United Nations Educations, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) 2012 menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua terbawah literasi dunia. Hanya 0,001% yang berarti hanya 1 dari 1.000 yang rajin membaca.
Rendahnya minat baca masyarakat sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. Sebab dengan minat baca yang rendah, pengetahuan masyarakat di negara tersebut juga rendah sehingga tidak bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di dunia. Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan unggulnya sumber daya manusia di negara tersebut. Salah satu upaya meningkatkan keunggulan tersebut dengan menumbuhkan budaya baca sebagai kebutuhan sehari-hari sebagai upaya melengkapi kemampuan dasar literasi.
Kenapa minat baca masyarakat masih rendah? Mungkin ya ini mah mungkin~ Pertama, kurang kebiasaan atau budaya membaca sejak dini. Anak selalu mengikuti kebiasaan para orangtua. Peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya nampak tak maksimal dilakukan. Namun bagaimana dengan perempuan yang jangankan wajib belajar 9 tahun, jika sekolah dasar saja tidak lulus? Apakah harus menyalahkan perempuan? Tentu tidak, karena bisa saja dulunya sekolah itu mahal, karena faktor ekonomi keluarga tersebut tak mampu mengakses pendidikan.
Kedua, akses dan fasilitas pendidikan belum merata. Sudah sering kita membaca dan mendengar berita mengenai banyak anak yang putus sekolah, kegiatan belajar mengajar tidak mendukung, dan panjang juga rumitnya rantai birokrasi dalam dunia pendidikan. Selain itu masyarakat harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membeli buku yang diminatinya dan hal-hal tersebut yang menghambat literasi.
Lalu solusi apa yang bisa kami lakukan untuk mengatasi rendahnya minat baca? Untuk faktor pertama harus ditumbuhkannya paradigma membaca sebagai sebuah kebiasaan. Caranya dengan menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. Seperti halnya makan dan minum yang merupakan kebutuhan pokok, maka harus ditumbuhkan kebutuhan membaca. Jika tidak makan dan minum akan terasa lapar, seharusnya jika belum membaca juga akan terasa ada sesuatu yang kurang. Contoh kecilnya dalam keluarga para orangtua membacakan sebuah buku atau cerita biasanya dilakukan sebelum tidur. Karena dari hal kecil semacam ini menjadikan sebuah karakter yang kuat bagi anaknya nanti.
Untuk mengatasi faktor kedua tentang terbatasnya akses dan fasilitas perlu kerjasama dari banyak pihak. Dari pihak pemerintah pusat penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dengan memberikan perhatian lebih besar pada daerah tertinggal dan terluar. Dari pihak pemerintah daerah melakukan program pelatihan dan pendampingan perpustakaan untuk sekolah-sekolah dengan didampingi oleh tenaga ahli. Sedangkan dari pihak sekolah yaitu dengan terus meningkatkan kesadaran pentingnya pendidikan kepada masyarakat sehingga akses dan fasilitas yang diberikan bisa dimanfaatkan dengan baik. Alangkah baiknya bagi para orang bersama-sama memberikan buku secara gratis kepada masyarakat, sebab bisa saja faktor ketertinggalan karena kekurangan buku.
Lenang Manggala, pendiri Gerakan Menulis Buku (GMB-Indonesia) yang telah membantu lebih dari 200.000 akademisi untuk menulis dan menerbitkan buku, menyatakan, “Penguatan budaya literasi adalah kunci memajukan negeri.” Terinspirasi dengan kutipan tersebut dan selaras dengan keresahan akan kondisi literasi di Indonesia, kami menginisiasi lahirnya Perpustakaan Jalanan “Baca Kami” yang bergerak di bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan literasi.
Mengusung slogan ”Kami Perlu Dibaca”. Slogan tersebut sederhana namun sedikit menusuk. Karena umumnya orang mempunyai jiwa menimbun. Misalnya saat sebuah buku sedang menjadi trending topic, banyak orang berlomba-lomba membeli buku tersebut. Juga ketika sedang ada pameran buku murah, kebanyakan pengunjung memborong buku-buku.
Akan tetapi apakah semua buku tersebut dibaca pemiliknya? Seringkali sebagian buku hanya menjadi tumpukan sampah yang semakin lama semakin usang. Padahal sejatinya membeli buku tanpa membacanya adalah sama seperti membeli buah-buahan lalu membiarkannya membusuk. Buku juga bisa ‘membusuk’ dalam arti lama tak terjamah, usang, berdebu, dan bisa rusak dimakan rayap. Meskipun demikian niat membeli buku sudah baik dan perlu disyukuri, tinggal meningkatkan minat baca dan memanfaatkan buku tersebut.
Gerakan “Baca Kami” bermula dari keinginan untuk berbagi buku-buku yang beberapa di antaranya merupakan koleksi pribadi, dengan catatan mesti dibaca di tempat. Ketidakegoisan menyimpan ilmu, pengetahuan dan pengalaman, yang ada dalam buku tersebut untuk sendiri. Keinginan berbagi dengan menyediakan lapak baca gratis untuk membaca buku bersama-sama, dan sharing hal-hal kecil.
Apa yang dilakukan tentu tidak menyelesaikan masalah literasi di Indonesia. Setidaknya belajar mengambil peran dengan melibatkan diri dalam proses menumbuhkan minat baca di seluruh lapisan masyarakat. Membaca keadaan harus segera dilakukan.
Setidaknya situasi yang terbaca lebih jujur dalam segala ketidakmampuan mampu melahirkan berbagai kreativitas baru. Tetap semangat meski dalam keterbatasan.
*) Pendiri Perpustakaan Jalanan “Baca Kami”, pegiat literasi, organisasi dan komunitas.