“Kau gak akan melihat apapun di matanya. Kalau Tuhan menciptakannya sesuai dengan cara ia hidup, maka kau akan lihat kepala penis yang ada di atas lehernya, alih-alih mukanya. Bayangkan, kau bisa tahan melihat makhluk seperti itu hilir mudik tiap hari di depanmu?”
Aku nyengir kuda. Membayangkan setiap perempuan bicara pada kami, dengan memandang ke arah selangkangan. Membayangkan antar laki-laki bicara dari selangkangan ke selangkangan.
“Kau laki-laki, tahunya cuma nyengir saja.”
Aku nyengir lagi. Habisnya dia lucu.
“Halo dokter, aku sakit kepala,” katanya sambil menengok ke pangkal pahanya sendiri.
“Nyengir melulu. Ngomonglah sedikit, bukankah kau selalu menulis di blogmu yang sepi itu?”
Aku cuma menulis cerita-cerita yang bahkan tidak dia baca. “Kau baca isi blogku?” tanyaku.
“Aku tidak tertarik isi omongan semua laki-laki. Kalian cuma tahu menjadikan kami alat untuk menumpu kelemahan kalian sendiri. Nyengir lagi, kan?”
“Maaf.”
“Buat?”
“Aku pasti pernah ngelakuin sesuatu yang bikin kamu marah. Kasih tahu aku kali ini mesti minta maaf buat apa?”
“Ngapain minta maaf kalau gak tahu kesalahanmu?”
“Kau benar. Tapi, aku nggak ngerti.”
“Kamu ngerti kok.”
“Baiklah. Aku ngerti.”
“Bagaimana kencanmu kemarin?”
“Seperti biasa.”
“Kau berharap apa memangnya?”
“Aku berharap ia berhenti pura-pura menginginkanku.”
“Apa kau tak pernah pura-pura menginginkan seseorang?”
“Kau harusnya menanyakan itu ke selangkanganku.”
Kali ini dia yang nyengir.