Kita perlu memahami bagaimana mengeluarkan keraguan.
Pertimbangan Terus Mulainya Nanti Lagi: Kebiasaan Jelek Kita Semua

Tut, tut, tut —klik!
“Euy, kumaha?” Telepon diangkat bersamaan dengan hujan yang mendadak deras.
“Jadi moal?” kata Arki, menjawab pertanyaan Gilang, sohibnya yang sudah lima tahun tidak bertemu.
“Hah?” kata Gilang.
“Hah, kok ‘hah’ sih? Jadi moal?”
“Oh, jadi, jadi. Kalem, sabar, belokan dulu.”
“Oke. Urang sudah di lokasi, ya. Meja nomor delapan.”
“Oke. Nitip naon?”
“Biasa, garpit sebungkus.”
“Oke, lima menit.”
Klik- telepon ditutup. Sepuluh menit kemudian Gilang datang dengan celana jeans dan jaket biru favoritnya.
Salaman, pelukan, pertanyaan soal kesehatan, dan pernyataan rindu sudah ditunaikan. Mereka duduk berseberangan, mengambil sebatang, dan menyalakannya dengan satu korek yang sama.
“Kumaha bisnis kos-kosan di Kudus?” serobot Arki tanpa basa-basi.
“Biasalah, lagi masa-masa mahasiswa baru, jadi lagi penuh. Eh, jadi enggak pembahasan kopling, tea?”
“Kita kan udah rapat online enam bulan nih, rutin dua minggu sekali. Rapat terakhir pertemuan hari ini itu kan waktunya pengambilan keputusan. Mau diundur lagi?”
“Urang takutnya, Ki, kalau yang ini salah, kan modal kita pas-pasan, tanpa ada backing-an investor. Nanti kalau zonk, amblas semua.”
“Kan skemanya sudah rampung, Lang.”
“Itu dia masalahnya. Kayaknya urang masih bisa bikin skema yang lebih bagus lagi, deh. Soalnya ini kan hal baru bagi kita, jadi masih kurang data. Kita juga baru rapat dua belas kali, kan? Jadi kayaknya skemanya kurang yahud gitu. Kayak ada elemen-elemen yang belum kita lihat. Harusnya bisa kita tuh lebih dari ini.”
“Kita udah studi kasus, Gilang. Udah berkali-kali. Tinggal gas aja ini, biar implementasi jadi, kita bisa tes lapangan langsung.”
“Gimana kalau tambah rapat lagi, Ki? Baru bulan depan kita ambil keputusan?”
Begitu saja terus sampai 12 tahun kemudian.
Nah, obrolan di atas adalah contoh nyata dari analysis paralysis, kondisi psikologis ketika seseorang mengalami kesulitan mengambil keputusan karena terlalu banyak memikirkan berbagai kemungkinan, data, atau pilihan. Akibatnya, keputusan gak kunjung diambil atau tindakan tidak dilakukan sama sekali.
Kondisi ini bisa membawa banyak dampak buruk seperti menurunnya produktivitas, kelelahan mental dan kecemasan, melewatkan kesempatan berharga, menurunnya rasa percaya diri dalam mengambil keputusan, sampai stres dan frustrasi.
Seorang psikolog kognitif dan ekonom Amerika, Herbert Simon, dalam Bounded Rationality, menjelaskan bahwa manusia tidak memiliki kapasitas kognitif tak terbatas. Kondisi tersebut membuat manusia tidak mampu membuat keputusan sempurna karena keterbatasan proses berpikir dan informasi.
Sampai akhirnya kita akan membuat klasifikasi keputusan dan menggunakan istilah “keputusan yang cukup baik” (satisficing). Ketika kita mencoba menjadi terlalu rasional, kita justru bisa terjebak dalam kebingungan tanpa aksi.
Senada dengan itu, psikolog Barry Schwartz dalam Paradox of Choice bilang kalau semakin banyak pilihan yang kita miliki, semakin sulit dan melelahkan proses pengambilan keputusan—hingga menyebabkan ketidakpuasan atau bahkan kelumpuhan pengambilan keputusan (paralysis).
Sesimpel kita jalan-jalan ke IKEA untuk beli sofa, tapi di sana kita disuguhin sama banyak banget pilihan. Yang satu, modelnya kita suka banget tapi warnanya kurang suka. Yang satu lagi, warnanya lucu tapi modelnya terkesan norak buat kita, ada juga yang lain secara model dan warna udah bagus, tapi ah mahal teuing. Kira-kira seperti itu lah.
Di dunia digital yang serba cepat ini, kita dihujani banyak sekali informasi dan seakan-akan dipaksa untuk bisa mengolah big data dalam waktu cepat. Tanpa ngasih batasan yang jelas ke diri sendiri. Kita terus menambah pilihan dengan dalih membuat sesuatu yang paling sempurna, paling relevan, dan paling orisinal, tanpa menyadari bahwa kita sebenarnya sedang mengubur diri sendiri dalam pilihan tanpa akhir.
Endingnya kita ngerasa lumpuh dan semakin hari semakin tidak puas dengan keputusan yang kita ambil.
Dalam bukunya The Psychology of Doing Nothing, Anderson juga menjelaskan mengenai Decision Avoidance Theory, yang bilang kalau terlalu banyak pilihan, maka semakin banyak juga pikiran terhadap konsekuensi negatif, akhirnya bisa menyebabkan individu menghindari keputusan sama sekali. Jadi teu meuli nanaon tea di IKEA siga tadi.
Sering banget kejadian, kan? Nah yang kaya gitu-gitu tuh bisa terjadi karena kita merasa tertekan oleh risiko atau tanggung jawab dari keputusan itu sendiri. Hubungannya nanti sama “keputusan yang cukup baik” (satisficing) tadi.
Ada sebuah kalimat gini bunyinya
“Gak ada yang baru di bawah langit biru”
Nah, kalimat itu tepat banget buat menggambarkan bahwa yang kita lakukan saat ini hanyalah mengembangkan yang sudah ada. Mencari sesuatu yang betul-betul orisinal sebenarnya hanya membuang-buang waktu.
Terus, kalau telanjur, gimana dong?
Okay, ada beberapa cara yang bisa kita coba agar keluar dari lingkaran setan ini:
- Batasi waktu untuk berpikir (misalnya: ambil keputusan dalam 24 jam).
- Batasi jumlah opsi yang dipertimbangkan.
- Prioritasin informasi penting, bukan semua informasi.
- Terapkan prinsip “cukup baik” daripada menunggu yang sempurna.
- Gunakan metode seperti matriks keputusan atau daftar pro dan kontra.
- Kenali bahwa rasa takut berasal dari emosi, bukan logika.
Jadi, lain kali teman-teman kewalahan saat harus mengambil keputusan, segera ambil pulpen dan secarik kertas. Mulailah menuliskan cara-cara di atas satu per satu agar mempermudah menyaring pilihan yang akan dipertimbangkan dan menumbuhkan keyakinan terhadap keputusan yang diambil.
Saya lebih suka begini tentu saja. Misal, si Sayang sedang ingin ke Wiskul karena dia ingin jajan, tapi gak tau ingin jajan apa. Yang jelas, dia ingin makan dan kenyang. Lalu pergilah ke Wiskul. Di sana, emang banyak banget jajanan sampai si Sayang bingung. Bulak-balik gak jelas barijeung can meunang hiji-hiji acan eta jajanan teh.
Lalu daripada balik lagi dengan perut kosong, dia milih beli cilok yang gak tahu itu enak atau enggak, ngenyangin atau enggak, isiannya daging apa, gak ada yang tahu. Tapi akhirnya dia beli itu. Risikonya kan cuma 2. Dia suka dan kenyang atau dia gak suka dan gak kenyang. Ya meskipun bisa jadi juga dia kagelong dan malah menyebabkan tersedak sampai trauma makan cilok misal. Ya bisa aja. Semua kemungkinannya harus ditampung dulu, kan?
Tapi setelah makan ciloknya “Oh ternyata enak.” ya beres lah tuh persoalan lapar dan ingin makan itu. Kalaupun ternyata ciloknya gak enak, ya sudah. Tinggal lanjut cari jajanan lain. Kan begitu.
Ya meskipun mengambil keputusan lain tidak sama dengan persoalan beli cilok, tapi intinya gitu lah. Kita harus coba dulu sesuatu itu untuk tahu. Jangan pernah takut, siga nu tara pernah gagal wae!
Berhenti nunda-nunda keputusan, dan go on! Cobain aja apapun itu (dalam hal progresif, ya).
Oh ya, saya suka sekali dengan kutipan dari Mark Zuckerberg ini setiap kali saya ragu-ragu:
“Ideas don’t come out fully formed, they only become clearer as you work on them. You just have to get started.”
Jadi, intina mah mulai heula weh! Da mun loba teuing mikir mah iraha mulaina? Kalau gagal ya sudah, cobain lagi pakai cara yang lain.
Leave a Comment