Kalau memang merokok adalah racun dan suatu hari saya mati karena rokok, saya bakal bilang gini,
“Lebih baik menghirup racun dari mulut sendiri, daripada menyebar racun di mulut kita ke orang lain.”
Bukankah begitu? Menurut saya lebih menyenangkan aja mati karena perbuatan sendiri daripada dibunuh orang lain. No offense. Mulut saya juga mungkin sudah menyakiti banyak orang karena gak pasang filter, tentu saja. Selama ini juga ya kurang lebih saya udah jauh lebih no comment sama orang lain. Serius, deh. Selama orang lain gak ganggu gue, kenapa gue harus merasa terganggu?
Btw, saya gak pernah merokok di dekat orang tua, orang dengan ISPA, dan anak kecil, ya.
Ada banyak hal yang berubah sebelum dan sesudah saya merokok. Iya, kecuali di Bandung dan Jakarta, saya kesulitan merokok di tempat umum. Saya gak tahu gimana kalau di New York, karena belum pernah ke sana. At least, saya punya perbandingannya.
Di kota atau kampung selain 2 tempat tadi, wanita perokok selalu dimaknai dengan perempuan nakal, amoral, dan lain-lain. Tapi, itu semua gak mutlak. Tentu aja bergantung orang-orang yang ada di lingkungan kota atau kampung tadi. Misal, kalau di Bandung saya nongkrong di dekat kaula muda yang misoginis, ya tentu aja saya juga gak akan nyaman merokok di situ. Tapi, di kampung Bunda saya, sebuah tempat terpencil di perbatasan Purwakarta-Subang, saya justru nyaman merokok. Selain karena bibi-bibi saya ngerokok, ya di sana nenek-nenek aja ngisep cerutu, coy.
Ngerti gak, maksudnya?
It’s not about places, it’s about people and their minds.
Jujur aja saya terganggu dengan stereotip perempuan ngerokok adalah perempuan gak bener blablabla. Stereotip apaan kaya gitu?! Ada yang bilang,
Ih, kaya j*b**y aje lu ngerokok
atau Ih gila dia ngerokok, kasian ya. Pergaulan bebas sih, ya?
Menurut pembaca, lebih membunuh mana rokok yang saya hisap dan kata-kata mereka?
Semua orang sudah tahu jawabannya. Apapun latar belakang lo, pendidikan lo, jabatan lo, lo gak berhak ngurusin pilihan hidup orang lain.
Apa salahnya menjadi wanita cukup umur yang membeli rokok dengan uangnya sendiri dan menghisap rokoknya tanpa menganggu pernapasan orang lain? Do you pay for my bills? No.
Apakah kalian setuju kalau saya bilang semua perempuan yang pakai hijab adalah teroris?
Perasaan-perasaan tidak menyenangkan itulah yang bikin saya mikir, daripada saya ngomentarin dan bikin orang lain sakit hati, mendingan gausah ngomong, deh!
Toh, kalau orang sakit hati sama omongan saya yang gak bener, saya gak mau biayain dia sesi ke psikolog.
Sebagai penulis dan pelukis n00b tentu aja saya sangat suka ngelamun sambil ngerokok. It helps me so much. Buat saya pribadi, merokok menenangkan saya. Saya tahu betul resiko merokok itu apa, dan saya memilih untuk tetap merokok. Lalu apa? Masalahnya apa buat hidup commenters sekalian?
Tapi, balik lagi. Saya gak bisa dengan bebas merokok di tempat umum. Ya, karena masih banyak polisi moral yang berkeliaran dan rela bekerja ekstra memberi sanksi tilang buat cewek amoral seperti saya. Mereka gak sadar apa mulut mereka lebih amoral?
Kecuali kalau di café, ya. Tapi ya elah masa saya harus ke café setiap hari kalau di Karawang? Di Bandung aja orang bebas merokok di taman (sekali lagi, asal gak dekat orang tua, orang dengan ISPA, dan anak kecil, ya). Itu, lah. Saya juga gak ngerti dari mana itu stereotip perempuan merokok adalah bengal, sedangkan lelaki merokok adalah macho. Bisa gak kalian tutup aja mulut kalian? Selagi asap rokok yang saya hisap gak kena hidung kalian, mending kalian cari kegiatan deh biar gak gabut komentarin orang.
Beside, kenapa kalian gak fokus sama kebahagiaan hidup kalian masing-masing? Kalian kan gak tau dibalik seseorang merokok itu ada apa. Saya pribadi, lebih senang nulis di nyimpang dan merokok daripada ngobrol, menceritakan keluh kesah sama orang lain. Bukan sok bener, tapi kalau kalian gak punya sesuatu yang baik untuk dikatakan, ya keep it to yourself aja.