang sama.
Kapan hari itu saya ceritakan bagaimana Bapak sangat menomorsatukan keperluan buku-buku dan biaya sekolah. Dimana dalam keadaan finansial yang semi kere, otomatis hal itu dilakukan dengan mengorbankan kebutuhan yang lain. Contoh kebutuhan yang selalu dikesampingkan adalah the need of tampil keren. Padahal cukup menambahkan huruf N saja, maka kaum semi kere sudah bisa jadi keren. Hehehe, just joking.
Waktu masih SD dulu saya benar-benar sebel dengan kebijakan Bapak tersebut. Ketika itu saya sering ngedumel: kenapa sih bapak gak mau ngorbanin buku sekolah sekaliii aja, supaya bisa beli sepatu yang bagus? Dan ya, Bapak tak pernah goyah terhadap protes anak-anaknya.
Memprioritaskan Ilmu Pengetahuan daripada Urusan Penampilan
Dia selalu berusaha menanamkan dan mewariskan prinsipnya kepada kami, untuk selalu mendahulukan ilmu pengetahuan daripada urusan penampilan. Salah satu akibat dari pengejawantahan prinsip tersebut kami ndak bisa punya barang-barang keren yang sedang trend. Namun efek sampingnya kami jadi cinta buku dan suka mencari ilmu.
Saya baru bisa memaklumi prinsip Bapak itu ketika duduk di bangku SMA. Dan ketika kuliah saya benar-benar sudah manteb untuk menapaktilasi prinsip tersebut. Saya pikir Bapak bener juga. Biarpun saya gak pinter-pinter amat, namun dengan banyak membaca logika saya insyaGusti masih jalan lah.
Kembali ke urusan memprioritaskan ilmu pengetahuan,hasil dari upaya Bapak itu saya rasakan hingga saat ini, sekira 25 tahun setelah masa SD. Setidaknya ada 2 efek berantai yang saya rasakan. Pertama saya jadi hobi membaca, dan otomatis suka mengoleksi buku.
Untuk kalangan menengah (meneng, padahal terengah-engah) seperti saya, hobi mengoleksi buku ini tentu butuh perjuangan. Saya harus mengorbankan beberapa keinginan lain agar bisa membeli buku. Misalnya keinginan untuk nongkrong di cafe, pergi nonton ke bioskop, beli outfit yang lagi ngetrend, dan lain-lain.
Dan yang kedua, saya juga berusaha mewariskan prinsip tersebut ke anak-anak saya. Yah meskipun tidak seketat yang dilakukan Bapak dulu. Contohnya, saya selalu memprioritaskan agar anak-anak bisa membeli buku bacaan setiap bulan. Namun ketika suatu saat mereka kebelet banget ingin membeli mainan, saya masih bisa mengalah dan menurutinya.
Eh, ini bukan berarti saya menyalahkan orang tua lain yang punya prinsip berbeda lho ya. Bagi saya beda prinsip itu ndak masalah, asal jangan saling merendahkan. Misalnya Bapak saya yang gandrung ilmu pengetahuan tidak akan mencela mereka yang mengutamakan penampilan. Begitu juga sebaliknya, mereka yang mendewakan urusan penampilan tak selayaknya mencela para kutu buku.
Sudut Pandang yang Berbeda, Penampilan adalah Segalanya
Dari sisi yang berbeda, ada banyak orang tua yang memandang penampilan adalah segalanya. Saya ulangi lagi, ini juga sah-sah saja. Dengan sebuah catatan bold dan underlined, tidak merugikan orang lain.
Di era yang serba modern ini memang harus diakui bahwa cover is matter, urusan tampilan juga penting. Ada banyak orang yang rela merogoh kocek dalam-dalam agar bisa tampil wow. Dan ini bukan melulu monopoli kaum the have saja, Citayam walk adalah salah satu contohnya.
Nah berbicara tentang orang tua yang berprinsip seperti ini, saya punya pengalaman yang cukup membagongkan. Syahdan di sekolah tempat saya mengajar ada sekira 5 persen orang tua yang menunggak pembayaran buku anak-anaknya, bahkan ada yang tunggakannya sampai dobel 2 tahun.
Hal ini membuat saya penasaran untuk menelusuri latar belakang kemampuan ekonominya. Awalnya saya kira mereka dari kalangan semi kere seperti saya. Jika ini kenyataannya tentu saya akan memberi toleransi.
Namun dari observasi kasat mata, ternyata mereka –para penunggak tersebut- setiap harinya mengantar jemput putra-putrinya menggunakan mobil. Tentu dengan outfit yang serba trendy macam artis drama Korea. Sangat berbanding terbalik dengan tampilan saya, -gurunya- yang klumus-klumus dengan tunggangan motor tua tahun dua ribu dua.
Saya sih tidak menggeneralisir, nggebyah uyah kepada semua orang tua. Saya yakin parents yang seperti ini jumlahnya hanya segelintir. Namun tetap saja, menjumpai kenyataan seperti ini membuat saya tak habis fikri.