Oday Ingin Jadi Anjing adalah cerpen pertama saya yang bisa dibilang lumayan normal. Tentu bukan bermaksud membully cerpen-cerpen sendiri yang ditulis sebelumnya. Bagaimanapun juga, cerita-cerita yang saya tulis ketika masih berseragam putih biru itu tetap layak dianggap sebagai sebuah karya meskipun kini tak tahu di mana rimbanya.
Ya, saya mulai belajar menulis sejak duduk di bangku SMP. Eh sebenarnya di akhir jenjang Sekolah Dasar pun saya sudah mulai menulis, sih … tapi saya memutuskan untuk tidak menganggapnya sebagai “menulis” karena metodenya yang bisa dibilang cukup unik. Sila disimak dan dipraktikkan juga jika memang dianggap memungkinkan, ya!
Saya ulangi, metode belajar menulis yang saya lakukan memang bisa dibilang cukup unik bahkan cenderung aneh. Saya mulai tertarik menulis sejak membaca cerpen salah satu kakak kelas yang kala itu baru mulai puber dan gemar menulis kisah-kisah romantis. Saya membaca cerpen itu berulang-ulang sampai benar-benar hafal setiap kata yang ada di dalamnya. Bermodal hafalan itu, saya tulis ulang di buku milik saya sendiri (benar-benar ditulis tangan menggunakan pulpen di buku tulis). Kala itu saya benar-benar ingin memamerkan kepada teman-teman sekelas bahwa saya sudah bisa menulis cerita. Tapi saya urungkan karena saya tahu diri kalau tulisan itu bukanlah karya saya.
Bermodal keinginan pamer itu lah, saya kemudian mulai mengotak-atik cerpen si kakak kelas, dimulai dari mengubah nama tokohnya, mengganti penyebab kematian si tokoh (cerita si kakak kelas berkisah tentang sepasang kekasih yang harus berpisah karena si lelaki tewas dalam sebuah kecelakaan), hingga akhirnya mulai bereksperimen membuat cerita sendiri. Cerita yang benar-benar saya hasilkan dari imajinasi sendiri itulah yang akhirnya saya pamerkan ke teman-teman dan syukurnya mendapat respons yang saya harapkan: pujian.
Masuk SMP, takdir membawa saya bertemu dengan sekelompok anak manusia yang juga sama-sama suka berkhayal. Kami lalu membentuk sebuah geng yang diberi nama Pescom yang merupakan singkatan dari Pesek Community (tentu tak perlu dijelalskan kenapa namanya demikian, kan?). Bermodal sama-sama suka berkhayal dan sama-sama Smashblast (fans Smash), kami mulai menulis cerita roman picisan khas anak baru puber yang setelah saya ingat-ingat, cerita yang kami tulis mirip cerita-cerita AU zaman sekarang yang banyak bertebaran di Twitter.
Karena kami semua adalah Smashblast, cerita yang kami tulis pun berkisar soal kisah para personel favorit kami. Ada yang menulis soal Rafael jatuh cinta pada gadis yang membantunya menemukan tambal ban terdekat, hingga soal Ilham dan Reza yang jatuh cinta pada gadis yang sama yang mereka temui saat main di kali ketika berlibur ke desa. Sangat aneh? Memang! Tapi dulu kami merasa sangat keren. Untuk menciptakan ilusi bahwa kami adalah penulis yang sudah beken, cerita-cerita itu kami tulis tangan menggunakan pulpen di buku yang sudah kami potong sedemikian rupa seukuran novel pada umumnya.
Sayangnya, sistem pendidikan di negeri ini memaksa kami untuk naik kelas dan akhirnya berpisah. Kami pun saling menemukan teman baru dan rutinitas Pescom Menulis pun akhirnya hiatus tanpa batas waktu. ‘Karya’ yang sudah tercipta pada akhirnya berakhir seperti kebanyakan buku tulis kami lainnya ; dikilo oleh ibu masing-masing ke tukang rongsok yang sering lewat membawa gerobak.
Tapi untungnya kesukaan saya pada kegiatan menulis tetap berlanjut. Tentu masih soal cerita-cerita romantis a la anak manusia yang menganggap hidup di dunia hanya soal menemukan cinta sejati. Hasrat untuk menjadi penulis cerita romantis pun semakin menggebu-gebu setelah membaca karya-karya Kahlil Gibran dan majalah Story yang dibawa pulang dari kota oleh si kakak kelas yang ceritanya menjadi inspirasi buat saya mulai menulis.
Mazhab tulisan saya kemudian mulai berbelok ketika dipercaya oleh sekolah untuk ikut di lomba menulis cerpen tingkat kecamatan dan berhasil finish sebagai juara 2. Waktu yang terus bergulir pun kemudian membawa saya menemukan kumcer Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Saya langsung jatuh hati pada tulisannya yang sangat ndesosentris dan entah kenapa semakin cinta mati setelah mengetahui beliau adalah orang Jatilawang; sebuah kecamatan di wilayah Banyumas yang merupakan tetangga Cilacap tempat kelahiran saya.
Menginjak jenjang Madrasah Aliyah, saya mulai mencari tahu karya-karya beliau yang lain dan semakin tergila-gila. Hingga pada suatu hari, saat datang ke ruang BK selepas ujian nasional, saya tak sengaja menemukan cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis karya beliau yang dimuat di sebuah surat kabar. Keinginan untuk meniru tulisan beliau pun muncul, persis seperti ketika saya membaca cerpen salah satu kakak kelas di masa SD dulu.
Tentu kala itu saya tak lagi mengingat-mengingat seluruh cerita seperti sebelumnya. Saya hanya mengingat gagasan besarnya tentang seorang pengamen cilik yang membaca papan berisi Perda tentang larangan mengemis yang baru saja dipasang oleh seorang hansip. Saya pun memulai pencarian pasal-pasal di UUD 1945 yang menurut saya menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita dan melabuhkan pilihan pada pasal 34 (silahkan cari tahu sendiri bagaimana bunyinya). Ide inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Oday Ingin Jadi Anjing. Tapi tentu prosesnya tak semulus itu, wahai umat manusia!
Ide yang muncul tak kunjung dieksekusi hingga saya masuk kuliah. Baru ketika bermaksud untuk menjadi anggota dari Lembaga Pers Mahasiswa di fakultas, ide itu saya eksekusi. Hasilnya kemudian saya serahkan dalam bentuk hardcopy kepada panitia recruitment dan tak pernah saya publikasikan di manapun hingga akhirnya dokumen itu hilang tanpa jejak setelah laptop saya raib digondol pencuri.
Oday Ingin Jadi Anjing yang secara teknis adalah cerpen pertama saya yang lumayan serius (bukan lagi khayalan gemoy anak baru gede yang ngebet jatuh cinta pada artis favoritnya) perlahan terlupakan. Iklim dunia kuliah yang sok keras pun memaksa saya untuk menulis sedikit lebih keras. Protes-protes dan keresahan pribadi dituangkan dalam bentuk yang lebih sok akademis macam esai dan yang lainnya. Tapi pada akhirnya, kecintaan saya pada penulisan fiksi lah yang menang.
Saya kembali menulis cerpen-cerpen baru. Tapi meskipun begitu, mazhab menulis saya masih sangat memegang teguh ndesosentris macam Ahmad Tohari, penulis kesayangan saya. Barulah pada tahun 2021, Oday Ingin Jadi Anjing kembali menggelitik ingatan saya. Mungkin si sulung ini tak terima dilupakan. Entahlah. Tapi yang jelas, saya akhirnya kembali menuliskan Oday Ingin Jadi Anjing bermodal remah-remah ingatan yang tersisa di sudut kepala saya yang sebenarnya tak begitu pandai mengingat banyak hal selain aib orang lain seperti Si Minpang ini.
Oday Ingin Jadi Anjing juga kemudian saya ikut sertakan ke sebuah ajang penulisan cerpen yang digelar oleh suatu website. Anak sulung saya ini pun berhasil finish di 25 besar. Pencapaian ini mungkin biasa saja bagi banyak orang, tapi bagi saya pencapaian si sulung ini sangat membanggakan.
Oday Ingin Jadi Anjing mungkin tidak sekeren adiknya; Sapi-Sapi Mad Kosin yang jadi cerpen pertama saya yang dimuat di koran. Oday Ingin Jadi Anjing mungkin juga tidak se-proper adik-adinya yang lain, yang baru saya tulis setelah mengenyam beberapa kelas menulis yang digelar penulis-penulis hebat seperti Yusi Avianto Pareanom dan Leila Chudori. Tapi bagaimanapun juga, Oday Ingin Jadi Anjing akan selalu menjadi anak sulung yang paling berkesan. Inilah juga yang menyebabkan saya akhirnya memutuskan Oday Ingin Jadi Anjing lah yang terpilih sebagai judul kumpulan cerpen pertama saya sudah bisa kamu pesan di sini
Comments 1