Ada sebuah pepatah hukum yang bilang bahwa “Politik itu harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.”
Prinsipnya jelas, kepentingan politik apapun harus patuh terhadap hukum. Prinsip ini sering dijadikan landasan etis dalam bernegara, bahkan menjadi kerangka hukum di berbagai negara, termasuk kecuali Indonesia.
Lalu, masih di Indonesia, muncul sebuah kisruh politik dan hukum yang tentu saja akan menjadi panjang dan berjilid, sebagaimana kisruh-kisruh sebelumnya.
Kisah ini berawal dari dua partai yang lebih baik tidak usah saya sebutkan namanya, yang mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Mereka menilai aturan ambang batas 25% perolehan suara untuk pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota terlalu tinggi.
Kedua partai ini berpendapat bahwa ambang batas yang tinggi akan menyebabkan masalah serius. Banyak partai yang memiliki hak untuk mencalonkan pemimpin daerah, tetapi tidak dapat mencapai ambang batas tersebut, sehingga mengakibatkan sedikitnya calon pemimpin daerah atau bahkan munculnya calon tunggal.
Padahal, satu esensi krusial dari demokrasi adalah kebebasan untuk memilih dan dipilih tanpa hambatan ambang batas yang begitu tinggi. Itulah sebabnya permohonan judicial review mereka masuk akal, karena ambang batas yang tinggi berpotensi menghalangi demokrasi.
Akhirnya, MK memutuskan untuk mengubah ambang batas menjadi 7,5% perolehan suara. Namun yang mengejutkan, DPR malah menolak keputusan MK ini. Padahal, kita semua tahu bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. DPR tidak punya hak untuk membatalkan keputusan MK dengan semangat politiknya.
Nah, inilah yang membuat saya sangat jengkel. DPR adalah pabrik pembuat undang-undang, sementara MK adalah bengkel perbaikan hukum. Jika ada undang-undang yang rusak, MK sebagai “mekanik” berhak memutuskan dan memperbaiki. Putusan MK adalah putusan hukum yang harus diikuti. Jika DPR ingin mengubah sesuatu, seharusnya mereka merancang UU baru dengan argumen yang sah atau mengamandemen tugas dan wewenang MK. Menolak putusan MK dengan alasan politik adalah tindakan yang tidak hanya tidak sah tetapi juga meremehkan prinsip dasar hukum.
Kalau DPR ingin membantah putusan MK, seharusnya mereka melakukannya dengan cara yang benar, bukan dengan tindakan yang sama sekali tidak relevan. Ini bukan hanya soal prosedur, tetapi soal nilai-nilai demokrasi dan kepentingan rakyat. DPR seharusnya memahami bahwa mereka adalah wakil rakyat dan bukannya menjalankan kepentingan politik sesaat.
Kalau DPR terus-menerus bersikap “bodo amat” terhadap putusan hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, lalu sebenarnya DPR mewakili siapa? Apakah mereka mewakili kepentingan rakyat atau hanya kepentingan politik mereka sendiri? Jangan sampai keinginan politik yang sempit mengabaikan prinsip dasar hukum yang seharusnya dijunjung tinggi.
Saya yakin dan percaya, permasalahannya bukan hanya soal ambang batas usia calon-calon pemimpin apalah itu. Tapi kalau hukum begitu gampang dianulir, diganti-ganti. Please, lah. Saya curiga besok-besok kalau ada cucu Presiden pingin jadi menteri, hari ini batas usia menjadi menteri bakal jadi 15 tahun. Aih, bodo amat, lah! Saya cari pengalaman dulu, biar bisa memenuhi syarat masuk kerja mumpung umur saya belum 21+.