Meskipun waktu nonton A Quiet Place: Day One ada banyak faktor x yang bikin saya kesal (penonton lain yang berisik dan muda-mudi cipokan), tapi Day One layak disebut bagus dan memuaskan.
Kita Gak Perlu jadi Siapa-Siapa buat Selamat
Sejak kemunculan film pertamanya, kita dilatih untuk gak bersuara waktu nonton film ini, dan disiplin tersebut terus berjalan sampai Day One ini. Karakter utamanya adalah Sam (dengan kucingnya tentu za). Seorang perempuan yang saya kurang tahu sakit apa tapi intinya si Sam ini udah legowo kalau pun dia harus meninggal karena sakit itu, lah. Ngomong-ngomong Sam ini seorang penyair. Jadi, basically karakter Sam ini memang dibuat seperti orang yang sedang menanti ajal.
Bapaknya Sam (almarhum) adalah seorang pianis jazz (yang kerjanya main di kafe-kafe seperti Wladek Szpilman dalam The PIanist). Dulu, Sam suka diajak Bapaknya ikut ke kafe, dan seperti kebanyakan masing-masing kita juga, Sam sangat suka jalan-jalan sendiri buat mengenang masa kecil dia dan Bapaknya. Pokoknya karakter Sam tuh kayak
“Bahkan di saat terakhir seperti kiamat ini, pokoknya gue akan menghabiskan waktu gue untuk mengenang sesuatu dan menjadi bahagia seolah gue hidup di momen itu!“
Jarang diperhatikan, tapi saya yakin bahkan ketika dunia sedang kacau, banyak diantara kita memilih menjadi seperti Sam.
Sam memang gak putus asa-putus asa banget, which means setiap dia dikejar alien itu dia masih berupaya untuk kabur dan lari. Sampai akhirnya dia ketemu sama Eric dan akhirnya mereka ini jadi teman berjuang gitu, lah. Itu pun gak gampang, si Sam sebelumnya pernah diikuti 2 orang anak dan Sam memilih buat nyuruh mereka berdua pergi pas lagi evakuasi. Sedangkan Sam tetap di kota itu. Di sini, kelihatan banget kalau Sam ini risih. Risih karena ya udah dia gak mau dibebanin sama siapa-siapa.
“Please, seekor kucing sudah cukup membebaniku.” begitulah kira-kira.
Pas ketemu Eric juga sebetulnya sama, Sam mati-matian buat ninggalin Eric karena dia gak mau diikutin. Dia betul-betul ingin berakhir di kota ini seorang diri dengan tenang tapi Eric berjasa bantuin Sam pas lagi kumat jadi ya udah lah, untuk sementara boleh kita ber-bestie.
Di film-film apokaliptik, biasanya tokoh utama adalah tokoh yang kuat, cerdas, bisa berantem, punya channel dengan pemerintah atau orang penting lah. Seolah-olah yang bisa bertahan dalam keadaan porak poranda adalah mereka yang punya privilege aja biar dijemput pakai helikopter pemerintah gitu~
Bukankah karakter Sam adalah kita? (ya kecuali kalau kamu anak orang DPR atau mafia tanah). Kita gak butuh jadi ilmuwan atau jadi ex militer rahasia buat selamat dari ancaman-ancaman lain. Kita cuma butuh sedikit keberuntungan dan hidup yang biasa-biasa saja.
Pun, kita akan habis-habisan menghabiskan tenaga dan waktu kita kembali ke tempat-tempat yang kita tuh pernah bahagia di sana. Bahkan di saat dunia lagi gak beres dan akan berakhir. Coba bayangin! Itu kan sangat real tapi jarang dibicarakan di film sejenis!
Banyak orang-orang putus asa yang ingin dunia cepat-cepat kiamat, dan saya tahu karakter Sam adalah satu diantaranya, tapi dia betul-betul memanfaatkan hari-hari terakhirnya dengan amat baik. Dia banyak nolong orang lain yang putus asa.
Kalau kalian perhatikan karakter Eric, sebetulnya Eric juga penggambaran karakter yang bingung, basah, kejebur, hampir gak selamat, penakut, selalu sesak dan panik. Menurut saya itu tanda, sih.
Di satu sisi, Sam adalah orang yang sudah tahu kalau hidupnya memang gak lama lagi dan bersenang-senang adalah hal yang perlu dia lakukan. Mengenang kebahagiaan adalah hal yang perlu dia lakukan sebelum mati tak berarti. Lalu dia mengamanahkan kucingnya ke Eric supaya Eric tetap hidup. Kucingnya seolah jadi harapan, jadi pengingat buat Eric melanjutkan hidup. Seolah jadi sesuatu yang diwariskan gitu, loh. Ih bagus pokoknya.
Semiotika Pesan Pembebasan Rasial
Di babak akhir film, saya gak menduga kalau Sam akan lari sambil membunyikan mobil-mobil (maksudnya biar Eric bisa lari dan pergi ke kapal evakuasi bersama dengan si meong). Eric berhasil lari, terjun ke air, dan berhasil naik kapal evakuasi bersama si meng yang sepanjang film dia tidak bersuara.
Nah, di sini ada satu scene yang nunjukkin kalau tangan si Eric ini ada di bawah (waktu dari air dia mau naik ke kapal), ditarik sama seorang laki-laki (berkulit hitam). Lalu saya baru ngeh, ada sesuatu yang lain di film ini. Begitu sampai di atas kapal evakuasi itu pun (mayoritas kulit hitam), Eric langsung ditenangkan dan diselamati,
“Udah, udah. Tenang, ya. Kamu aman, kok.”
Saya kira film sudah selesai, tapi kemudian Sam muncul di tengah jalan di kota dengan walkmannya yang mutar lagu Feeling Good. OMG! Barulah di situ saya sadar. Ya karakter Sam, ya Bapaknya Sam yang seorang pianis jazz, ya warna kulit dan aksi tolong-menolong, ya Feeling Good. Oke film ini memuaskan secara simbol.
Secara teknis, audio, Day One lebih kaya dari kedua film sebelumnya, sih. Suara petir, hujan, api, kayu terbakar, air, itu sangat disesuaikan dengan visual yang di zoom in–zoom out kan. Jadi kita bisa tahu gitu oh ketika dunia sepi dan kita bersuara tuh kita bisa jadi terancam, ya. Kayak siapa tuh? waduu~