Sebelum Anda melanjutkan membaca tulisan ini, izinkan saya menegaskan sesuatu yang sangat penting: tidak ada pesan moral yang terselip di dalamnya. Tidak ada hikmah, tidak ada pencerahan, apalagi manfaat seperti yang sering diharapkan dari tugas-tugas mahasiswa semester akhir.
Ini hanyalah luapan kegabutan seorang manusia biasa, seperti daun kering yang melayang tanpa arah di tiupan angin. Barangkali tak ada yang benar-benar memedulikannya, tapi toh ia tetap bergerak.
Semua bermula pada tanggal 7 Januari 2025 lalu. Kabar itu datang dengan cara yang sulit dipercaya, seperti hujan deras yang tiba-tiba mengguyur sawah retak di musim kemarau—tanpa peringatan, tanpa awan gelap. “Pernikahan Ahmad Farid dan Sabrina Al-Kautsar,” begitulah bunyi pesan di grup WhatsApp yang sebenarnya sudah saya sembunyikan di Archived.
Saya membaca nama itu dengan perlahan, mencoba mengingat siapa sebenarnya Farid ini. Oh, ya, lelaki yang sesekali saya temui di acara kumpul-kumpul, orang yang interaksinya dengan saya sebatas basa-basi, seperti ritual tradisional orang Jawa yang tak pernah absen dari senyum sopan dan obrolan tanpa makna.
Namun, saat itu kabar tentang pernikahannya hadir, menghantam grup WhatsApp seperti kerikil kecil yang dilemparkan iseng ke permukaan kolam. Riak kecil itu, meskipun tidak berarti, tetap menyebar.
Perspektif Generasi Milenial
Tentu, tidak ada yang aneh dengan kabar pernikahan, apalagi di usia Farid yang sudah melewati kepala tiga. Namun, di zaman ini, keputusan untuk menikah bukan lagi sesuatu yang sederhana. Generasi kami, generasi milenial, hidup di era di mana pernikahan adalah tantangan besar, hampir seperti lari maraton dengan beban di punggung.
Banyak dari kami yang merasa ragu, takut, atau bahkan enggan mendekatinya. Dunia telah berubah; komitmen tidak lagi menjadi tujuan akhir, melainkan sesuatu yang dipandang dengan hati-hati, penuh keraguan.
Entahlah, bagi Farid, mungkin ini hanyalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui. Namun bagi yang lain, terutama mereka dan saya sendiri tentu saja yang masih bertahan dalam status lajang, pernikahan adalah sebuah fenomena yang terus diperdebatkan, baik di ruang privat maupun ruang publik.
Kompleksitas Pernikahan di Era Modern
Di titik ini, mari kita bahas, apa sebenarnya yang membuat pernikahan menjadi begitu rumit? Sebagai seseorang yang cenderung melihat dunia melalui kacamata marxisme—meskipun kacamata itu terkadang buram—saya merasa bahwa kapitalisme punya peran besar dalam mengubah pernikahan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Pernikahan, yang dulunya adalah upacara sederhana untuk merayakan cinta, kini telah berubah menjadi sebuah industri raksasa yang penuh jebakan. Mulai dari prewedding yang harus terlihat mewah, hingga wedding organizer yang menawarkan paket-paket dengan harga yang membuat kepala pening.
Semua itu membuat pernikahan menjadi lebih mirip Proyek Strategis Nasional daripada perjalanan emosional.
Data statistik semakin memperkuat pandangan ini. Lembaga Survei Populix pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 55% orang Indonesia menunda pernikahan atau tidak merasa perlu terburu-buru. Hanya 19% yang berencana menikah dalam waktu dekat, sementara sisanya, sebanyak 26%, memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.
Itu hanya sebagian kecil dari kenyataan. Data dari BPS bahkan menyebutkan bahwa dari 65 juta pemuda Indonesia, 64,56% di antaranya masih berstatus lajang. Sejumlah manusia yang jika dibariskan dengan kerapatan satu meter maka akan membentang 45 ribu kilometer panjangnya, sebuah barisan yang melebihi luas keliling planet bumi ini yang hanya 40 ribu kilometer.
Beban Tradisi dan Budaya
Namun, masalah rumitnya pernikahan juga bukan hanya terletak pada biaya. Ada beban tradisi yang tak kalah berat. Di banyak tempat di Indonesia, pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga, dua budaya, dan bahkan dua sistem nilai.
Restu orang tua, mahar, dan segala macam ritual adat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses ini.
Di Bugis, ada uang panai yang sering kali membuat seorang pria harus menabung bertahun-tahun atau bahkan memilih membujang selamanya.
Di Minang, perempuan justru harus menyediakan mahar melalui tradisi japuik. Di berbagai daerah lain, ada tetek bengek tambahan seperti gedung, katering, atau organ tunggal yang suaranya lebih keras daripada doa pengantin.
Semua itu membuat pernikahan terasa seperti pendakian yang nyaris mustahil bagi banyak orang.
Kesederhanaan yang Menyentuh
Di tengah segala kerumitan itu, Farid tampak seperti antitesis. Saya akhirnya memutuskan untuk menghadiri acara pernikahannya, meskipun dengan ekspektasi yang rendah. Perjalanan ke Wanayasa membawa saya ke sebuah masjid kecil di pinggir jalan raya.
Dengan Vespa biru yang sudah rewel sejak beberapa bulan terakhir, saya tiba di lokasi dengan uang receh yang sebelumnya sudah saya tukarkan di Alfamart. Rencananya, saya ingin menyawer di acara dangdut, jika memang ada. Tapi yang saya temukan di sana jauh dari bayangan saya.
Masjid itu sunyi. Di luar, kursi-kursi plastik berbaris rapi, tetapi kosong, seperti menunggu tamu yang tak pernah datang. Di dalam, suasananya tidak jauh berbeda. Para tamu bisa dihitung dengan jari—termasuk jari kaki.
Saya mengenal lima orang di sana, itupun lebih karena kebetulan pernah satu meja di warung kopi. Tidak ada suara dangdut, tidak ada sorakan. Hanya doa yang dilantunkan dengan nada pelan, hampir seperti bisikan.
Farid berdiri di tengah ruangan, mengenakan pakaian sederhana yang warnanya terlalu netral untuk sebuah acara pernikahan. Senyumnya kecil, namun bagi masyarakat milenial yang belum menikah, senyuman itu terasa seperti sindiran. Di saat itu, saya menyadari sesuatu yang aneh. Di tengah kesederhanaan yang nyaris absurd ini, ada kedamaian yang sulit dijelaskan.
Barangkali Farid telah menemukan caranya sendiri untuk melampaui tekanan dunia ini. Mungkin ia hanya tidak peduli.
Apa pun alasannya, satu hal yang pasti: Farid telah menciptakan dunianya sendiri, sebuah ruang kecil di mana logika dan ekspektasi tidak lagi menjadi penguasa. Melihat itu semua, untuk pertama kalinya, saya merasa iri.
Oh iya, maaf, saya lupa memberikan amplop buat Farid.