“Bisakah kau antar aku ke Bandung?” Pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Gabriel. Ia bingung. Sebentar lagi ia akan tinggal sementara di Jakarta dan belum pasti bisa kembali pulang untuk mengantarkan kekasihnya pergi. Gabriel bersikeras memikirkan cara bagaimana ia bisa mengantarkan kekasihnya dan tidak mengganggu pekerjaannya di Jakarta.
“Hei,” seru kekasihnya. “jawab aku.”
“Kapan kau akan ke Bandung?”
“Besok.” Suaranya terselip harapan.
“Besok?”
“Ya, besok.” Kini harapannya nampak jelas.
“Kenapa mendadak sekali?”
“Loh, kamu lupa?” Nadanya kesal. “Aku kan sudah bilang jauh-jauh hari.”
Sial. Aku lupa, batin Gabriel. Ia benar-benar tak ingat kekasihnya akan pergi ke Bandung esok hari. Ia terlalu memikirkan kerjaannya di Jakarta.
“Ada urusan apa kau ke Bandung?”
“Kuliah.”
“Bukannya mulai kuliah itu minggu depan?”
“Besok ada pembagian kelompok. Kalau aku gak hadir besok, aku bakal kena absen.”
“Tapi besok aku akan pergi ke Jakarta.”
Hening. Tak ada jawaban beberapa detik.
“Ya sudah, aku pergi sendiri saja seperti biasa.” Suaranya dibalut kecewa.
Tut!
Panggilan terhenti seketika. Kekasihnya sakit hati karena harapan yang sirna. Gabriel bingung harus bagaimana. Besok ada pertemuan di Jakarta yang harus ia hadiri, sekaligus kekasihnya akan pergi ke Bandung untuk sekian lama.
“Maaf aku tak bisa mengantarmu ke Bandung. Tapi, aku janji akan menjenguk kehadiranmu di sana.” Pesan itu Gabriel kirim tanpa ada balasan sepatah kata pun. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin, batin Gabriel.
Tengah malam sudah tiba. Ide-ide cemerlang hadir dengan segera. Gabriel kembali dipenuhi akal cerdik seperti sedia kala. Ia tak ingin berarut-larut menyalahkan diri sendiri karena telah membuat kekasihnya kecewa. Ia mengambil keputusan untuk mendahulukan mengantar kekasihnya pergi dan milih untuk telat sampai ke Jakarta. Namun, Gabriel melupakan satu hal: kondisi kendaraannya.
Ketika fajar telah tiba, dan mentari akan hadir menghangatkan manusia, Gabriel masih terjaga dari kantuknya. Ia mendapat pesan dari kekasihnya: Aku tak jadi ke Bandung hari ini. Jelas, Gabriel sangat senang mendapat kabar tersebut. Ia pun membalas pesan kekasihnya: Aku akan menyelesaikan urusanku di Jakarta secepatnya, dan akan mengantarkanmu ke Bandung dengan segera. Kekasihnya hanya membalas dengan emotikon senyum yang diseliimuti oleh simbol cinta.
Akhirnya, urusanku bisa diselesaikan satu persatu (Pekerjaan, Kondisi kendaraan, dan Mengantar sang kekasih pergi), batin Gabriel sambil membuang nafas panjang dengan tenang.
Pagi tiba tak bisa dihindari. Sebentar lagi Gabriel harus pergi. Namun, kantuk menyerangnya bertubi-tubi. Ia tak bisa menunda jawal kepergian pagi ini menjadi sore nanti. Sebab, tidur bukanlah alasan untuk telat sampai. Berbeda halnya apabila pergi ke Bandung terlebih dahulu. Maka, Gabriel memaksakan pergi pagi ini dan memilih tidur ketika dalam perjalanan nanti.
Uang untuk bekal makan sehari-hari di Jakarta sudah cukup baginya, namun orang tua Gabriel tak mengetahui hal itu. Orang tuanya memberi uang bekal untuk ongkos ke Jakarta sekaligus untuk makan sehari-hari di sana. Maka, keuangan Gabriel saat ini dua kali lipat keberadaannya.
Sebelum pergi menaiki bis, ia memberi satu pertiga uangnya itu kepada adiknya. Ia berpesan uang tersebut untuk dipakai memeriksa keadaan motor; membersihkan motor; mengisi bahan bakarnya; dan tak lupa upah untuk adiknya. Gabriel pun bisa tenang ketika sudah selesai dari pekerjaannya. Ia bisa langsung pergi mengantarkan kekasihnya sepulang dari Jakarta.
Ketika sudah berada di dalam bis, Gabriel mengabari kekasihnya: Aku pergi sekarang. Hati-hati di jalan, balasnya. Lalu Gabriel tenggelam dalam kantuk.
“Aku sudah sampai di Jakarta.” Kabar Gabriel kepada kekasihnya.
Gabriel terdiam di lokasi pertemuan yang sudah ditentukan oleh semua kawan sepekerjaannya. Ia tak melihat satu pun kawan pekerjaannya yang sudah hadir di tempat tersebut. Ia sangat kesal kepada kawan-kawannya, karena mereka semua itu tinggal di Jakarta, tidak seperti dirinya yang tinggal di luar Jakarta.
Panggilan melalui telekomunikasi Gabriel lakukan untuk mengabari satu persatu kawannya untuk segera hadir ke tempat yang sudah dijanjikan bersama. Namun, naas. Panggilan telekomunikasi yang dilakukan Gabriel tak diindahkan sama sekali. Kawan-kawan pekerjaannya mendadak hilang kontak. Kini Gabriel hanya seorang diri di Jakarta.
Karena kawan-kawan Gabriel tak kunjung tiba, ia melakukan panggilan telekomunikasi kepada kekasihnya. Naas, kekasihnya pun tak mengindahkan panggilan darinya. Kesal tak bisa dihindari lagi. Ia sudah terlalu lelah untuk merasa baik-baik saja. Kesepian menyelimuti dirinya. Tak ada tempat untuk berbaring meski sekejap. Maka, ia harus menahan badannya untuk tidak merebahkan badan karena lelahnya perjalanan.
Rembulan sudah hadir menggantikan mentari yang pergi. Dan Gabriel tetap sendiri tanpa kabar dari kawan-kawannya, juga kekasih hatinya. Ia sudah tak tahan menahan lelah dan memilih tidur di depan toko yang sudah tutup sejak sore hari. Matanya terbenam seketika sembari ditemani lampu-lampu kota dan juga bisingnya kendaraan kota.
Gabriel terbangun karena suara nyaring dari rolling door toko yang terbuka. Ia bangun dengan posisi perut yang merasa lapar. Sebelum pemilik toko mengguyuri dirinya, ia bergegas pergi entah ke mana.
Di persimpangan jalan, ia menemukan warung nasi dengan harga yang terpampang jelas bersama menu di depan bangunannya. Ia masuk dan memesan menu paling murah. Disantap makanan itu dengan amat cepat dan langsung kembali pergi tanpa arah yang pasti.
Jam demi jam terlewati tanpa arti. Gabriel terus melangkah menikmati ragam bangunan tinggi ditemani terik mentari sambil berharap kawan atau kekasihnya itu memberi kabar via telekomunikasi. Tapi, sial! Harapan tersebut tak kunjung hadir. Kini ia menahan amarah, kesal, kecewa, luka. “Anjing!” Umpat Gabriel amat kencang sambil menendang angin tanpa peduli orang lain berkata apa. Lalu, ia terhenti sejenak. “Manusia memang mudah untuk ingkar janji.” Katanya lirih. Kemudian ia membalikan arah dan mulai kembali melangkah. “Lebih baik aku pergi dari sini dan tak pernah kembali lagi.”
Perjalanan untuk pulang ia lalui bersama luapan amarah mentari, rasa haus yang terlalu, keringat yang melengket, serta jaringan telekomunikasi yang sepi. Ia terus melangkah mengikuti petunjuk arah yang berada di setiap persimpangan jalan. Dimana ada tulisan terminal, ke sanalah ia menuju.
Sore telah tiba. Gabriel sampai pada tujuannya. Ia beristirahat sejenak sambil pandangannya menelusuri nama-nama kota tujuan-keberangkatan yang tertera di setiap kaca depan atau belakang bis. Ia menemukan tujuan yang ia cari: Sadang. Nama tersebut ukurannya sangat kecil, namun terlihat cukup jelas dan berada tepat di bawah nama-nama kota tujuan-keberangkatan yang ukurannya lebih besar.
Setelah menemukan bis yang diinginkan, ia merasa tenang. Ia bisa pulang. Sambil menunggu keberangkatan, ia menyalakan sebatang rokok terlebih dahulu sambil melakukan panggilan telekomunikasi kepada kawan sepekerjaannya dan juga kepada kekasih hatinya. Naas menyelimuti takdirnya. Setiap orang yang dipanggil melalui jaringan telekomunikasi tak mengindahkannya sama sekali. Amarah, kesal, kecewa, kini kembali hinggap pada dirinya. Dimatikan rokok yang tersisa setengah dan masih menyala itu dengan cara diinjak sambil berdesis, “Anjinglah!” Lalu dengan segera, ia menaiki bis untuk kepulangannya.
Senja mulai terlihat kehadirannya. Adzan magrib pun sudah bersiap untuk meredakan kebisingan manusia. Bis melaju perlahan dengan maksud mencari penumpang baru. Gabriel tertidur diiringi nyanyian pengamen serta suara tukang cangcimen yang menawarkan dagangannya ke setiap penumpang.
Gabriel terbangun dari tidurnya. Adzan magrib sedang dikumandangkan. Laju bis amat kencang. Ia melirik layar telepon genggamnya. Sepi. Tak ada satu pun pesan atau panggilan telekomunikasi dari kawan sepekerjaannya dan, tentunya, kekasih hatinya. Ia terdiam. Sedih. Kembali menyimpan telepon genggamnya. Pandangannya mengarah keluar jendela. Kendaraan di jalan tol tak sepadat pengalamannya.
Terasa bis melaju amat kencang. Ia menarik kembali telepon genggamnya dan mulai memberi pesan satu persatu kepada semua kawan sepekerjaannya dan tak lupa kepada kekasihnya. “Aku pulang.” Lalu Gabriel memilih untuk tidur kembali.
Indra pendengaran Gabriel menangkap kumandang adzan. Ia terbangun. Terlihat gulita sudah menyelimuti kota. Ia terdiam sejenak. Rasa-rasanya dirinya tertidur cukup lama, ternyata hanya sekejap saja.
Ia mengambil telepon genggamnya kembali. Lalu menatap layarnya. Sudah satu hari dua malam lamanya, tak ada pemberitahuan pesan atau panggilan masuk satu pun. Ia terus mengusap layarnya. Kanan-kiri. Masuk ke satu aplikasi dan ke aplikasi lainnya. Kelakuan tanpa makna itu terus ia lakukan. Hingga akhirnya, ia melakukan panggilan telekomunikasi kepada kekasihnya bertubi-tubi. Namun tetap saja, panggilan itu tak diindahkan sama sekali. Malang.
Kini bis terasa semakin kencang sekali lajunya. Bahkan, guncangan di dalam bis dirasakan oleh semua manusia di dalamnya. Ibu-ibu mendadak histeris. Anak kecil menangis. Bapak-bapak tak bersuara, namun raut wajahnya menunjukan ketegangan. Dan Gabriel, masih sibuk melakukan panggilan telekomunikasi yang hasilnya tak ada perubahan sama sekali. Karena kegaduhan di dalam bis, Gabriel kembali didatangi amarah. Bukan hanya karena kegaduhan yang tercipta ia menjadi marah, tapi kekasihnya yang menghilang entah kemana.
Karena ia sudah amat kesal, ia mengirim pesan kepada kekasihnya, “Terimakasih. Kau telah hadir cukup lama di hati ini. Kau tak pernah sedikit pun membuatku merasa hina. Kau satu-satunya sumber kebahagiaan yang kini kumiliki. Tapi, maaf aku yang sering membuatmu kecewa. Aku tahu kau tak mengangkat panggilanku dan tak membaca sedikit pun pesanku itu karena aku yang tak bisa memberimu bahagia. Aku tahu kau lelah. Tapi setidaknya bilang padaku, jangan menghilang begitu saja. …”
Kegaduhan semakin menjadi-jadi. Ibu-ibu makin histeris. Anak kecil menangis tak kunjung henti. Bapak-bapak mulai bersuara. Marah. Dan Gabriel, dibuat pusing oleh keadaan.
“Terimakasih. Aku amat bahagia selama bersamamu. Maaf, aku ingin egois kali ini. Aku ingin kita bertemu terlebih dahulu. Saat ini aku sedang di perjalanan menuju pulang.”
Brrk!
Rem tak bisa bekerjasama dengan pengemudi. Tabrakan tak bisa dihindari. Bis yang dinaiki oleh Gabriel hancur bagian depannya. Ia terlempar ke bagian depan. Tertahan kursi-kursi dan penumpang lain. Telepon genggam miliknya ikut terlempar, entah ke mana. Kini badannya tak bisa bergerak sama sekali. Sesak menyerang pernafasannya. Darah mengalir di wajahnya. Ia tak tahu yang lain bagaimana. Ia tidak memperdulikannya. Pikirannya saat ini hanya: pesannya terkirim atau tidak.
Hingga akhirnya ia mati kehabisan nafas dengan diiringi pendengaran terakhirnya: dering panggilan telekomunikasi yang bertubi-tubi pada telepon genggam miliknya. Entah siapa.