Profil Singkat
Pernah nggak sih kamu merasa kosong, seperti ada yang kurang, tapi kamu sendiri nggak tahu apa? Nah, Dani Ramdani atau yang akrab disapa Ubed—penulis novel Isi Penuh Segelas Kopi—juga pernah ada di fase itu. Dari kecil nggak suka baca, tapi akhirnya suka, dan jadi penulis. Dari yang awalnya menulis karena ikut di komunitas sastra online, sekarang malah menerbitkan novel beneran.
Dalam wawancara ini, Ubed berbagi cerita tentang perjalanan menulisnya yang unik, inspirasi di balik novelnya, hingga perenungan yang membuatnya yakin bahwa menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi juga menyampaikan pesan moral.
Penasaran dengan novel terbarunya yang punya nuansa spiritual? Atau ingin tahu lika-liku seorang anak muda dari Cibatu yang akhirnya menemukan jalannya lewat tulisan?
Yuk, simak obrolan lengkapnya di bawah ini:
Bro, bisa cerita sedikit dulu kali tentang diri lo?
Nama gue Dani Ramdani, tapi biasa dipanggil Ubed. Gue lahir di Purwakarta, 13 Desember 1999, tepatnya di daerah Cibatu. Sekarang masih kuliah di STAI Bekasi, jurusan S1 Hukum Ekonomi Syariah, konsentrasi Fikih Muamalah.
Dulu waktu kecil lo suka baca atau apa nih sampe jadi penulis kaya sekarang?
Dari kecil sih gue nggak suka baca. Minat baca baru muncul setelah lulus MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dan gabung di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Sejak saat itu, gue jadi rajin baca, awalnya novel fiksi kayak karya Tere Liye. Sekarang lebih suka sastra spiritual, misalnya karya Kuntowijoyo.
Ada salah satu tulisannya yang berkesan buat gue: Maklumat Sastra Profetik. Salah satu bagian ceritanya menggambarkan seorang tokoh yang awalnya memandang rendah orang-orang yang sibuk dengan urusan duniawi.
Tapi dalam perjalanannya, dia justru diuji ketika harus menolong anak kecil menyelamatkan seekor burung, sampai akhirnya terlambat salat Jumat, dan ia pun beribadah salat Dzuhur akhirnya.
Itu jadi refleksi bahwa hidup nggak melulu soal ibadah personal, tapi juga keseimbangan hubungan dengan sesama manusia.
Kapan pertama kali sadar kalau lo suka nulis?
Gue mulai tertarik nulis sekitar umur 19 atau 20 tahun. Awalnya karena “terpaksa” ikut komunitas Saresehan Sastra Indonesia yang gue temuin di Instagram. Mereka punya grup WhatsApp buat diskusi dan berbagi tulisan. Nggak tahu deh, sekarang masih ada atau nggak.
Gue mulai dari nulis cerpen, terus coba bikin novel online. Waktu itu, walaupun tulisan gue masih kurang bagus, komunitasnya suportif banget. Mereka bangga dengan karya masing-masing, dan itu bikin gue makin semangat nulis.
Dulu mulai nulis dari mana? Blog? Jurnal pribadi? Atau langsung coba bikin cerita?
Dulu gue nulis di Word aja: bikin cerpen dan puisi, sampai akhirnya beberapa puisi gue masuk ke antologi yang diterbitin bareng penulis lain. Keuntungannya disumbangin buat kegiatan kemanusiaan. Itu sekitar tahun 2020, dan pesertanya dari seluruh Indonesia—lebih dari seratus orang. Senang banget bisa ikut project itu.
Tantangan menulis lo gimana sejauh ini?
Tantangan terbesar sih di membangun plot dan karakter. Inspirasi biasanya gue cari dengan jalan-jalan, misalnya dari Cibatu ke Subang, Lembang, atau Karawang. Kadang juga ngobrol sama orang-orang di perjalanan.
Begitu dapet inspirasi, langsung gue catat dan bikin kerangka cerita, biar alurnya nggak berantakan. Karena kalau kita udah tahu ending-nya, tapi plotnya nggak nyambung, bakal ribet sendiri pas ngedit.
Siapa penulis yang bikin lo dapet inspirasi terjun ke dunia kepenulisan?
Setiap penulis yang gue baca pasti ngasih inspirasi. Salah satunya Eka Kurniawan, terutama dari novelnya yang berjudul O. Dari karyanya, gue belajar pentingnya membangun berbagai sudut pandang, jadi nggak cuma fokus ke tokoh utama, tapi juga karakter lain. Ini bikin cerita lebih hidup dan bikin kita lebih berempati sama berbagai perspektif.
Oh iya, selamat atas terbitnya novel baru! Bisa cerita sedikit tentang buku ini?
Isi Penuh Segelas Kopi adalah novel yang bercerita tentang perjalanan spiritual Amir, seorang pemuda yang merantau ke Jakarta dengan idealisme bahwa uang adalah segalanya. Dia bertengkar dengan ayahnya yang hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada.
Lima tahun di Jakarta, Amir merasa kosong. Sampai suatu hari, ibunya menelepon, memberi tahu bahwa ayahnya sekarat. Pulang ke kampung halaman, Amir menerima pesan dari ayahnya untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongannya. Perjalanan ini yang jadi inti cerita novel gue.
Ada genre atau tema tertentu yang lo tonjolkan di novel ini?
Gue terinspirasi dari buku Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Novel ini mengangkat tema perjalanan spiritual. Gue juga mulai serius menulis novel setelah teman gue di Jakarta nanya, “Lo nulis buat apa sih?”
Sejak itu, gue baca buku-buku yang membahas sejarah Islam dan kondisi sosial saat ini. Gue sadar, banyak akademisi yang cuma nyodorin data dan masalah, tapi nggak banyak yang bisa menyampaikan ide lewat cerita. Gue ingin menulis dengan menyajikan permasalahan nyata dan pesan moral yang kuat. Karena selain itu, iya sebuah karya hanya akan mendapatkan pujian atau hujatan.
Tantangan terbesar saat nulis novel ini apa?
Karena novelnya terinspirasi dari pengalaman pribadi, gue butuh waktu sekitar satu tahun buat menyelesaikannya. Ada rasa lega karena target gue tercapai, tapi di sisi lain, muncul beban baru: “Abis ini nulis apa lagi?”
Buku ini lebih cocok buat siapa?
Menurut gue, ini buku buat siapa saja yang lagi mengalami perjalanan spiritual, terutama buat pembaca berusia belasan sampai 30-an tahun.
Apa harapan lo terhadap pembaca setelah mereka selesai baca novel ini?
Gue harap mereka bisa dapet hikmah dan pelajaran dari kisah ini.
Ada pesan buat pembaca karya lo?
Gue pengen bilang bahwa kisah ini bukan cuma soal tokoh utama. Ada dua sudut pandang dalam novel ini. Amir mewakili pola pikir deduktif—belajar hidup dari teks, sementara Farhan lebih induktif—mengambil pelajaran dari pengalaman dan fenomena sekitar.
Jadi, bagaimana pun cara berpikir lo, jangan merasa lebih rendah atau lebih tinggi dari orang lain. Semua orang punya cara masing-masing buat memahami hidup.
Oh iya, novel lo ini dipublikasikan oleh penerbit apa?
Novel ini diterbitkan oleh Antariksa Publishing.
Bang, kalo ada yang pengen mesen buku lo, bisa menghubungi ke mana?
Buat yang mau beli buku gue, bisa pesan lewat akun Instagram antariksadotcom dengan cara DM.