Pabrik, rumah, kafe—tiga panggung kekerasan dan kemunafikan.
Pintu Neraka di Belakang Jam Kerja

I
Seorang manajer operasional meneleponku pagi-pagi sekali. Subuh sekitar jam 5. Kubiarkan saja. Bodo amat. Bukan atasanku.
Aku melanjutkan langkah susah payah menuju sumur. Menimba air, sesekali menepak nyamuk, dan menggosok sekujur tubuh.
“Punten!”
“Punten!”
Suara orang teriak dari depan rumah nenek berkali-kali kudengar agak kencang bunyinya. Aku terburu-buru membilas tubuhku, memakai handuk, dan berlari pelan di tangga batuan.
Dari sumur yang letaknya di bawah, aku menaiki rumah nenek. Masih dengan handuk, aku masuk saja dan untungnya si tua tukang marah itu membuka pintu.
“Punten, Mih. Bu Neng aya?”
“Duh, aya naon ieu teh?”
“Punten, eta di pabrik aya kajadian.”
“Kajadian naon?!” Mih histeris sekali.
Sebetulnya aku pun sama histerisnya dalam hati. Aku takut kalau kejadiannya adalah kecelakaan kerja. Namun jujur saja aku lebih takut berita karyawan kesurupan karena melihat pocong di tumpukan kapas.
Lalu sekarang, entah apa yang terjadi di shift malam tadi. Yang jelas aku harus cepat-cepat pakai baju dan berjalan ke pabrik yang letaknya tepat di sebelah rumah nenekku.
Laki-laki yang suaranya sudah kukenali sebagai kepala shift itu pun segera berjalan bersamaku. Dia tak banyak bicara. Aku semakin takut.
Di gerbang pabrik sudah banyak orang berkumpul. Karyawan shift malam dan warga sekitar. Beberapa teriak-teriak, mencaci-maki, dan berkumpul sambil berbincang panas.
Aku memotong kerumunan itu. Aku melihat tatapan orang-orang di gerbang pabrik itu mengarah padaku. Aku langsung masuk ke ruanganku yang ternyata sudah ada dua orang lain.
Mesin-mesin produksi berhenti, dan syukurlah aku tak melihat garis polisi atau apapun. Itu artinya tak ada yang celaka. Kepala shift mengikutiku masuk ruangan.
Di sana sudah ada manajer produksi, leader grup, dan empat orang karyawan shift malam. Dua laki-laki dan dua perempuan.
Aku pikir mereka terlibat pertikaian atau sesuatu, tapi belum sempat aku duduk,
“Tah, Bu! Mesum duaan di toilet pas jam istirahat!” kata Lia, leader grup yang sedang bertugas.
“Ku aing telepon weh pamajikanna! Puas tah disamperkeun! Arak weh Bu di jalan tah diarak weh!” Lia menjadi kompor dan aku bingung mendengarnya.
II
“Pa, di mana? Aku sama Pipin udah siapin ulang tahun kamu, lho. Kasihan dia nunggu Papanya.”
“Sebentar ya, Ma. Masih ada pekerjaan.”
Lelaki di seberang telepon melenguh sambil terdengar memukul orang.
“Cepat pulang, ya. Pipin gak mau makan kalau gak ada kam…” Lelaki itu menutup telepon meskipun istrinya belum selesai bicara
“Udah cukup, Pak?!” seorang tukang pukul bertanya kepada bosnya
“Sampai giginya copot empat, baru kita berhenti. Berani-beraninya jadiin mess tempat zina! Mana nelantarin anak-istri juga!” kata lelaki itu
Lelaki distributor sembako itu mencak-mencak dan terus memaki adik ipar sekaligus karyawannya itu.
“Sebagai kepala gudang, harusnya kamu malu!”
Dug! Bogeman kembali mendarat di pipi orang yang sudah babak belur.
“Kamu kerja buat siapa?!”
Dug!
“Kamu gak kasihan sama anak istrimu?!”
Dug!
“Kamu saya terima kerja di sini karena istrimu!”
Dug!
“Laki-laki memang bajingan, tapi kalau sudah jadi suami dan bapak, jangan berani macam-macam kamu!”
Dug!
Seseorang kembali menelepon lelaki itu
“Halo, Sayang? Aku udah di kamar hotel. Kamu masih kerja, ya?” seorang perempuan dengan suara lenjeh menyapanya di balik telepon
“Aku ke sana sekarang,” jawab lelaki itu sambil meninggalkan karyawan sekaligus adik iparnya yang balik dihajar anak-anak buahnya.
III
Para pengunjung cekikikan menertawan itu-ini. Dua-tiga orang pelayan kafe bulak-balik mengantar pesanannya.
Witwiw. Ti, boti.
Siulan demi siulan berbunyi dari tadi, mengarah ke seorang pelayan laki-laki. Pengunjung cekikikan lagi. Pemilik kafe itu berada di lingkaran yang sama dengan para pengunjung yang berisik.
Pelayan laki-laki itu sudah sangat tidak betah. Setelah mengantar minuman dan membereskan meja-meja yang lain, ia kembali ke meja kasir dan menceritakan hal gak mengenakan itu kepada teman perempuannya.
“Aku gak betah, deh.”
“Sama, aku juga. Aku tadi dibercandain sampai dicolek gitu pas lagi clearing. Gak nyaman banget.”
“Pada mabok kali ya tuh temen-temennya si bos?”
“Mabok gak mabok kalau kurang ajar mah kurang ajar aja! Lagian punya dunungan bukannya belain kita malah ikutan ketawa kita digituin.”
Lalu si pemilik kafe itu menghampiri mereka. Di tempat yang serba bising ini, rasanya memang tidak mungkin mendengar obrolan pegawainya tadi.
“Nambah minuman, Bos?” tanya karyawan lelaki
Pemilik kafe hanya diam sambil membuka cash drawer dan mengambil semua uang di sana.
“Nih, lu beliin amer aja sono ke Sidomuncul.” kata si Bos menyuruh karyawannya
Si karyawan perempuan melirik temannya itu. “Bos, maaf gaji kita masih kurang setengah yang bulan kemarin.”
“Nanti lagi aja, ya. Sekarang beliin amer dulu.”
IV
“Emang bener milik ya si Mamat, dapet doorprize gathering!” ucap Lelaki 1
”Iya, mantep bener dapet umroh.” Lelaki 2 menimpali
”Mantap apaan?! Mantap tuh HRD pusing!” Lelaki 3 membuka kotak rokoknya
”Hah? Kenapa tiba-tiba HRD?”
”Ya si Mamat ada-ada aja. Dapet umroh tapi yang diajak berangkat istri kedua, ketahuan deh poligami.” jawab Lelaki 3 sambil menghisap rokok.
Leave a Comment