
Urusan saya dengan Netflix sudah selesai. Saya sudah kenyang menonton film-film yang dibeli Netflix. Selebihnya, saya akan kembali ke LK21 dan ngopi ditemani Lebah Ganteng lagi. Lagipula, 37 ribu per bulan untuk platform Zionis (uuuu seram) kelihatannya too much. Lebih baik saya beli dua pak Angker ungu saja. Tapi sebelum berhenti berlangganan, saya menonton Testament: The Story of Moses dulu.
FYI, saya jarang ibadah dan bodoh ilmu agama. Jadi, saya nggak akan nyap-nyap karena merasa tahu dan nggak bakal sekonyong-konyong bilang, “Ih! Tapi di ajaran gue mah nggak gini kok ceritanya! Ini pasti palsu ini! Kafir ini! Manipulasi ini! Terjemahan orang kafir ini pasti kitabnya!”
Sesuai namanya, film ini mengisahkan kehidupan Musa. Ada tiga episode, dan tiap episodenya berdurasi sekitar 90 menitan. Selain bicara soal peran perempuan dalam peradaban zaman Musa, ada beberapa hal yang mau saya bahas juga. Tapi satu-satu lah, ya.
Of course, dengan kisah yang diajarkan di sekolah dasar Islam (sekolah dengan basic samawi lainnya tentu saya ndak tahu), kita sudah tahu betul bahwa Musa adalah nabi yang dihanyutkan di Sungai Nil oleh ibunya karena Raja Firaun percaya pada ramalan.
Bisa kita bayangkan, jika dukun tarot seperti Revi didatangi Prabowo lalu Revi bilang,
“Sudahlah, perempuan Karawang itu sudah muak denganmu. Jangan coba mengejar-ngejarnya lagi.”
Maka sudah pasti lah, semua perempuan di Karawang dalam bahaya.
Anjir, amun Firaun dibejaan Hitler maot di Garut pasti percaya berarti, nya?
Firaun kemudian mengingatkan saya pada dua tokoh fiktif beken pada zamannya: Raja Api Ozai dan Lord Voldemort. Tiga-tiganya adalah raja yang sama gobloknya: percaya sama nubuat dukun. Dampaknya? Pembantaian anak laki-laki di Mesir, pengejaran setiap penyihir yang lahir di bulan Juli, dan yang paling parah, membantai semua pengendali udara sampai tak tersisa satu pun.
Bukannya saya sok-sok anti-metafisik, yah. Anjir, gue aja masih takut hantu, tolong. Tapi percaya dengan omongan dukun, tukang sihir, ilmu hitam, apalagi dengan tulisan kitab Tuhan atau apa pun itu sebagai dasar kamu melakukan genosida dan pembunuhan struktural lainnya? Oh come on.
Sekilas, tampak sederhana, klasik, dan terdengar seperti drama pertelevisian kita. Sebutlah Joshua, Oh Joshua (Jojo dan Jeje yang ada Desy Ratnasarinya), terus Candy, atau sinetron Marshanda dan Rionaldo Stockhorst. Aduh, coba hitung saja berapa banyak tayangan-tayangan kita yang dilengkapi dengan tema-tema “anak tertukar”, “anak angkat”, “anak diadopsi dari panti”, dan lain-lain.
Tapi kan akhirnya jadi menarik kalau anak yang ter/ditukar itu adalah nabi, ya. Xixixi. Kalau Arini? Ya biasa-biasa saja.
Untuk yang belum tahu: kurang lebih begini lah cerita yang diberikan kepada saya.
Firaun/Pharaoh adalah raja paling kuat di masanya. Wilayahnya luas sekali, dan ya, setiap wilayah didapat dengan pertarungan dan pertumpahan darah. Maka kebayang dong kalau setiap perang menang, berarti Kerajaan Firaun ini: banyak orangnya, kuat tentaranya, dan luas wilayahnya.
Nah, (saya dulu nggak ngeh bagian Firaun takut sama ramalan tentang anak laki-laki) intinya Firaun ini membunuh semua anak laki-laki yang lahir, karena dia percaya bahwa anak laki-laki itu akan merebut tahtanya dan menghancurkan kerajaannya.
Belakangan, saya baru tahu bahwa ternyata kondisinya memang menarik. Oh iya, film ini nggak plek ketiplek dari kitab juga, dan yang bikin saya suka adalah: film ini memunculkan narasi tambahan dari akademisi dan pemuka agama dari agama-agama samawi itu. So basically, saya suka karena kekayaan konteksnya.
Ya, sampai di Firaun ngebunuh-bunuhin anak laki-laki itu, kemudian ketika Yukabid (ibu Musa) dibantu sama paraji (dukun beranak) untuk menyembunyikan identitas Musa.
Diikutilah si bayi Musa ini sama si Maryam.
Pokoknya si Maryam ingin memastikan bahwa adiknya itu minimal selamat lah, teu tiguling di tengah-tengah cai.
Di kehidupan yang lain, Bitiah, anak perempuan Pharaoh, baru saja melahirkan anak yang mati. Ketika masih berduka di aliran Sungai Nil, Bitiah dan circle pelayan perempuannya berkumpul. Di situlah Maryam melihat Bitiah dan circle itu.
“Alah euy, aya awewe Kerajaan, euy. Balageur sigana, teh.” ucap Maryam ketika diam-diam melihat circle kerajaan.
Kebetulan keranjang Musa lewat, dilempar-lempar batu lah sama si Maryam sampai Bitiah dan kawan-kawan menyadari ada suara bayi nangis. Lalu ditemukanlah si Musa ini.
Sampai akhirnya, orang-orang tuh nggak ada yang tahu kalau anaknya Bitiah itu sebetulnya mati pas dilahirkan (kecuali orang-orang di dalam kerajaan aja).
Yang bikin greget adalah, si Paraji yang juga ngebantu Yukabid melahirkan Musa (dan ngebantu Bitiah lahiran) ini adalah yang punya ide brilian ini. Dia udah tahu, Bitiah anaknya mati dan dia yang nyaranin Musa dialirkan di sungai dengan kondisi yang sedemikian rupa diatur supaya waktu Musa hanyut, tuh si Bitiah lagi di pinggir sungai.
Pas Musa udah di tangan Bitiah, si Musa nggak mau disusuin sama Bitiah. Dan hadirlah paraji ini lagi sebagai orang yang kasih tahu:
“Ada kok yang bisa jadi ibu susu anak itu.” kata Paraji.
Ya nggak banyak berpikir panjang lah. Dibawa lah itu Musa ke Yukabid, ibunya sendiri.
Waktu berjalan terus, Musa pun beranjak remaja, lalu dewasa muda. Di tengah-tengah kehidupan kerajaannya, Musa melihat ada penjaga kerajaan (semacam mandor) yang lagi gebukin pekerja dari Bani Israil (yang pada saat itu dijadikan budak). Lalu karena nggak tega, Musa emosi dan lalu mukulin si penjaga kerajaannya itu sampai meninggal di tempat.
Sadar kalau dia bakal bikin keluarga kerajaan marah dan dirinya sendiri dihukum, Musa lalu kabur.
Selebihnya ya kurang lebih sama ya dengan yang diceritakan. Tapi intinya, saya suka dengan kisah perempuan-perempuannya ini. Unik.
Entah terjadi atau tidak, dikisahkan dalam kitab atau tidak, tapi tolong buat tulisan saja lah kalau pada saat itu laki-laki memang membuat semacam “Aksi Kamisan” selain Musa untuk menentang Pharaoh. Sejak awal film ini, saya sangat menyukai karakter perempuan yang justru terlihat lebih dominan dalam bertarung, mengambil risiko, dan banyak berperan sebagai decision maker, atau supporter utama.
Yang saya suka dari film ini adalah film ini nggak membuat pertikaian lebih panjang soal agama mana yang benar atau agama siapa yang paling lengkap. Cuma Musa dan kisah Firaun, lengkap dengan sifat-sifat busuk manusia, arogansi, asal-usul Bani Israil dibilang ngehek. Sudah. Tidak ada agama yang AIUEO.
Kalau klean nonton Testament: The Story of Moses cuma buat nyari kitab mana yang paling akurat, nabi siapa yang paling benar ajarannya, nggeus, ulah!
Tapi kalau kamu mau tahu bagaimana sejarah selalu menyembunyikan perempuan di belakang layar padahal mereka adalah penggagas dan empunya ide-ide utama dari keputusan-keputusan besar, ya tonton lah film ini. Cocok kok ditonton sebelum tidur. Inget, ada 3 episode, jadi durasi kurang lebih 4,5 jam, lah.
Dari Yukabid, Maryam, Bitiah, sampai si Paraji, kita bisa lihat: kisah Musa berdiri karena kerja-kerja perempuan. Bisa jadi selama ini dalam semua kisah-kisah nabi, perempuan adalah penyusun strateginya, penyambung nyawanya. Lagian please, deh! Yang bikin cerita nabi siapa, sih? Kok bisa-bisanya gak ada nabi perempuan. Yah, gakpapa deh. Toh, dari film ini kita tahu bahwa peradaban nggak pernah jalan kalau perempuan-perempuan ini nggak bikin jalan duluan.
Yang pegang kenabian boleh jadi laki-laki, tapi yang menyelamatkan masa depan tetap perempuan. Firaun, Lord Voldemort, dan Raja Api Ozai adalah ciri laki-laki sok kuat yang bisa takut karena percaya sama ramalan. Ketiga laki-laki itu nyatanya gak jauh lebih oke daripada perempuan yang percaya pada dirinya sendiri, menghadang semua ketakutan, dan menantang duniaaaa! Anjay.
Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 3, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.